Jumat, Maret 29, 2024

Demokrasi Transaksional

Ispan Diar Fauzi
Ispan Diar Fauzi
Dosen, Generasi Muda NU, Penulis Buku Problematika Hukum Terkini

Legitimasi yuridis demokrasi dalam sistem hukum nasional Indonesia memang baru diakui sejak disahkannya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) pada tanggal 18 Agustus 1945, tepatnya diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Madjelis Permusjawaratan rakyat”.

Namun demikian, platform demokrasi sesungguhnya telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Mohammad Hatta dalam bukunya “Demokrasi Kita” mengatakan : “Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsafan. Berlainan daripada beberapa negeri lainnya di Asia, demokrasi disini berurat berakar di dalam pergaulan hidup. Sebab itu ia tidak dapat dilenyapkan untuk selama-lamanya”. (Hatta, 1992:111).

Demokrasi dalam cita-cita luhurnya menghedaki agar keberlangsungan negara ditentukan atas kehendak rakyat sebagaimana definisi klasik Abraham Lincoln, namun pada implementasinya demokrasi mengalami segregasi, hingga akhirnya direfraksi oleh kalangan elit politik yang memanfaatkan siklus demokrasi lima tahunan untuk dijadikan alat bancakan dan meraup keuntungan demi syahwat politik kelompoknya. Realitas demikian memunculkan diferensiasi demokrasi Indonesia, dari demokrasi substansial menjadi demokrasi prosedural-transaksional.

Isu Politik Uang 

Salah satu manifestasi demokrasi di Indonesia dewasa ini yaitu diselenggarakannya kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden seara langsung. Saat ini tahapan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019 baru saja dimulai, dengan dideklarasikannya dua pasangan calon yaitu Joko Widodo – KH. Ma’ruf Amin dan Pasangan Prabowo Subianto – Sandiaga Salahuddin Uno.

Ironisnya drama politik fragmatis yang membiaskan muruah demokrasi sudah muncul dan kian menguat dengan adanya indikasi politik uang (money politic) dalam proses pencalonan Sandiago Salahuddin Uno menjadi bakal cawapres Prabowo Subianto.

Dialah Andi Arief Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat yang pertama kali menghembuskan info tersebut. Seperti yang dilansir detik.com (8/8/2018), Andi Arif mengatakan bahwa Sandi Uno sanggup membayar masing-masing 500 Miliar kepada PAN dan PKS agar dirinya dipilih menjadi bakal cawapres Prabowo.

Tentu validitas informasi ini perlu ditelusuri lebih lanjut, benarkah demikian adanya? Jika pun benar, lalu apakah sejumlah uang yang dijanjikan tersebut untuk memberikan “karpet merah” kepada Sandi sebagai pendamping Prabowo, atau untuk kepentingan akomodasi/logistik kampanye Pilpres?

Agar tidak menjadi preseden buruk bagi perkembangan demokrasi Indonesia, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga yang diberikan mandat (delegative provisio), penegakan hukum sesuai dengan Pasal 95 huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), harus mengambil langkah-langkah tegas menyelidiki dan memberikan sanksi, apabila dikemudian hari terbukti secara sah dan meyakinkan telah terjadi transaksi politik uang dalam pencalonan Sandi sebagai calon wakil presiden.

Sebenarnya jika membaca secara konstruktif subsatnsi UU Pemilu, Bawaslu tidak hanya diberikan kewenangan penindakan pelanggaran politik uang, tetapi juga betugas melakukan pencegahan praktik politik uang sebagaimana dimaksud pada Pasal 93 huruf e UU Pemilu. Jika saja tugas tersebut dijalankan secara maksimal oleh Bawaslu, maka saya yakin praktik politik uang ini dapat dihindari.

Sanksi Hukum           

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), telah mengatur larangan praktik politik uang dalam tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden. Pasal 228 ayat (1) UU Pemilu, menyebutkan bahwa :“Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden”. Lalu Jika dalam proses persidangan terbukti ada praktik suap terhadap partai politik, maka terhadap partai politik tersebut tidak dapat lagi mengajukan calon pada periode pemilihan presiden berikutnya (vide Pasal 228 ayat (2)).

Namun sanksi tersebut dirasakan kurang adil, apabila hanya menyangkut pelarangan untuk mengajukan calon pada pemilihan presiden periode berikutnya. Bawaslu harus cermat untuk membuktikan apakah hanya Pasal 228 saja yang dilanggar atau ada pasal lain yang kemungkinan dilanggar oleh Sandi Uno dan partai politik pengusungnya.

Sanksi lain pun dapat saja dikenakan pada Sandi Uno, misal didiskualifikasi dari pencalonannya, atau dapat saja dikenakan sanksi pidana, mengingat politik uang daya rusaknya sangat masif dan membahayakan bagi kedewasaan demokrasi di Indonesia.

Namun demikian terlepas dari hiruk pikuk politik transaksional, momentum demokrasi lima tahunan ini seharusnya dimanfaatkan oleh para pasangan calon untuk meraih simpati masyarakat, melalui adu program dan adu visi misi, bukan melalui cara-cara kotor politik uang, yang justru hal tersebut akan mengeberi esensi demokrasi itu sendiri. Berkompetisilah secara sehat, toh yang akan menjadi pengadil dalam kontestasi nanti adalah rakyat bukan elit politik.

Ispan Diar Fauzi
Ispan Diar Fauzi
Dosen, Generasi Muda NU, Penulis Buku Problematika Hukum Terkini
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.