Meme, menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji. Terlebih meme yang memuat konten celana cingkrang. Artikel dari Miski yang dimuat di Harmoni Jurnal Multikultural dan Multireligius (Miski, 2017) ini mencoba menguraikan, sebenarnya apa sih fenomena yang ada di balik meme celana cingkrang? (kira-kira begitu). ‘Fenomena Meme Hadits Celana Cingkrang Dalam Media Sosial’ merupakan judul artikel yang dimaksud.
Meskipun, sebelumnya sudah ada artikel yang membahas dengan persoalan yang sama, yakni artikel dari Saifuddin Zuhri Qudsy dengan judul ‘Meme Hadits Celana Cingkrang: Menciptakan Budaya Tanding’ (Qudsy, 2017). Akan tetapi, artikel ini masih belum membahas secara komprehensif judul yang diangkatnya. Sehingga, gambaran terkait meme hadits cingkrang masih belum cukup.
Artikel yang ditulis oleh Miski ini dilatarbelakangi setidaknya karena dua persoalan. Persoalan pertama, meme banyak digemari oleh pengguna dunia maya. Hampir semua aplikasi media sosial yang digunakan, oleh orang Indonesia khususnya, tidak ada yang absen dari keberadaan meme di dalamnya.
Persoalan kedua, Indonesia dilihat sebagai negara yang mayoritas beragama Islam, tanpa menafikkan lima agama resmi dan beragam kepercayaan lokal lainnya. Sehingga meme celana cingkrang ini menjadi perihal yang urgen untuk dikaji. Karena, berkaitan dengan kehidupan orang beragama –khususnya Islam.
Kata meme berasal dari bahasa Yunani yang berarti tiruan. Meme kali pertama diperkenalkan oleh seorang biolog asal Britania Raya, Richard Dawkins, sekitar 1970. Dia menganalogikan meme sebagai gen yang dikenal luas dalam istilah biologi. Dia beranggapan bahwa meme tidak berbeda jauh dengan gen; jika gen digunakan untuk menjelaskan evolusi biologis, meme digunakan untuk menjelaskan evolusi kebudayaan, yang meliputi segala sesuatu yang kita pelajari melalui imitasi, termasuk kosa kata, legenda, lagu, peraturan, ucapan populer, mode, busana dan lain-lain (hlm. 294).
Di Indonesia, belum ada catatan pasti kapan, dimana, dan siapa orang pertama kali yang memproduksi meme. Namun, ada dugaan bahwa meme masuk ke Indonesia bersamaan dengan mudahnya akses internet yang menghubungkan pengguna media sosial dari sudut dunia yang satu, dengan manusia di sudut dunia yang lain. Pada mulanya, meme berfungsi sebagai hiburan, kemudian bergeser menjadi media kritik sosial, ekonomi, dan politik.
Meme celana cingkrang ini bisa dikategorikan dalam meme sosial keagamaan. Kemunculan meme ini dilatarbelakangi oleh adanya beberapa hadits Nabi yang mengatakan ‘haram’ memanjangkan celana sampai melewati mata kaki, dalam agama Islam disebut Isbal jika ada kesombongan di dalamnya (hlm. 298).
Hadits ini kemudian dibandingkan dengan kehidupan manusia di zaman sekarang. Menurut mereka, banyak orang yang telah menyalahi hadits Nabi yang dimaksud. Bahkan, justifikasi kepada orang lain yang tidak menggunakan celana cingkrang akan masuk neraka, juga ditulis dalam meme tersebut.
Kelompok ini, menurut saya, belum mengontekstualisasikan hadits tersebut. Padahal, perihal memanjangkan kain sampai mata kaki tidak hanya pada celana, namun juga berlaku pada sarung, jubah, baju, pakaian dan lain sebagainya. Lantas kenapa hanya celana? Karena celana banyak digunakan oleh masyarakat kota. Terlebih masyarakat kota memiliki sifat individual, kering spiritualitas agama, hedonisme, dan materialistik. Sehingga celah ini dimanfaatkan oleh mereka untuk menawarkan model beragama Islam versi mereka.
Melalui meme celana cingkrang ini, mereka juga mulai membentuk identitas kelompok sebagai kelompok yang mengaku mengikuti sunnah Nabi. Beberapa konten meme berisi ungkapan, “Di saat cowok melaksanakan perintah Rasulullah dengan celana di atas mata kaki. Kata mereka: ga gaul, kampungan, katro, ga modern, kuno, udik, kolot, norak”. Konten meme semacam ini sekaligus menjadi wujud resistensi mereka terhadap perilaku keberagamaan di luar kelompoknya.
Tapi yang perlu digarisbawahi adalah, tidak semua ulama sepakat bahwa yang tidak bercelana cingkrang haram dan masuk neraka. Ada beberapa ulama seperti Imam Syafi’i, Imam Hambali, Imam Hanafi, dan Imam Maliki yang memiliki pendapat makruh dan boleh tidak bercelana cingkrang. Dan ini banyak diikuti oleh mayoritas penganutnya.
Sebab, ulama yang dimaksud di atas beranggapan bahwa, pada saat hadits ini turun masih ada kesenjangan ekonomi antara orang kaya dan orang miskin. Sehingga jika ada orang yang melebihkan kainnya dalam berpakaian, akan menjadi pembeda status sosial di masyarakat yang implikasinya akan melahirkan konflik. Karena ada keirian dari orang yang tidak mampu membeli kain.
Selain itu, problemnya terletak pada ‘kesombongan’ yang ada pada diri manusia. Oleh karena itu, jika manusia sudah bisa menekan atau bahkan menghilangkan kesombongannya, maka tidak menjadi masalah menggunakan celana panjang sampai menutupi mata kaki. Sebab letak problemnya bukan di panjang atau pendeknya kain, bukan pada menutupi atau terlihatnya mata kaki, tapi pada sombong dan tidaknya orang yang menggunakan pakaian. Dalam konteks ini, orang yang menggunakan celana cingkrang seperti yang diilustrasikan di dalam meme.
Kelompok ini dalam realitasnya masih ada dan bahkan tumbuh berkembang di masyarakat. Selain brandingnya mengaku sebagai kelompok pengikut sunnah Nabi, di masyarakat sendiri, kelompok ini masih diberi ruang untuk mengekspresikan apa yang menjadi gagasannya. Sehingga, tidak mengherankan jika kelompok ini dapat leluasa untuk menjaring massa dengan berbagai cara, salah satunya menggunakan meme.
Terakhir, apapun, dimanapun, dan siapapun yang mengekspresikan gagasanya dalam kehidupan nyata, media cetak, atau media sosial termasuk meme juga, tidak bisa terlepas dari kepentingan yang mengitarinya. Dan kepentingan itulah yang nanti akan membuat manusia memproduksi pesan-pesan persuasif untuk menarik massa agar mendukung kepentingannya. Demikian.