Selasa, April 16, 2024

Depok, Kota Sejuta Masalah yang Kekurangan SMA Negeri

Muhammad Akhtar Jabbaran
Muhammad Akhtar Jabbaran
Mahasiswa merangkap reporter pers mahasiswa yang sedang mengambil studi Universitas Indonesia, jurusan Arkeologi tingkat satu.

Beberapa tahun kebelakang Kota Depok, Jawa Barat seringkali menjadi top of mind dari mayoritas masyarakat Indonesia ketika sedang membicarakan daftar kota-kota yang menyimpan segudang masalah. Mulai dari kasus COVID-19 pertama di Indonesia yang bertepatan di Kecamatan Cilodong, Depok sampai pada kasus ironi babi ngepet yang kembali mengangkat Depok ke kancah sorotan media nasional dengan rentetan kontroversinya.

Namun, masalah yang berada di Kota Depok tak hanya berhenti pada masalah remeh semacam babi ngepet dan lagu gubahan sang Walikota yang diputar terus menerus di beberapa lampu merah.

Lebih dari itu, Depok memiliki masalah laten yang tak kunjung ditemukan solusinya, yakni adanya kekurangan SMA Negeri yang tersedia bagi para pelajar di Kota Depok serta adanya ketimpangan dari satu SMA dengan yang lainnya yang terlihat secara nyata di dalam hal infrastruktur pendidikan di kota ini  Semua hal tersebut akan kita kupas tuntas dalam beberapa ratus kata kedepan.

Jumlah SMA Negeri yang Jauh dari Kata Cukup

Terhitung dari waktu artikel ini ditulis, ada lima belas SMA Negeri yang terdapat di Kota Depok dan jumlah itu masih sangat jauh dari kata cukup apabila kita membandingkan dengan data BPS Kota Depok yang menyebutkan bahwasannya jumlah anak yang berusia 15-19 pada tahun 2020 mencapai 10.582 orang sedangkan setiap tahunnya rata-rata satu SMA Negeri di Kota Depok hanya menerima 300-400 siswa saja.

Dengan menggunakan matematika sederhana tentunya kita dapat melihat ada puluhan ribu siswa yang harus mencari alternatif lain untuk bisa melanjutkan kebangku sekolah menengah atas atau bahkan sampai harus “melanggengkan praktik KKN” hanya demi bisa bersekolah dengan nyaman di SMA Negeri tujuan mereka.

Letak SMA Negeri di Kota Depok pun sama sekali tidak merata dan cenderung berpusat di Kecamatan Sukmajaya dan Sawangan, hal ini tentunya sangat merugikan para siswa yang memiliki domisili tempat tinggal diluar kedua wilayah tersebut karena belakangan di wilayah Jawa Barat diberlakukan sistem nilai tambah zonasi yang memberikan tambahan kredit nilai bagi para siswa yang memiliki kedekatan jarak dengan sekolah tujuan mereka.

Melalui UU No. 23 Tahun 2014 diatur pemindahan kewenangan pengelolaan sekolah menengah dari daerah ke provinsi. Oleh karena itu, kecarut marutan ini ditambah pula oleh sikap Pemerintah Provinsi yang terkesan lambat dalam melakukan pembangunan serta pemerataan sekolah-sekolah negeri yang berada di kawasan administratif tempat mereka bekerja.

Walaupun dalam beberapa tahun terakhir Pemerintah Provinsi telah memulai pembangunan dua SMA Negeri, yakni SMAN 14 yang terletak di Beji dan SMAN 15 yang terletak di Abadijaya. Namun, keduanya sama-sama belum bisa menjawab kebutuhan warga Depok akan infrastruktur pendidikan yang memadai dikarenakan masih harus menumpang dengan sekolah-sekolah lain yang bersedia meminjamkan atapnya untuk bisa dilangsungkannya kegiatan administratif para guru dan staff serta kegiatan belajar mengajar para siswa

Ketimpangan Antara Sekolah Satu dan Lainnya

Secara nyata kita dapat melihat ketimpangan baik dalam hal kualitas pengajaran sampai pada infrastruktur gedung sekolah yang sangat ‘jomplang’ antara satu SMA dengan lainnya. Sebagai contoh, SMAN 3 Depok yang terletak di Jalan Raden Saleh, Sukmajaya memiliki gedung yang relatif layak dan mumpuni untuk dijadikan tempat belajar mengajar secara optimal.

Namun, tidak sampai dua kilometer jauhnya ada SMAN 11 Depok yang belakangan baru mendapatkan gedungnya di tahun 2018, kondisi dari SMAN 11 Depok pun bisa dikatakan berbeda jauh dengan SMAN 3 Depok yang memiliki infrastruktur pendidikan yang lumayan lengkap karena tanah merah masih mendominasi lanskap dari SMAN 11 Depok serta adanya keluhan para siswa semasa offline dahulu dimana kondisi akan menjadi sangat tidak bersahabat ketika hujan datang dikarenakan harus berkutat dengan bekas tanah merah dan jalan yang licin.

Ketimpangan semacam ini lazim kita temui di Kota Depok. Aduan demi aduan pun sudah sering dilayangkan para orang tua murid yang merasakan adanya ketimpangan infrastruktur pendidikan ini. Namun, nyatanya belum ada upaya masif dan menyeluruh dari para stakeholder terkait penyelesaian permasalahan ini.

Kondisi Pandemi Sedikit Memberikan Napas

Melalui wawancara singkat dengan salah satu murid kelas 12 sekolah menengah atas yang menolak untuk disebutkan namanya, ia menyebutkan bahwa kondisi bangunan sekolah tempat ia belajar kurang mendukung untuk dilaksanakannya PTM (Pembelajaran Tatap Muka) secara efektif dikarenakan masih menumpang dengan sekolah lain. Dengan adanya PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) lumayan membantunya dalam menyiasati metode pembelajaran  online yang dirasanya mulai terasa nyaman belakangan ini.

“Selama PTM aku merasa kurang sreg dengan fasilitas yang ada karena memang kondisi bangunan yang masih menumpang dan tenaga pengajar yang masih belum bisa menyesuaikan diri. Tapi kalau untuk PJJ aku merasa kalau sistem ini udah cocok banget sama diri aku” ujarnya.

Kita mungkin bisa berharap di kondisi pandemi seperti ini tentunya pihak pemerintah provinsi bisa lebih menyiasati pembangunan infrastruktur pendidikan sebelum nantinya meminimalisir membludaknya siswa yang masuk ketika dilaksanakannya pembelajaran secara offline.

Dampak Riil dan Masif dari Kurangnya SMA Negeri di Depok

Apabila menilik secara mendalam, golongan masyarakat yang paling merasakan dampak tentunya berasal dari golongan menengah kebawah yang memang seharusnya merasakan subsidi pemerintah dalam hal pendidikan formal di sekolah negeri yang tidak terlalu membebankan biaya. Menurut salah satu narasumber yang lagi-lagi menolak dicantumkan namanya, ia mengaku harus melakukan pinjaman dengan pihak keluarga dan tempat dimana orang tuanya bekerja dengan harapan ia bisa melanjutkan sekolah di instansi pendidikan swasta.

“Karena gua kemarin gak dapat di PPDB, orang tua gue harus susah payah mencari pinjaman sana-sini dengan pihak keluarga dan ke kantor cuma untuk membiayai gue sekolah di swasta” Ujarnya.

Selain itu, pihak sekolah yang menangani langsung murid baru juga terkena imbasnya. Contoh saja SMAN 1 Depok yang pernah mendapatkan protes dan demo dari orang tua murid pada tahun 2020 silam yang merasakan bahwa sistem zonasi PPDB yang seharusnya menguntungkan mereka, tetapi kenyataannya berbanding terbalik

Muhammad Akhtar Jabbaran
Muhammad Akhtar Jabbaran
Mahasiswa merangkap reporter pers mahasiswa yang sedang mengambil studi Universitas Indonesia, jurusan Arkeologi tingkat satu.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.