Indonesia terdiri dari desa-desa, tanpa desa tidak akan terbentuk Indonesia. Begitulah dialektika antara Indonesia dengan desa. Indonesia bagian dari desa ataukah desa bagian dari Indonesia? Saya terinspirasi dengan buku seorang rohaniawan/cedikiawan dan bisa disebut apa saja karena beliau tidak berembel-embel gelar yaitu Emha Ainun Najib dalam bukunya “Indonesia Bagian dari Desa Saya”, yang mendorong saya untuk menulis ini.
Di era pembangungan industrialisasi yang semakin meningkat yang dicanangkan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi,juga ikut menyebarluaskan modernisasi ke masyarakat desa. Modernisasi di desa merupakan pola pembangunan yang mendorong desa untuk lebih maju. Akan tetapi, hal itu berdampak besar pada perubahan gaya hidup dimasyarakat.
Ketika selera muncul di era industrialisasi dan masuk ke masyarakat desa, disitulah kemudian mereka membeli mobil bukan untuk kebutuhannya, tapi untuk dipajang di depan rumah. Masyarakat cenderung mengkonsumsi nilai pengakuan agar diberi gelar penghormatan karena atribut, pajangan yang dipamerkannya. Masyarakat kurang bisa membedakan mana kebutuhan dan keinginan, padahal masyarakat desa sendiri “dulu” terkenal dengan kesederhanaanya. Apakah ini yang disebut dengan pembangunan? Sebuah desa dianggap maju saat sudah menerima modernisasi dengan berbagai industri yang membentuk beragam selera.
Modernisasi ibarat ketika kita di tengah arus air, kita harus pandai-pandai berenang bukan untuk terbawa atau pun melawan arusnya. Kritis terhadap modernisasi bukan berarti menolak modernisasi.
Modernisasi yang mengubah gaya hidup dari desa makin meng-kota juga dibarengi dengan gaya hidup dari kota yang sedikit-demi sedikit meng-desa. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya orang kota yang tertekan oleh mekanisme/sistem yang membuatnya sedikit menepi di desa untuk katarsis. Sebaliknya orang desa yang meng-kota juga lambat laun suntuk dalam mengikuti standar hidup orang kota. Demikian itu pula terbentuk pola yang dinamis yang ujungnya “kembali ke asal”.
“Kita barangkali sedang menuju suatu tatanan baru yang tidak terlalu lagi mengutubkan desa-kota. Secara mendasar kemudian yang dibutuhkan bukan lagi romantisme terhadap desa atau defensi kota, melainkan yang mengatasi keduanya: nilai kemanusiaan,” tulis Emha Ainun Najib (hlm. 40).
Jika menyangkut tentang nilai kemanusiaan, sudah tidak memandang desa atau kota lagi. Perilaku masyarakat yang akan membentuk bangsa di masa depan. Perilaku yang dilandasi nilai kemanusiaan akan membentuk suatu tatanan yang cerah di masa depan. Nilai-nilai luhur yang diajarkan nenek moyang kita makin terkikis di era modern ini. Apakah manusia yang semakin berkembang? Apakah permasalahan dulu dan sekarang berbeda? Permasalahan apa dan siapa pelaku pembuat permasalahan itu?
Pembangunan harusnya melihat ke masyarakat, dengan melihat kondisi sosial, sumber daya baik alam atau manusia, budaya, sehingga akan memberikan dampak pada kesejahteraan masyarakat dengan menggali potensi lokal suatudaerah yang ada. Masyarakat tidak lagi dijadikan objek pembangunan, akan tetapi dijadikan subjek pembangunan dengan pemberdayaan.
Pemberdayaan berarti mendayagunakan potensi-potensi baik dari sumber daya manusia, alam, kondisi sosial dan budaya, adat istiadat, dan lainnya untuk meningkatkan kesejahteraan. Sehingga tidak hanya pemerintah saja, peran dari masyarakat dan swasta juga dibutuhkan untuk menjalankan pembangunan pemberdayaan ini. Sistem pembangunan Ekonomi Pancasila yang merupakan gagasan dari seorang ahli ekonom Prof. Mubyarto menurut selaras dengan pembangunan pemberdayaan.
Ekonomi Pancasila yang digagas oleh Prof. Mubiyarto dapat sedikit dijabarkan yaitu sistem ekonomi yang dijiwai oleh ideologi Pancasila, dimana sistem ekonomi ini merupakan usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dan gotong royong. Ekonomi Pancasila melihat aktivitas ekonomi langsung dari kehidupan nyata, karena sistem nilai sosial budaya kita yang kolektif, gotong royong, dll merupakan saripati yang terkandung dalam Pancasila.
Kita bukan individualisme dalam sosial budaya. Jika di teori Barat/Neoklasik/Neoliberal utamanya yang dipakai adalah bagaimana manusia diberlakukan sebagai homoeconomicus dimana pekerjaannya adalah hanya mencari profit semata, selalu bertindak rasional, materiil, dan sebagainya. Padahal apabila menggali dari praktek real life rakyat Indonesia tidak begitu.
Prof. Mubyarto selalu keliling di desa-desa, lereng-lereng gunung, bahkan wilayah terpencil, beliau menemukan bahwa yang ada diaktivitas ekonomi Indonesia adalah homo ethicus dan homo socius. Nilai-nilai sosial dan budaya masih dijunjung tinggi dalam aktivitas baik ekonomi ataupun lainnya. Misalkan dalam masyarakat Jawa mengenal istilah “tuno satak bathi sanak” yang maknanya untung sedikit/bahkan tidak untung tidak apa yang penting terjalin silaturahmi. Akan tetapi nilai-nilai itu semakin terkikis dimasa sekarang ini.
Referensi
Nadjib, Emha Ainun. 2020. Indonesia Bagian dari Desa Saya. Yogyakarta: Bentang Pustaka