Novel Baswedan memang “radikal”. Ia terlibat dalam pengungkapan berbagai kasus kakap. Intuisi lapangannya tajam di lapangan (yang berguna ketika operasi tangkap tangan), daya analitiknya kuat, dan ia tidak punya rasa sungkan kepada siapapun. Dia pun hampir tak memiliki rasa takut.
Orang yang mengaku “sejak lama menjadi pendukung KPK dalam menuntaskan masalah korupsi” seperti buzzer, Denny Siregar, mestinya inget bagaimana Novel memimpin operasi penggeledahan markas Korps Lalu Lintas Polri pada 2012 untuk menyidik korupsi pengadaan alat simulator ujian SIM.
Novel dan kawan-kawan disandera di dalamnya hingga pimpinan KPK bernegosiasi dengan bos-bos kepolisian. Polisi membalas dendam Novel dengan mencari-cari kasus yang sudah terjadi delapan tahun sebelumnya, lalu menersangkakan sang penyidik untuk perkara yang sebenarnya ia tidak bertanggung jawab.
Kasus simulator SIM hanya satu yang ia tangani. Hanya untuk menyebut contoh saja. Kalau rajin membaca, banyak media yang telah menulis sepak terjang Novel. Ia pun terlibat dalam penangkapan Nunun Nurbaeti, istri mantan wakapolri Adang Daradjatun yang lari ke luar negeri saat menjadi tersangka suap pemilihan Deputi Gubernur BI di DPR. Begitu juga pengejaran Nazaruddin, bendahara Demokrat yang lari ke Kolombia ketika menjadi tersangka korupsi proyek Hambalang.
Novel jelas-jelas radikal, seperti tuduhan Denny Siregar. Ya, radikal dalam perang melawan koruptor. Tersangka atau saksi yang dipanggil ke KPK akan gemetar kalau berhadapan dengannya. Tapi, apakah dia memimpin semua penyidikan kasus korupsi yang ditangani KPK? Jelas tidak.
Ada banyak penyidik handal di lembaga itu. Apakah semua “berjenggot dan bercelana cingkrang”? Ah, pasti tidak. Pak Christian (dari namanya jelas dia tidak beragam Islam) adalah penyidik luar biasa, yang menjadi sekondan Novel. Ia juga mantan perwira polisi, yang kemudian banyak diteror oleh mantan kolega-kolega di kepolisian karena sikap tegasnya.
Sistem kuat di KPK tidak memungkinkan ada interest pribadi dalam pengungkapan kasus. Yang terjadi adalah saling koreksi. Apalagi, pengambilan keputusan oleh pimpinan pun bersifat kolektif kolegial. Karena itu, “wakil-wakil kepolisian” (mereka yang ditempatkan di lembaga itu oleh Mabes Polri untuk kepentingan korps) selalu gagal menjalankan misinya. Sebab, penyidik-penyidik internal melawan dengan gigih usaha perwira titipan itu.
Novel “radikal” dan merupakan “kelompok Taliban di KPK” seperti tuduhan Denny? Jelas, sang penuduh tidak mengenal sang penyidik.
Benar, Novel menjalankan agama dengan sangat ketat. Ia hampir selalu salat berjamaah, termasuk ketika menjalani perawatan selama hampir setahun di Singapura setelah matanya diserang pada 11 April 2017. Ia pun rajin berpuasa. Saya tidak tahu, apa salahnya dengan semua itu? Apakah salah seseorang menjalankan prinsip agamanya dengan benar?
Apakah salah jika ia menggantungkan perlindungan kepada Tuhan-nya, ketika para pemimpin negara, tempat dia mengabdi dalam pemberantasan korupsi, tidak bisa melindunginya? Apakah salah jika ia pasrah kepada pencipta, ketika penyerang yang telah membutakan matanya tak kunjung bisa ditangkap?
Bagaimana mungkin Denny Siregar merasa lebih baik daripada Novel? Apakah buzzer pemerintah lebih mulia dibandingkan seorang penyidik yang telah mempertaruhkan jiwanya dan keluarganya untuk melawan korupsi? Lalu, untuk kepentingan siapa Denny menulis tuduhan kejinya?
Barangkali tuduhan Denny tentang adanya “kelompok radikal” di KPK bisa diletakkan dalam konteks kepentingan polisi. Ia mungkin mendapat asupan informasi dari kepolisian. Kebetulan, waktu dan konteksnya berkaitan dengan seleksi calon pimpinan. Bisa ditebak, tuduhan Denny akan mengarahkan agar calon pimpinan mendatang adalah mereka yang lolos “screening” polisi atas nama “menangkal radikalisme”.
Jika itu dilakukan, mereka yang merugikan kepentingan polisi di KPK bisa saja dijegal panitia seleksi. Tuduhannya, calon yang bisa jadi kredibel itu mendukung “Talibanisme”. Jelas, Denny sedang menjadi pasukan infantri untuk merobohkan independensi KPK.