Jumat, Maret 29, 2024

Di Antara Rasa Sakit dan Kebosanan

Almer Sidqi
Almer Sidqi
Wartawan

Mungkin sebagian dari kita pernah mendengar tentang sebuah cerita, tatkala sekelompok orang-orang suci hendak memancing bulan di dalam danau, menggunakan jala—sebab mereka yakin bahwa pantulan di dalam air bakal lebih dekat dan lebih mudah ditangkap ketimbang bulan yang menggantung di langit.

Apa yang orang-orang suci itu kerjakan niscaya hanyalah kesia-siaan, mereka sama sekali tidak menyentuh bulannya. Mereka hanya melihat penanda, lantas diakuinya sebagai kebenaran.

Kenyataannya, bukan saja jauh panggang dari api, tetapi juga keliru. Salah alamat. Namun bagi siapa saja yang menghendaki itu, tak jadi soal dalam beberapa hal, sekaligus menjadi soalan serius dan was-was dalam hal lain. Hasrat adalah apa-apa yang diinginkan manusia mengenai kehidupan. Untuk dapat mewujudkan itu manusia selalu berupaya meniadakan segala yang menghalanginya—bahkan jika itu adalah dirinya sendiri.

Belum genap dua bulan pasca insiden penembakkan di Selandia Baru, dunia kembali berduka dengan insiden lain di Sri Lanka. Tidak ada kata yang dapat mewakili dua kejadian itu selain: brutal. Keduanya berangkat dari gagasan yang berbeda, namun memiliki tujuan identik: hidup akan damai jika saja bumi ini hanya diisi oleh orang-orang yang menghendaki dunia yang sama. Dunia yang diisi oleh gagasan yang tunggal. Dunia hanya digerakkan oleh apa-apa yang mereka percayai sebagai kebenaran.

Jika dunia berbelok arah dari apa yang mereka maui, maka meniadakan manusia lain adalah jalan yang elok untuk ditempuh. Brenton Tarrant, misalnya, tak punya alasan lain tatkala ia menghujani peluru sekelompok orang yang sedang beribadah di masjid, selain gagasan supremasi kulit putih yang mengental di kepalanya. Anggapan superioritas rasial lahir daripada konseptualisasi tentang yang lain. Mereduksi eksistensi ke dalam konsep-konsep sebagai upaya agar bisa menundukkan manusia lain.

21 April 2019, tiga gereja dan tiga hotel meledak di Sri Lanka. Itu terjadi saat Hari Paskah dan tiap orang tenggelam dalam ibadahnya. Mereka diguncang. Lebih dari 200 orang meninggal dunia.

Bagi sebagian orang Indonesia, oknum seolah-olah menjadi sebuah kata yang solutif untuk berbagai persoalan. Ketika tempat ibadah diguncang, dibredel, dibom, lalu orang bakal berteriak, “tentu saja itu oknum!” Tatkala para pelakunya telah berhasil dibekuk, dan jaringannya telah terbongkar ke permukaan, orang tetap berteriak dengan cara yang sama. Atau ketika tindak kekerasan seksual terjadi di panggung akademik, pihak institusi dengan skema yang teratur akan menelurkan kata yang persis sama. Semuanya perkara oknum.

Oknum itu makhluk liar. Dia berada di luar golongan-golongan. Pernyataan itu dangkal belaka: menganggap oknum berada di ruang abnormal, justru di situlah introspeksi ditiadakan. Padahal orang harus menerima bahwa ada yang tidak beres di tubuh institusi atau golongan atau komunitasnya, dan dari titik itulah segala persoalan coba didedah dan dibenahi.

Orang-orang fanatik itu tidak fana. Mereka bisa menjadi martir atas nama gagasan-gagasan yang keblinger dan mau berkompromi dengan itu. Sehari sebelum kejadian di Selandia Baru, bom bunuh diri meledak di Sibolga, Sumatera Utara. Seorang ibu, Solimah—membawa serta anak balitanya yang baru genap berusia dua tahun—meledakkan diri. 155 rumah warga remuk-redam.

Segala bentuk penghancuran, tidak lain karena gagasan yang sama masih memiliki tempat untuk dipupuk, ditempa, dan diformulasi ulang, hingga tiba masa penghancuran itu terjadi kembali. Pengulangan ini tidak menawarkan apa-apa selain kehancuran atas hidup yang berayun seperti pendulum mundur dan maju di antara rasa sakit dan kebosanan—kata Schopenhauer.

Setiap orang memiliki batas-batas pandangannya sendiri dalam melihat dunia. Boleh jadi ia melihat dunia sebagai wujud absolut, dan mengamini bahwa kekayaan duniawi adalah perisai paling aman bagi siapa saja yang ingin menerjang kehidupan; atau yang lain bakal melengos dan memandang penuh harapan ke langit, bahwa ada yang lebih baik daripada sekedar dunia dan segala isinya; atau ada yang menganggap bahwa dunia tak lebih daripada seperiuk tahi.

Michel Tournier, di dalam bukunya: Vendredi ou la Vie sauvage—menceritakan kisah seorang Inggris dan seorang Indian yang harus berbagi kehidupan di pulau terpencil secara tidak sengaja.

Mereka hidup berdampingan dengan cara yang ganjil. Tournier menggambarkan peraduan dua dunia yang bertumbukan satu sama lain: tiap tokoh—baik Robinson maupun Vendredi—berasal dari dua realitas, budaya, bahasa, kawanan, sensasi, tujuan, hasrat, moral, dan pikiran yang berbeda, namun harus hidup—atau terpaksa hidup—dalam rangka membunuh rasa jenuh mereka tinggal di pulau kecil selama puluhan tahun.

Setidaknya ada sebuah gagasan yang Tournier tawarkan: jika tidak bisa berpura-pura untuk hidup damai, maka terpaksalah untuk meneruskan hidup secara tenang, meskipun terseok-seok.

Berpura-pura untuk bisa hidup dan bertumbukkan dengan dunia orang lain yang kian beragam dan tanpa sekat. Hidup dalam dunia yang dilipat—kata Yasraf Amir Piliang. Hidup seperti sekarang, bagai tidur di atas tumpukan tong berisi mesiu, lantas bisa kapan saja meledak dan menghancurkan tubuh kita berkeping-keping asal ada yang memantiknya walau untuk keisengan belaka.

Ada sebagian orang yang menikmati dan menari-nari di antara percikan-percikan kebencian. Jika ada pihak yang dirugikan, maka akan ada orang yang berlari membawa keuntungan. Konflik tidak hadir secara alamiah. Ada yang menghendaki dan memicu sebuah peperangan, dan ada orang-orang yang berpikir sembrono untuk menjadi martir di garda-depan. Dunia tidak bergerak secara otomatis. Dunia dikontrol. Kita hidup dalam kerangkeng imajinasi yang kering dan pengetahuan yang tidak terdistribusi sepenuhnya.

Perbedaan itu mutlak. Kita mafhum dengan itu. Namun, budaya keseharian kita juga memaklumi dan membenarkan benih-benih rasisme dan fanatisme ikut tumbuh bersama diri kita sendiri. Dari hal-hal kecil yang sepele—atau, setidaknya kita anggap sepele—dan bersemayam di dalam sana.

Lalu ketika terjadi persoalan-persoalan menyangkut identitas, kita sebagai orang dewasa ikut mengerumuninya—seperti gerombolan semut yang merampok sesendok gula—dan membatasi diri hanya pada nilai-nilai yang kita pupuk sedari kecil. Nilai-nilai intoleran.

Kita mengecam teror. Namun, sesungguhnya, kita sangat dekat dengan teror itu sendiri. Siapa pun bakal meyakini, tragedi di Sri Lanka atau Selandia Baru atau di mana pun itu berada—meskipun teramat biadab dan meludahi kemanusiaan—bukanlah akhir dari serangkaian adegan saling menghancurkan ini.

Namun, setidaknya, kita bisa berpura-pura untuk terus melanjutkan hidup ini sebaik mungkin seperti yang dijalani Robinson dan Vendredi, sebagai usaha membunuh kejenuhan hidup yang berada di antara rasa sakit dan kebosanan.***

Almer Sidqi
Almer Sidqi
Wartawan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.