Rabu, April 24, 2024

Desain Konstitusional DPD dalam Putusan MK

M. Addi Fauzani
M. Addi Fauzani
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Masih hangat di telinga kita tentang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang kembali mengalami perubahan mendasar setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutus permohonan pengujian undang-undang (judicial review) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Senin 23 Juli 2018 lalu.

Putusan MK dengan Nomor: 30/PUU/XVI/2018 mengabulkan permohonon pemohon yaitu Muhammad Hafidz untuk seluruhnya. MK dalam putusannya menegaskan bahwa frasa  “pekerjaan  lain”  dalam  Pasal  182  huruf  i UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan tidak mempunyai kekuatan hukum  mengikat  secara  bersyarat  sepanjang  tidak  dimaknai  mencakup  pula pengurus partai politik (parpol).

Implikasi dari Putusan MK tersebut yaitu DPD tidak boleh diisi oleh pengurus parpol. “Pengurus  parpol” dalam putusan ini adalah pengurus mulai dari tingkat pusat sampai tingkat paling rendah sesuai dengan struktur organisasi parpol yang bersangkutan. MK mengakui bahwa pasal 182 huruf i UU Pemilu memang tidak secara tegas melarang pengurus parpol mencalonkan diri menjadi calon anggota DPD.

Padahal sikap MK berdasarkan putusan-putusan sebelumnya selalu menegaskan bahwa calon anggota DPD tidak boleh berasal dari anggota parpol. Sehingga secara otomatis pasal tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945 apabila tidak dimaknai melarang pengurus parpol mencalonkan diri menjadi anggota DPD.

Pendapat MK

Beberapa pertimbangan MK mengabulkan permohonan pemohon dalam judicial review ini yaitu pertama, DPD merupakan wujud representasi daerah. Pembentukan DPD dilandasi oleh pemikiran untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan-keputusan politik di tingkat nasional terutama yang langsung berkaitan  dengan kepentingan daerah.

DPD didesain untuk mengimbangi kekuatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga negara yang oleh UUD NRI 1945 diberi kekuasaan membentuk undang-undang bersama presiden. Kedua kekuasaan tersebut pengisiannya dilakukan melalui sarana parpol. Sehingga, pengisian jabatan anggota DPD haruslah berasal dari luar parpol.

Pertimbangan kedua MK, mencegah terjadinya distorsi politik berupa lahirnya perwakilan ganda (double representation) partai politik dalam pengambilan keputusan, lebih-lebih keputusan politik penting seperti perubahan UUD NRI 1945. Pasal 2 ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Menurut Pasal 3 ayat (1) UUD NRI 1945, MPR memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD. Dengan demikian, jika anggota DPD dimungkinkan berasal dari pengurus partai politik, berarti akan terjadi perwakilan ganda dalam keanggotaan MPR di mana partai politik yang sudah terwakili dalam keanggotaan DPR juga terwakili dalam keanggotaan DPD.

Desain Konstitusional DPD

Desain Konstitusional DPD yang telah dibangun oleh MK dalam beberapa putusannya yaitu, pertama, DPD merupakan representasi daerah yang memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam kerangka nasional, sebagai “cheks and balances” terhadap DPR yang merupakan representasi politik dalam kerangka nasional.

Kedua, keberadaan DPD dan DPR yang seluruh anggotanya menjadi anggota MPR bukan menganut sistem perwakilan bikameral melainkan sistem perwakilan khas Indonesia. Ketiga, meskipun kewenangan DPD terbatas, namun semuanya berorientasi kepada kepentingan daerah yang harus diperjuangkan secara nasional berdasarkan postulat keseimbangan antara kepentingan nasional dan daerah.

Keempat, anggota DPD dipilih melalui pemilu berdasarkan pencalonan perseorangan, bukan melalui parpol peserta pemilu. Kelima,  keberadaan DPD tidak dapat dipisahkan dari adanya Utusan Daerah sebagai salah satu unsur MPR yang terdiri dari perwakilan politik (political representation) dan perwakilan daerah (territorial representation). Keenam, DPR dan DPD memiliki banyak perbedaan yang fundamental sebagai suatu badan perwakilan.

Sikap MK yang memutus DPD tidak boleh diisi oleh pengurus parpol konsisten dengan putusan dan desain konstitusional yang telah dibangun dalam putusan-putusannya terdahulu. Sehingga MK terbukti konsisten sebagai pengawal dan satu-satunya penafsir konstitusi (the guardian and the sole interpreter of the constitution).

M. Addi Fauzani
M. Addi Fauzani
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.