Alangkah senangnya hati bila melihat perempuan muda berani beragumentasi di tengah gelombang patriarki yang masih pasang hingga saat ini. Begitulah perasaan saya ketika melihat Tsamara Amany berani mendebat Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.
Selain dengan Fahri Hamzah, Tsamara juga sempat beradu argumen dengan Margarito Kamis di sebuah stasiun TV swasta nasional. Membahas hal yang sama, soal angket KPK. Di sana Tsamara tampak begitu sabar, sedangkan Margarito terkesan meremehkan. Sang doktor hukum tata Negara itu bahkan bersiul-siul sinis ketika lawan bicaranya menyatakan pendapat.
Hingga tiga hari lalu dialektika yang bermula dari twitwar Fahri Hamzah vs Tsamara PSI jadi trending dan masih hangat di lini masa. Di Geotimes, Sesat Pikir Fahri Hamzah yang ditulis Tsamara bahkan masih menjadi trending tatkala tulisan ini dibuat.
Cukup banyak juga penulis lain yang bereaksi atas perdebatan tersebut. Yang paling mutakhir saya temui, di Selasar.com pada 13 Juli 2017, Ali Hasibuan menurunkan tulisan “Selamat Bersandiwara, Tsamara Amany.” Tak kalah viral, ketika saya telusuri tulisan itu sudah dibaca 30.001 kali.
Inti artikel Ali Hasibuan menyampaikan bahwa, dalam perdebatannya dengan wakil ketua DPR RI, Tsamara tak lebih dari bersandiwara. Berpura-pura polos. Tulisan Tsamara yang berjudul “Sesat Pikir Fahri Hamzah” menurut Ali Hasibuan merupakan tuduhan serius.
Saya pribadi menilai memang tak salah juga jika itu dikatakan tuduhan serius. Karena serius itulah Tsamara menjabarkan panjang lebar argumentasi atas tuduhannya, dan bahkan bersedia dihadap-hadapkan dengan Fahri Hamzah untuk mempertahankan argumentasi yang ia utarakan.
Sebenarnya, Ali Hasibuan dalam tulisannya itu juga mengaksentuasikan tuduhan serius. Sebab, ia mengatakan Tsamara tengah bersandiwara. Apakah maksudnya Tsamara tengah berpura-pura membela KPK? Atau Tsamara sedang menjalankan skenario mendebat Fahri Hamzah?
Ali Hasibuan menjabarkan tuduhan sandiwara itu dengan menggugat tiga hal: (i) Tsamara tutup mata atas KPK yang berpotensi jadi alat politik kekuasaan; (ii) Tsamara yang memitoskan KPK dengan menggugat kritik terhadap lembaga itu; (ii) Kesinisan Tsamara terhadap Fahri Hamzah yang mengusir KPK tatkala tengah menyidik ruang Fraksi PKS di Gedung DPR (waktu itu polisi yang mengawal penyidikan membawa senjata ke Gedung DPR diusir oleh Fahri karena dinilai tidak sesuai aturan).
Saya tidak berminat mendebat argumentasi Ali Hasibuan tersebut. Bukan tidak mampu, tapi tidak ingin. Karena toh Ali Hasibuan hanya mengulang-ngulang yang dikatakan Fahri Hamzah saja. Lagi pula perdebatan perihal itu sudah banyak beredar, bahkan oleh para guru besar.
Dengan maksud tidak ingin menambah lagi durasi perdebatan perihal angket KPK, yang seringnya berputar-putar di situ saja. Tulisan ini hendak menegaskan dua kewajaran yang mendasar.
Pertama, adalah kewajaran jika suatu isu hukum yang di bawa ke ranah politik menjadi heboh dan bias. Sebab, yang namanya politik memang dipenuhi pergelutan kepentingan. Jika saja sebelumnya sejumlah anggota dewan memperkenankan kasus E-KTP itu diproses di pengadilan (dalam artian tidak bermanuver dengan hak angket), maka sejatinya isu tersebut tidak bakal menjadi seribut dan sebias ini.
Bukankah di pengadilan setiap orang yang didakwa diberikan ruang untuk membela diri. Dan jika kinerja JPU buruk dalam mendakwa seseorang, maka dakwaan tersebut tentu akan dimentahkan oleh hakim. Bahkan bila divonis bersalah oleh hakim pun masih ada sejumlah upaya hukum untuk mengoreksi putusan hakim tersebut.
Adanya tahapan upaya hukum yang berlapis-lapis sejatinya untuk mengupayakan kebenaran hukum dapat diberikan kepada para pencari keadilan. Memang, tak ada yang sempurna di dunia ini, tapi itulah salah satu cara untuk mendekatinya.
Kedua, meski Ali Hasibuan menjabarkan panjang lebar dalam tulisannya itu bahwa Tsamara telah besandiwara, tuduhan itu jelas tidak nyambung. Anggaplah jabaran dalam isi tulisan Ali Hasibuan itu benar, nah berarti itu mengaksentuasikan bahwa Tsamara memilah argumentasinya. Bukan bersandiwara atau berpura-pura.
Sikap politik Tsamara membela KPK tentu tidak luput dari subjektivitasnya sendiri. Begitu juga pada siapa pun yang terlibat dalam pro atau kontra perihal angket KPK ini. Pendeknya, atas sejumlah argumen yang tersimpan dalam pikiran seseorang, baik itu pro ataupun kontra, orang itu akan memilih apa yang ada di bagasi kepalanya untuk diutarakan demi mendukung sikap politiknya.
Ini sebenarnya hal yang wajar dalam menyampaikan sikap politik. Tidak tertutup kemungkinan juga pada Ali Hasibuan.