Jumat, April 26, 2024

Denny Siregar Benar, Jokowi Bukan Soeharto

Randi Reimena
Randi Reimena
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Andalas. Bergiat bersama Lab. Pauh 9, sebuah ruang riset dalam bidang ilmu sastra dan humaniora.

Denny Siregar kesal. Saat ini ada yang terang-terangan menyatakan Jokowi sama saja dengan Soeharto. Mengingat ketidaksanggupannya dalam membedakan antara sipil dan militer dalam konsepsi HAM, serta mengingat kesederhaan pikirannya yang menganggap warga pemilih Prabowo tidak usah ikut mengkritik Jokowi, wajar saja dia kesal.

Pakar desas-desus ini mengatakan ada pihak yang sengaja membangun opini bahwa Indonesia tengah diseret kembali ke jaman Orde Baru. Jokowi kemudian dimirip-miripkan dengan Soeharto. Dengan begitu, orang akan melihat Jokowi sebagai musuh. Tujuan mereka ini, menurut Denny, cuma satu: Ingin menjatuhkan Jokowi.

Lewat status 300 kata di Fanpagenya yang sering diyakini penggemarnya sebagai ‘analisis’ itu, Denny mengumumkan: Ada ‘suharto’ di balik berbagai aksi yang sedang dan akan berlangsung sepanjang minggu ini. Ini tentu saja upayanya untuk mengatakan Jokowi bukan Suharto, malah mereka bermusuhan.

Teori ngasal  seperti ini tentu berasal dari kosmologi politik Denny Siregar dan orang semacam beliau, yang melihat dunia hanya terbagi dua: Jokowi, dan selebihnya pihak yang ingin menjatuhkan Jokowi. Pihak-pihak ini bisa menjelma apa  saja. Di Papua pihak ini menjadi HTI, di KPK menyaru jadi tali ban, dan kini sedang menyamar menjadi ‘Suharto’.

Saya tidak sepakat dengan teori konspirasi tersebut. Walau begitu, saya sepakat dalam hal Jokowi bukan Suharto, karena nyatanya Jokowi memang bukan Suharto. Suharto suka membungkam, sementara Jokowi lebih suka mengabaikan. Dua hal tersebut jelas beda.

Dalam soal HAM, misalnya. Sepanjang pemerintahan Orde-Baru-nya Suharto, pegiat HAM yang menuntut pemenuhan HAM dibungkam dengan berbagai cara. Sementara itu, Jokowi justru mengabaikan penyelesaian HAM. Tolong ini dicatat betul: Mengabaikan, bukan membungkam.

Berdasarkan laporan evaluasi Kontras, sebagaimana dikutip Hakasasi.id (2018), selama 4 tahun pemerintahannya Jokowi sama sekali tidak berhasil menyelesaikan satu pun kasus HAM masa lalu sebagaimana yang dijanjikannya pada 2014.  Sekedar mengingatkan, dulu itu Jokowi punya 17 Program HAM yang semuanya jalan di tempat.

Berbagai tuntutan dari kelompok masyarakat sipil agar kasus-kasus HAM masa lalu diselesaikan, seperti Aksi Kamisan, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh beliau. Padahal mereka telah 600 kali hari kamis melakukan aksi di depan Istana.  Bayangkan, sudah 600 kali orang-orang ini berdiri di depan  Istana menuntut keadilan, namun diabaikan oleh Presiden Jokowi. Ini jelas-jelas berbeda dengan gaya Suharto, ini bukan pembungkaman, ini pengabaian.

Itu baru perbedaan dalam penanganan HAM. Dalam soal pemberantasan korupsi, Jokowi juga tidak dapat disamakan dengan Suharto.

“Biar rakyat mengantung saya” kata Suharto, seandainya ia gagal memberantas korupsi saat menerima perwakilan demonstran mahasiswa  pada 1970. Setelah itu, mengikuti tuntutan mahasiswa, Suharto pun membentuk lembaga anti korupsi.  Ada Tim Pemberantasan Korupsi dan kemudian Tim Empat. Keduanya dibentuk hanya untuk dibungkam, karena hasil penyelidikan ternyata membuat resah kalangan elit.

Walau semua omong kosong belaka karena nyatanya Suharto tidak pernah bersedia digantung, dan meski lembaga yang dibentuknya dibubarkan tanpa alasan jelas (baca: dibungkam), setidak-tidaknya, pada masa itu, Suharto mendengar dan merealisasikan aspirasi publik.

Sementara, Jokowi tidak begitu. Beliau memilih mengabaikan aspirasi ribuan dosen dan akademisi dari 27 kampus yang menolak revisi UU KPK. Beliau juga aspirasi mengabaikan publik yang menyuarakan penolakannya, baik melalui media cetak atau media daring sampai petisi.

Betapa kentara perdebadaan antara keduanya, yang satu menerima aspirasi yang satu mengabaikan. Di mana samanya kalau begitu?

Tidak seperti Suharto, Jokowi tidak main bungkam begitu saja. Kalau Suharto bisa membubarkan lembaga anti korupsi tanpa alasan yang jelas, Jokowi lain lagi. Beliau, bersama legislatif, ikut memperlemah lembaga pemberantasan korupsi menggunakan perangkat demokrasi. Ada mekanisme yang mesti dilewati. RUUKPK diajukan DPR, Jokowi menyetujui beberapa pasal yang diajukan, dan…tok! KPK diperlemah. Tolong ini dicatat, di sana ada semacam taat prosedur, bukan ujug-ujug dibungkam.

Banyak juga yang menyama-nyamakan gaya pemerintahan Jokowi dengan Suharto. Bahkan ada yang bilang rezim Jokowi sama fasisnya dengan rezim Suharto. Opini mengada-ngada ini semakin membuat Denny kesal. Lha di mana letak samanya? Suharto fasis, itu jelas. Jokowi fasis? Tunggu dulu.

Jika Suharto memelihara Ormas-ormas untuk mengintimidasi rakyat yang berani protes  demi mempertahankan kekuasaannya, maka Jokowi lain lagi.  Jokowi tidak pernah mengintimidasi, Jokowi orang baik. Jokowi tidak punya organisasi massa resmi untuk menekan oposisi.

Walau begitu, ada avengers atau ‘relawan khusus’ yang siap sedia membela Jokowi. Kalaupun para avengers ini suka mengintimidasi akun yang punya pandangan politik yang beda di medsos, mereka ini bukan binaan Presiden, melainkan binaan seorang Kaka Pembina. Mereka ini juga bukan lembaga propaganda resmi negara, meski kerjanya mirip dengan Departemen Penerangan-nya Suharto: Tukang pelintir, memelintir desas-desus menjadi seolah fakta, dan fakta seolah hoax.

Dan meski tentara serta polisi masih suka main kekerasan itu bukan perintah Presiden Jokowi. Itu ada SOP-nya.  Apa hubungannya dengan fasisme? Menjadi fasis dan pembiaran atas fasisme jelas beda. Yang satu betul-betul fasis, yang satu lagi  membiarkan fasisme.

“Jokowi kan Panglima tertinggi. Bukannya ia punya otoritas untuk menghentikan tindakan represif aparat terhadap rakyat, termasuk rakyat di Papua?” Kalian mungkin bertanya. Tapi Pertanyaan ini sama sulitnya dengan pertanyaan: Kenapa yang ada dalam otak Denny dan penggemarnya hanyalah Jokowi versus the world, bukannya rakyat versus oligarki.

Jadi opini yang mengatakan Jokowi sama saja dengan Suharto, jelas mengada-ngada. Hal tersebut sama mengada-ngadanya dengan orang yang berkata Orde Baru sirna bersama lengsernya Suharto. Menyamakan-nyamakan rezim Jokowi dengan rezim Suharto, juga sama mengada-ngadanya dengan orang yang mengatakan menjadi fasis dan membiarkan fasisme adalah dua hal yang berbeda.

Randi Reimena
Randi Reimena
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Andalas. Bergiat bersama Lab. Pauh 9, sebuah ruang riset dalam bidang ilmu sastra dan humaniora.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.