Pra-reformasi pada tahun 1998, Indonesia dipimpin rezim otoriter. 32 tahun Orde Baru menjalankan pemerintahan dengan kekuatan besi. Kebebasan berpendapat menjadi barang langka ditemukan. Masyarakat dibungkam dan tidak bebas berkumpul dan menyatakan pendapatnya. Kalau ada masyarakat yang mengkritisi kebijakan pemerintah akan menjadi sorotan dan pengawasan, bahkan lebih mengerikan banyak aktivis yang ditangkap dan dipenjara karena mengkritisi kebijakan pemerintah.
Saat reformasi digendangkan, dan pemerintah otoritarian tumbang, negera Indonesia berubah menjadi negara yang demokrasi. Hak menyatakan pendapat diatur dalam undang-undang. Masyarakat bebas berekspresi, berkumpul dan menyatakan pendapat didepan umum. Kebijakan pemerintah diberikan ruang untuk dikritisi. Siapa saja berhak menyatakan dan menyampaikan pemikiran. Tak pelak pula demonstrasi menentang kebijakan dan rasa ketidak-adilan menjamur di seantero negeri. Demonstrasi menjadi pemandangan yang biasa mengisi ruang TV, koran, majalah dan media lainnya.
Sebelum UUD 1945 diamandemen. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah lembaga tinggi negara yang memiliki wewenang mengangkat dan memberhentikan Presiden. Jamak diketahui, saat itu lembaga tinggi tersebut juga dikuasai pemerintah. Sehingga pemerintah dengan mudah dan tanpa hambatan melanggengkan kekuasaan presiden hingga 32 tahun lamanya. Pasca amandemen, kedaulatan berada ditangan rakyat. Rakyatlah yang berhak dan menentukan nasib bangsa Indonesia, termasuk aksi demonstrasi dan menyatakan pendapat adalah hal yang dibenarkan dan merupakan konsensus bersama, serta buah dari reformasi selama tidak melanggar aturan yang ada.
Demonstrasi dalam Islam
Demonstrasi dalam bahasa arab disebut dengan “Muzhaharat”. Secara eksplisit dalil yang mengharamkan demo tidak ditemukan, begitu juga dalil yang membolehkannya. Kalau tidak ditemukan dalil yang mengharamkannya, maka kembali kepada hukum asal yaitu “Hukum asal dalam semua hal adalah boleh selama tidak ada nash yang mengharamkannya”. Oleh karena itu demo adalah hal yang dibenarkan selama tidak merusak kemaslahatan umum.
Menurut Yusuf Qardhawi, dalam Islam perkara yang halal jauh lebih luas dari perkara yang haram karena sesuatu yang tidak dinyatakan haram pada dasarnya adalah halal. Hal ini diperkuat dengan hadis Nabi “Allah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kau sia-siakan. Memberi batasan-batasan, jangan kau lewati. Mengharamkan beberapa hal, jangan kau langgar. Diam atas beberapa hal sebagai rahmat bagimu, bukan karena lupa, maka jangan kau cari-cari darinya”. Dalil inilah yang dipegang oleh Qardhawi sehingga beliau berpendapat bahwa Muzharat dalam islam dibolehkan, karena tidak ada dalil yang mengharamkanya.
Ulama dari kalangan Salafi menyatakan, bahwa Demonstrasi adalah hal yang diharamkan. Sebut saja Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan. Mereka berpendapat bahwa Muzhaharat tidah ditemukan dalam islam. Bahkan ulama yang terakhir Al Fauzan menyatakan “Demonstrasi bukan perilaku umat Islam dan tidak dikenal oleh umat Islam zaman dahulu. Demonstrasi menimbulkan pertumpahan darah dan kerusakan harta benda. Maka, hal ini tidak boleh”.
Pernyataan Syekh Al Fauzan yang menyatakan Demonstrasi tidak dikenal dalam islam adalah hal yang keliru. Mengapa tidak! Bahwa demonstrasi pernah ada. Bibit-bibit demonstrasi mulai muncul ketika terbunuhnya Ustman bin Affan dan pengangkatan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Umat islam ada yang setuju dan ada yang tidak setuju dengan pengangkatan Ali bin Abi Thalib. Beliau juga mengatakan kalau demonstrasi menimbulkan pertumpahan darah dan kerusakan harta benda. Pertanyaanya adalah apakah semua aksi demonstrasi menimbulkan pertumpahan darah dan kerusakan harta benda? Tentu tidak! Banyak aksi demonstrasi yang berlangsung secara damai. Pendapat ulama dari kalangan salafi ini hemat penulis lebih bersifat politis, karena mereka adalah ulama yang berasal dari Arab Saudi dan sebagai mufti kerajaan, menganut sistem Monarki Absolut yang tidak membuka kran untuk berunjuk rasa bagi masyarakatnya.
Kalangan Salafiyyin juga sering berargumentasi untuk memperkuat pendapat mereka, bahwa ketika Allah utus Nabi Musa untuk mendakwahi Firaun agar Musa berkata dengan perkataan yang lemah lembut. (Q.S Thaha:44). Jadi, menurut mereka menyampaikan pendapat harus mencontoh Nabi Musa dalam menyampaikan dakwah kepada Firaun, tidak seperti yang terjadi dalam aksi demonstrasi.
Argumentasi Salafiyyin terakhir dapat dibantah, bahwa menggunakan dalil Umum yang dijadikan Hujjah tanpa melihat konteks akan menjadikan gagal paham terhadap ayat itu sendiri. Apalagi tanpa melihat nash yang menceritakan cara dakwah Nabi dan Rasul yang lain. Sebagai contoh Nabi Ibrahim yang menghancurkan patung Lata, Manna dan Uzza; tuhan sesembahan umat Nabi Ibrahim. Bukan melegalkan kekerasan, akan tetapi dari kisah Nabi Ibrahim tersebut menjadi bukti bahwa metode dakwah Nabi berbeda-beda sesuai dengan keadaan pada saat itu. Sebenarnya melalui perintah Allah kepada Nabi Musa untuk mendakwahi Firaun dengan perkataan lemah lembut tersirat pelajaran penting, bahwa Nabi Musa adalah Nabi yang pernah tinggal dan diasuh oleh Firaun sendiri. Sebagai seorang yang pernah diasuh oleh Firaun, sepantasnya Nabi Musa bertutur dengan baik, walaupun Firaun sendiri adalah orang yang ingkar dan mengaku sebagai Tuhan.
Penulis lebih cenderung kepada pendapat yang membolehkan demonstrasi dalam islam, asal sesuai dengan nilai-nilai islami dan tidak melanggar aturan yang ada. Penulis juga mengkritisi Manhaj Salafi yang lebih mengajarkan Doktrin dari pada ilmu. Konsekuensi dari semua itu adalah cenderung merasa benar sendiri dan mudah menyalahkan orang lain. Perlu dipahami bahwa demonstrasi tidak tumbuh baik di Negara yang tidak Demokratis. Islam adalah agama demokratis yang mengedepankan musyawarah-mufakat. Seandainya islam bukan agama yang demokratis, tentu bukanlah Abu Bakar yang akan menjadi khalifah sepeninggal Nabi Muhammad Saw, sebagaimana yang diklaim orang-orang Syiah.
Penutup
Demonstrasi adalah upaya menyampaikan pendapat secara bersama-sama. Pendapat yang disampaikan dengan beramai-ramai mungkin lebih mudah didengar dan ditanggapi. Unjuk rasa tidak ada dalil yang mengharamkan dan mengharuskannya secara eksplisit. Oleh karena itu, sesuai dengan kaidah fikih “kalau tidak ada nash yang melarang atau menyuruhnya, maka kembali kepada hukum asal yaitu boleh”. Kebolehan menyampaikan pendapat didepan umum adalah implikasi dari negara yang menganut sistem demokratis. Jangan sampai ada pelarangan-pelarangan kepada orang yang ingin berdemonstrasi atas dasar apapun, termasuk atas dasar agama.
Yang perlu diperhatikan dalam berunjuk rasa bagi umat islam khususnya, adalah dengan mengedepankan nilai-nilai islami. Tidak boleh ada perusakan, mengganggu ketertiban umum, melakukan kekerasan, apalagi memaksakan kehendak. Selain itu Undang-undang juga mengatur tata cara menyampaikan aspirasi di depan umum. Hal inilah yang perlu ditaati bagi demonstran-demonstran yang ingin menyampaikan aspirasinya melalui demontrasi.