Dalam keramaian pesta demokrasi lima tahunan, partai politik seringkali menjadi pusat sorotan. Mereka hadir di layar kaca, baliho, dan ruang-ruang publik, menawarkan wajah, janji, serta ide tentang masa depan. Namun, seberapa sering kita bertanya: apakah partai-partai itu sendiri demokratis?
Pertanyaan ini krusial. Sebab sebagaimana diingatkan oleh Thomas Poguntke dan Susan Scarrow, partai politik bukan hanya kendaraan elektoral, melainkan institusi yang menentukan arah dan kualitas demokrasi suatu negara. Jika partai tidak demokratis dari dalam, bagaimana kita bisa berharap sistem politik nasional mencerminkan nilai-nilai demokrasi?
Krisis Legitimasi Partai
Sejarah politik Indonesia mencatat bagaimana partai kerap mengalami krisis legitimasi. Pada era 1950-an, seperti dicatat oleh Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962), partai politik lebih sering menjadi alat elite untuk mengejar jabatan, bukan sebagai medium artikulasi kepentingan publik. Fenomena ini, menurut Paige Johnson Tan (2006), melahirkan “antipati massal” terhadap partai yang tak lagi dirasakan sebagai bagian dari masyarakat.
Keterputusan antara partai dan rakyat ini masih terasa hingga kini. Kepercayaan publik terhadap partai politik rendah. Lembaga survei seperti LSI maupun Indikator Politik Indonesia dalam berbagai kesempatan menunjukkan bahwa partai politik kerap berada di posisi terbawah dalam indeks kepercayaan publik.
Namun, apakah solusi dari persoalan ini hanya soal elektabilitas atau sekadar citra? Tentu tidak. Yang dibutuhkan adalah perombakan mendasar atas cara partai diorganisasi, termasuk bagaimana nilai-nilai demokrasi diinternalisasi dalam tubuh partai.
Demokrasi Internal: Kunci yang Terlupakan
Konsep Intra-Party Democracy (IPD) atau demokrasi internal partai adalah kunci penting yang selama ini kurang mendapat perhatian serius. IPD merujuk pada sejauh mana partai menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam proses internalnya—dari perekrutan kader, pemilihan pemimpin, penyusunan program, hingga mekanisme pertanggungjawaban.
Piero Ignazi (2020) menyebut empat pilar utama IPD: inklusi, pluralisme, deliberasi, dan difusi kekuasaan. Sementara itu, Rahat dan Shapira (2016) menambahkan lima indikator konkrit: partisipasi, kompetisi, representasi, responsivitas, dan transparansi.
Jika indikator-indikator ini diterapkan, maka partai akan berfungsi bukan hanya sebagai alat kekuasaan, tetapi sebagai ruang pendidikan politik dan pembibitan kepemimpinan yang sehat. Sebaliknya, tanpa IPD, partai mudah terjebak dalam kultur feodal, oligarkis, dan patrimonial.
Sayangnya, di banyak partai di Indonesia, pemilihan pemimpin masih ditentukan oleh kekuatan uang atau kedekatan dengan elite, bukan melalui musyawarah anggota. Pengambilan keputusan kerap elitis, tertutup, dan jauh dari semangat deliberatif. Proses kaderisasi lebih bersifat sporadis dan transaksional.
Hubungan IPD dan Kesehatan Demokrasi
Mengapa kita perlu menaruh perhatian pada IPD? Karena ada kaitan erat antara demokrasi dalam partai dengan kualitas demokrasi di tingkat negara. Cross dan Katz (2013) menunjukkan bahwa partai politik yang demokratis dari dalam cenderung mendorong pemerintahan yang lebih akuntabel dan inklusif. Sebaliknya, partai yang otoriter dan tertutup cenderung melahirkan pemimpin yang enggan dikritik dan enggan berbagi kekuasaan.
Demokrasi tidak bisa dibangun di atas fondasi yang rapuh. Jika akar-akarnya, yakni partai politik, tidak sehat, maka institusi demokrasi lain pun akan ringkih. Maka sebagaimana diingatkan oleh Amundsen (2013), reformasi partai adalah jalan menuju demokrasi substantif—yang tidak hanya prosedural, tapi juga mencerminkan keadilan dan keterwakilan.
Tantangan dan Harapan
Tentu, membangun IPD bukan hal mudah. Ada tantangan budaya politik yang masih menomorsatukan loyalitas buta daripada debat ide. Ada pula struktur internal partai yang hierarkis dan terpusat pada figur tertentu. Bahkan di beberapa partai, kongres atau musyawarah nasional hanyalah formalitas yang mengukuhkan keputusan elite.
Namun harapan tetap ada. Teknologi digital, misalnya, membuka peluang bagi partai untuk lebih transparan dan akuntabel. Beberapa partai mulai menggunakan aplikasi digital untuk menjaring aspirasi anggota atau menyelenggarakan konvensi daring. Inilah peluang untuk mendorong keterbukaan dan partisipasi.
Di sisi lain, regulasi juga bisa berperan. Undang-Undang Partai Politik bisa diperkuat untuk mewajibkan penerapan prinsip IPD, termasuk keharusan pelaporan keterlibatan anggota, mekanisme pemilihan yang adil, dan akses informasi publik terhadap aktivitas partai.
Penutup
Partai politik adalah jantung demokrasi. Jika jantung itu tidak berdetak dengan irama demokrasi—inklusif, transparan, responsif—maka tubuh demokrasi Indonesia akan mudah terserang penyakit: korupsi, oligarki, dan apatisme politik.
Oleh karena itu, membenahi demokrasi tidak cukup dengan memperbaiki pemilu atau memperkuat KPU. Demokrasi yang matang hanya bisa dicapai bila partai sebagai institusi dasar menjalankan prinsip demokrasi sejak dari dalam dirinya sendiri.
Kemapanan demokrasi dimulai dari partai. Dan partai yang baik dimulai dari keberanian untuk membenahi diri.