Minggu, Desember 8, 2024

Demokratisasi Menjalar Ke Madrasah: Bagaimana Dampaknya?

Mohammad Abidin
Mohammad Abidin
GURU MAN 2 LAMONGAN
- Advertisement -

Pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden pertama kali digelar pada tahun 2004 dan menjadi tonggak pertama kali demokratisasi berlangsung di negeri ini. Rakyat mempunyai hak langsung tanpa perwakilan mencari sosok pemimpin yang memiliki kapasitas ideal membawa gerbong besar negara dan bangsa ke arah yang lebih baik. Bahkan dalam perjalanan lebih lanjut tradisi ini menular ke bentuk pemilihan terhadap kepala daerah secara berjenjang ke bawah. Hanya pemilihan Kepala Desa yang dianggap berusia tua mendahului semua proses pemilihan kepala pemerintahan di negeri ini.

Semangat demokratisasi nampaknya ingin ditransformasikan disemai dan ditanam di  tubuh madrasah semenjak dikeluarkannya surat edaran dari Kemenag Kanwil Jatim Nomor: Kw.15.2/2/HK.00.7/4126/2015 tentang pemilihan langsung terhadap jabatan Wakil Kepala sebagai jabatan tambahan guru. Dan hasrat mengusung pemilihan langsung terhadap sosok Waka semakin menguat dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Dirjen Pendis Nomor 1531 Tahun 2020.

Kementerian Agama nampaknya serius menggemakan semangat demokratisasi di tubuh madrasah dan menolak anggapan berpihak pada jubah otoritarian terutama dalam proses pemilihan mencari sosok pemimpin. Narasi narasi masa lalu dimana satu orang satu jabatan Waka yang diemban dalam rentang tahun yang panjang melebihi kepatutan nampaknya hanya tinggal kenangan sejarah dan  berganti dengan sistem baru yang elegan dan demokratis.

Keinginan menduplikasi semangat demokratisasi di madrasah patut diapresiasi sebagai langkah yang progresif, berkesadaran tinggi dan sesuai dengan ekseptasi jaman. Kaderisasi dan suksesi kepemimpinan memang perlu direncanakan dan diatur sedemikian rupa untuk mempersiapkan transisi kekuasaan yang harmonis, linier dan berkualitas. Mengusung sistem pemilihan yang demokratis akan menjadi tradisi baru dan meninggalkan tradisi lama yang terkesan diktator dan  otoriter. Harapan terhadap kualitas madrasah dari sosok leader pemegang lokomotif perubahan telah terjawab dengan datangnya arus demokratisasi yang kian menguat.

Setelah hampir enam tahun proses demokratisasi berjalan semenjak tahun 2016 ternyata banyak catatan catatan kecil yang bisa dipertimbangkan sebagai edisi penyempurnaan lebih lanjut terhadap sebuah sistem pemilihan yang berlangsung. Karena esensi perubahan bukan pada bentuk proses namun lebih penting lagi pada essensi hasil. Karena proses sekedar alat yang memiliki hukum relatif sementara hasil memiliki  hukum mutlak.

Catatan Pertama

Demokratisasi dengan menggelar pemilihan langsung terhadap sosok calon Wakil Kepala Madrasah dirasa sangat Tanggung.

Karena bagaimana-pun posisi Waka adalah posisi Second, posisi lapis dua, posisi pembantu Kepala Madrasah dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Apapun kualitas seorang Waka yang muncul dari sebuah kompetisi panjang dan memiliki legitimasi kuat secara dukungan terhadap dirinya atas kapasitas yang dimilikinya Tetap meletakkannya pada posisi “Kotak Pandora” Kepala Madrasah.

Waka hanya sekedar pelaksana tugas sebagaimana bidang garapannya masing masing yang mengejawantah-kan pemikiran strategis Sang Kepala. Apa yang dilakukan sekedar men-translete keputusan dan ketetapan Madrasah yang dalam hal ini tentu Sang Kepala sangat dominan. Kalau memang lebih pada penguasaan operasional kerja ‘Mengapa’ harus muncul melalui proses pemilihan langsung. Akan lebih tepat jika kewenangan menentukan calon Waka langsung menjadi kewenangan Sang Kepala yang persis tahu selera dan keinginannya membuat “Team Work” ideal.

Catatan Kedua

Resiko sosial dan resiko politik sebagai limbah demokrasi pemilihan langsung secara tidak sengaja juga akan terbawa masuk ke madrasah bersamaan dengan digelarnya proses pemilihan itu.

Secara alamiah kegiatan dukung mendukung atas calon menjadi sesuatu yang lumrah. Karena tanpa ada semangat dukungan maka demokrasi dipastikan jalan di tempat bahkan mati suri. Siapa yang akan mau dan bersedia dicalonkan jika proses loyalitas dukungan terhadap calon di haramkan. Siapa yang mau maju dicalonkan atau mencalonkan diri jika hanya berbekal Kartu Kosong, karena tanpa semua itu seorang calon tidak akan punya kepercayaan diri untuk maju dalam bursa kompetisi.

- Advertisement -

Nah, dengan hidupnya atensi dukungan pada masing masing calon membuat hubungan sosiologis semakin terasa. Mobilitas suara, doktrinasi keberpihakan, kristalisasi kepercayaan, solidaritas, kesetiakawanan akan tumbuh subur “Tapi’ hanya di dalam kantong komunitas masing masing pendukung calon. Dan pada saat itulah “Jam Gantung Harmonisasi Sosial “berbunyi getar memberi sinyal alarm tanda peringatan.

Adapun resiko politik justeru akan semakin terlihat pasca seorang calon ditetapkan sebagai nominator pemenang. Dia akan terus tersandera dengan Hutang Jasa terhadap mereka mereka yang selama ini gegap gempita memberi dukungan kepadanya. Tidak ada yang gratis, semua ada kompensasinya setidaknya meletakkan mereka pada arus kekuasaan dan arus kebijakan. Konstituen selalu menjadi pertimbangan dalam menentukan suatu keputusan, namun jika Tidak dilakukan maka Konstituen akan memandang sebagai bentuk pengkhianatan.

Kondisi tersebut diatas bukan menggeneralisir dan merepresentasikan semua madrasah se-Indonesia, secara kasuistis mungkin ada beberapa madrasah yang mengalami-nya, Namun  tidak menutup kemungkinan bahkan menjadi arus besar sebagai proses diri melaksanakan demokrasi secara lebih dewasa.

Dua catatan kecil diatas nampaknya memiliki resonansi yang sama dari semangat Kementerian Agama untuk terus melakukan perbaikan sistem pemilihan secara langsung sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Dirjen Pendis Nomor 1531 Tahun 2020 yang memiliki perbedaan sistem dari regulsi sebelumnya yaitu menyerahkan Tiga nama pada masing masing jabatan Waka dari panitia pemilihan kepada Kepala Madrasah untuk dipilih dan ditetapkan.

Kepala memiliki hak Veto dari hasil proses pemilihan. Harapannya kedepan terus ada penyempurnaan sistem dari setiap kelemahan yang ditemukan sehingga wajah demokrasi benar benar sesuai dengan wajah madrasah. Perubahan memang tidak bisa sekaligus sempurna, perlu waktu dan proses yang relatif panjang.

Mohammad Abidin
Mohammad Abidin
GURU MAN 2 LAMONGAN
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.