Rabu, April 24, 2024

Di Balik Bebasnya Abu Bakar Ba’asyir, Kemanusiaan atau Strategi?

Faruq Arjuna Hendroy
Faruq Arjuna Hendroy
Researcher at The Westphalian Institute

Masyarakat kita mungkin saja masih larut dalam euforia dan riuh-riuh debat pilpres beberapa waktu yang lalu, terutama sekali kalangan netizen maha benar yang jarinya semakin genit menari-nari di layar sentuh smartphone memperdebatkan hasil debat kemaren.

Banyak hal unik nan lucu yang ditemukan selama debat pilpres, seperti Jokowi yang menjawab pertanyaan tersegel dengan teks, Ma’ruf Amin yang begitu pasif, hingga joged maut Prabowo.

Apalagi sosok fenomenal tahun 2018, Miss Ratna Sarumpaet, juga ikut-ikut dibahas. Netizen jadi punya banyak bahan untuk diperdebatkan, meski tidak jarang dibumbui dengan nada sindiran dan cemoohan. Media berita juga tak kalah semangat mengabarkan seputar debat, sehingga men-paripurna-kan keviralannya.

Tapi tulisan saya ini bukan membahas tentang debat pilpres yang tengah viral. Karena jika iya, tentu judulnya bukan seperti yang tertera di atas. Tulisan ini membahas isu yang muncul di tengah hiruk-pikuk komentar terhadap debat pilpres dan pastinya tidak kalah viral, yaitu bebasnya salah satu tokoh penting gembong teroris Indonesia, Abu Bakar Ba’asyir (selanjutnya disingkat jadi ABB saja ya).

Siapapun pasti setuju kalau ini isu yang menarik. Karena salah satu tema yang diangkat saat debat pilpres putaran pertama yaitu tentang komitmen setiap paslon dalam memberantas terorisme. Hanya berselang beberapa hari kemudian, isu ini pun muncul. Jadi relevansinya masih terasa cukup kental lah ya.

Siapa sih ABB? Kenapa berita kebebasannya menyita pemberitaan media dan sanggup menyaingi pemberitaan debat pilpres? Seperti yang sudah disinggung di atas, ABB adalah salah satu tokoh penting gembong teroris di Indonesia. Ia bisa dibilang pentolan teroris lintas generasi karena konsistensinya melawan NKRI sudah ada sejak lama sekali.

ABB sudah aktif sejak berada di organisasi Negara Islam Indonesia atau NII di tahun 1970-an. Akibat represi dari Orde Baru, ABB bersama gurunya Abdullah Sungkar, hijrah ke Malaysia dan mengoordinir gerakannya di sana, di antaranya menjadi perantara bagi kader muda NII yang ingin berlatih militer di Afghanistan dan Filipina Selatan serta mengumpulkan dana operasi.

Di Malaysia ini lah ABB dan Abdullah Sungkar mendirikan Jemaah Islamiyah pada tahun 1993 karena terinspirasi dengan gerakan jihad Mesir yang memiliki nama serupa. Organisasi ini bertanggung jawab atas serangkaian bom mematikan di sepuluh tahun pertama reformasi. ABB sendiri sudah berulang kali berurusan dengan hukum, yaitu di tahun 2003, 2004, dan terakhir 2010 dengan vonis hukuman terlama dibanding vonis hukuman sebelumnya, yaitu 15 tahun.

Jemaah Islamiyah bukan satu-satunya gerakan yang ia prakarsai. Ia sempat mendirikan organisasi jihad lain seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Jamaah Anshar Tauhid (JAT). JAT ditenggarai mendukung kepemimpinan ISIS dengan cara melebur ke dalam organisasi Jamaah Anshar Daulah (JAD) yang – menurut POLRI – menjadi afiliasi resmi ISIS di Indonesia.

Namun belakangan, diketahui ABB tidak lagi bersimpati pada ISIS dan afiliasinya karena kebrutalan aksi mereka. Buktinya apa? ABB justru mengutuk serangan JAD ke tiga gereja Surabaya bulan Mei tahun lalu.

Itu lah sekelumit fakta tentang ABB. Karena akan panjang jika semua fakta tentang profil ABB dijabarkan disini, jadi silakan bertanya saja langsung ke Prof. Dr. Google untuk info lebih mendalam.

ABB akan dibebaskan pada tanggal 24 Januari nanti. Ia telah menghabiskan 2/3 masa tahanan sehingga diperkenankan untuk mengajukan bebas. Namun tetap ada prosedur yang harus dilalui, seperti ada syarat, grasi, atau amnesti. Uniknya, ABB akan bebas tanpa semua prosedur hukum tadi. Betul.

Tanpa syarat, tanpa grasi, atau tanpa amnesti. Benar-benar istimewa. ABB dibebaskan murni karena alasan kemanusiaan. Kondisinya yang sudah tua dan sakit-sakitan membuat keputusan untuk memulangkannya ke Ngruki adalah sebuah solusi kemanusiaan terbaik versi pemerintah.

Saya pribadi melihat pembebasan non-prosedural ABB ini bukan ‘murni’ alasan kemanusiaan. Atau lebih tepatnya, justru alasan kemanusiaan itu sendiri adalah strategi melawan terorisme. Jokowi membanggakan pemerintahannya karena telah berhasil menggabungkan dua aspek pendekatan dalam memberantas terorisme, yaitu pendekatan koersif dan pendekatan humanis.

Artinya ada keseimbangan dalam penggunaan kekerasan dan memanusiakan para teroris. Dengan memanusiakan para teroris, kebencian mereka akan berubah menjadi simpati, penolakan mereka akan berubah menjadi keberpihakan.

Apakah hal ini terdengar seperti sebuah klise belaka? Tidak juga. Justru jika pemerintah memperlakukan teroris tidak seperti manusia atau memaksa mereka agar meninggalkan ideologi mereka, justru ideologi itu akan semakin dalam tertancap di dalam benak dan hati mereka.

Hal ini sudah dikaji oleh seorang ahli bernama Jack Brehm, dengan teorinya yang terkenal dengan nama Psychological Reactance. Asumsi dasar dari teori ini adalah ketika kebebasanmu ditentang, maka kamu akan berusaha untuk melawan. Kebebasan dalam hal ini bisa mencakup kebebasan fisik atau kebebasan dalam berideologi. Artinya, pendekatan humanis bisa saja memiliki kemungkinan berhasil yang lebih tinggi.

Terkait tindak tanduk ABB nanti ketika telah kembali menghirup udara bebas, saya mencoba husnudzan saja bahwa pemerintah sudah punya cara untuk mengantisipasi potensi ABB terlibat kembali dalam tindak terorisme.

Kalau dilihat-lihat, ABB memang tidak begitu berbahaya untuk saat ini. Selain kondisi fisiknya yang memang sudah sangat lemah, ABB juga sudah tidak begitu berpengaruh dalam aktivitas terorisme Indonesia saat ini yang banyak diprakarsai oleh kelompok pro-ISIS. Sedangkan menurut pengamat terorisme, Sidney Jones, ABB sudah ‘tobat’ dari mendukung ISIS. Sehingga pembebasan ABB pun dinilainya mungkin tidak akan menjadi resiko.

Kalau mengikuti teori Rational Choice, kita pasti familiar dengan istilah cost and benefit dari sebuah kebijakan. Pembebasan ABB ini memberi benefit bagi petahana, karena dinilai pro-kemanusiaan, atau dalam bahasanya TKN, pro-ulama, sehingga menuai citra positif di tahun politik ini.

Tetapi cost-nya juga perlu diperhitungkan. Banyak pihak yang nyatanya mempertanyakan legal hukum pembebasan ABB yang terkesan istimewa. Atau lihat juga betapa agresifnya negara tetangga Australia menyinyiri keputusan itu. Nah, tinggal sekarang bagaimana pemerintah menjawab nada-nada sumbang yang sudah kadung menyerang.

Faruq Arjuna Hendroy
Faruq Arjuna Hendroy
Researcher at The Westphalian Institute
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.