Begitu banyak desa yang memiliki warganya sebagai pekerja migran, namun masih lemah dalam melindungi warganya. Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) atau yang biasa disebut sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), pada umumnya masih dilakukan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Kabupaten (Pemkab). Desa belum sepenuhnya berperan dalam perlindungan PMI.
Begitu banyaknya desa di Indonesia yang memiliki ratusan warga sebagai PMI, namun masih jarang Pemdes yang mampu melindungi warganya saat mendapatkan masalah di luar negeri. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Institute of Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (Infest) Yogyakarta (2018), minimnya peran perlindungan pekerja mirgan yang dilakukan oleh Pemdes tidak terlepas dari minimnya pembinaan perlindungan pekerja migran yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) melalui Disnaker.
Upaya perlindungan PMI dari desa misalnya dapat dilihat apakah Pemdes sudah memiliki mekanisme perlindungan pekerja migran? Apakah sudah ada regulasi yang mengatur perlindungan pekerja migran seperti adanya peraturan desa (Perdes) perlindungan pekerja migran atau standar operasional prosedur (SOP) bagi calon pekerja migran?
Apakah sudah ada pos-pos khusus yang menangani kasus pekerja migran? Apakah sudah ada program yang menyasar perlindungan pekerja migran, pemberdayaan purna pekerja migran atau keluarganya? Begitu pun dalam hal pengelolaan data pekerja migran, purna pekerja migran, serta data kasus dan penanganannya.
Dari 12 Desa yang diteliti di dua kabupaten yang memiliki angka migrasi tertinggi di Jawa Timur, hampir semua desa belum menjalankan perannya dalam melindungi warganya yang bekerja di luar negeri sebagai pekerja migran. Hal tersebut dapat diketahui dari belum adanya regulasi yang mengatur perlindungan pekerja migran, pengelolaan data pekerja migran maupun penanganan kasus yang belum terkelola dengan baik, belum adanya SOP bagi calon pekerja migran, belum adanya pos layanan khusus konsultasi tentang migrasi aman, belum adanya anggaran dan program yang secara khsusus untuk perlindungan pekerja migran.
Pemdes juga pada umumnya masih menyandarkan persoalan perlindungan PMI kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Bukan hanya di Jatim, tantangan terkait perlindungan PMI ini juga terjadi di sejumlah desa di Jawa Barat (Jabar). Berdasarkan laporan harian Kompas (Senin, 21 Mei 2018), hal tersebut dikarenakan masih lemahnya posisi tawar perangkat desa.
Perlindungan dari Hulu
Sejak 2016, peran penting desa dalam memberikan perlindungan terhadap TKI telah disadari pemerintah. Kementrian Tenaga Kerja membentuk Desa Migrasi Produktif yang hingga saat ini berjumlah 252 desa dan tersebar di kantong-kantong TKI di Indonesia. Selain itu, ada juga Desa Peduli Buruh Migrasi (Desbumi) yang tersebar di 34 desa. Namun, keberadaan Desmigratif dan Desbumi itu belum benar-benar mendorong perangkat desa menjalankan perannya dalam memberikan perlindungan (Kompas, 21/5/2018).
Kini Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Penempatan dan Perlindungan PMI dapat memberikan harapan baru, karena desa dituntut aktif memberikan perlindungan kepada PMI. Di sisi lain, pemerintah daerah seharusnya bisa mendorong agar kepala desa lebih proaktif melaporkan setiap warganya yang menjadi PMI.
Berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan PMI, secara jelas telah berlaku asas konkuren. Yaitu asas di mana terdapat pembagian kewenangan antar level pemerintahan, yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pemerintah desa. Peran desa menjadi sangat vital untuk mewujudkan pelindungan PMI dari hulu karena sebagai gerbang pertama pada tahapan pra migrasi, sekaligus pintu terakhir paska migrasi.
Selain UU Nomor 18 Tahun 2017, Pemdes juga sebenarnya sudah memiliki kewenangan yang diatur melalui UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan peraturan turunannya. Dalam UU tersebut, Desa memiliki potensi yang besar untuk meningkatkan pelindungan pekerja migran dari hulu.
Berangkat dari kewenangan berskala lokal desa yang beririsan dengan pelaksanaan perlindungan pekerja migran, yakni desa memiliki kewenangan sebagai sumber layanan informasi, pendataan, penerimaan pengaduan masyarakat dan pemberdayaan. Jika semua kewenangan tersebut sudah dijalankan, desa sudah bisa memulai perlindungan terhadap warganya. Apalagi jika di desa tersebut ada komunitas (warga) yang peduli pada perlindungan pekerja migran.
Desa bisa sekaligus merangkul warga bersama-sama melakukan perlindungan dari hulu oleh desa itu sendiri bersama warganya. Adapun langkah selanjutnya bisa berkolaborasi dan berbagi peran dengan pemerintah kabupaten, pusat, maupun lembaga lain yang peduli pada perlindungan pekerja migran.