Jumat, April 26, 2024

Demokrasi Lokal dan Logika Neoliberal

Ichan Pryatno
Ichan Pryatno
Mahasiswa Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere

Tak ayal, tema seputar demokrasi lokal kian laku dalam perbincangan di meja publik belakangan ini. Tema tersebut menjadi sajian yang laris sebab beriringan dengan kekacauan yang terjadi dalam lingkup demokrasi lokal.

Demokrasi lokal mengalami distraksi total sebab kini ia sudah direduksi sebagai ladang afirmasi para elit. Kekhasaanya sebagai ‘lanskap kedaulatan rakyat’ ternyata rapuh akibat diterjal badai pembajakan para bos di tingkat lokal. Karena itu, melalui tulisan ini, persoalan tersebut akan diulas. Menurut penulis, darurat demokrasi lokal erat kaitannya dengan gelombang neoliberalisme.

Problematika Bosisme Lokal

Sebagaimana John T. Sidel (1999), pengertian bosisme lokal mengarah pada ‘orang kuat’ yang berhasil memelihara jaringan politik di tingkat lokal. Mereka biasanya mendapatkan akses monopoli terhadap kontrol sosial di masyarakat melalui penguasaan sumber-sumber politik, ekonomi, maupun militer di wilayah lokal.

Mereka yang disebut sebagai aktor bosisme lokal adalah para pejabat, baik gubernur maupun bupati (wali kota), yang berhasil memonopoli kekuasaan di tingkat lokal. Para pejabat menjalankan daerahnya sebagai wilayah kekuasaan pribadi (Eka Suaib dan La Husen Zuada, 2012:53).

Mereka menyalagunakan dan mempertahankan status quo kekuasaan-nya dengan jalan menguasai sumber daya politik-ekonomis maupun dengan memanfaatkan kekuatan aparat di tingkat lokal.

Lantas, bagaimana persisnya genealogi gerakan para aktor bosisme lokal? Jika mengacu pada gagasan John T. Sidel, aktor bosisme lokal sesungguhnya lahir melalui melalui mekanisme pilkada yang kompetitif dan berkala serta diikuti ‘partisipasi politik’ yang tinggi. Ketika itu, seorang seorang bos lokal berusaha memaksimalisasi keunggulannya dalam kontestasi elektoral. Mereka menggunakan berbagai strategi termasuk melalui afirmasi kekuatan finansial.

Afirmasi kekuatan finansial diperoleh dengan jalan membangun jejaring bersama para investor di tingkat lokal. Kehadiran investor dijadikan sebagai ladang untuk pembiayaan politik elektoral (pilkada). Kontribusi para investor menjadi sebuah alat transaksi, sehingga tak jarang para investor juga mendapat jatah (Samdhi dan Octastefani, 2018:249). Dana yang disalurkan para investor kemudian digunakan untuk pembiayaan kampanye dan untuk membiayai para tim sukses.

Selain itu, afirmasi dana dari kalangan kapitalis juga digunakan sebagai alat pembelian suara. Dana tersebut seringkali dimanfaatkan untuk menggaet pendukung melalui mekanisme transaksi suara.

Suara rakyat dibeli demi mengafirmasi kemenangan politik sang aktor. Makanya, jangan heran para bos lokal seringkali berhasil meraih kemenangan dalam kontestasi sebab ia mengedepankan praktik politik uang (money politic). Kemenangannya sewaktu pilkada diamini sebagai langkah awal agar sang bos bisa melaju dan membabat habis ladang demokrasi rakyat di tingkat lokal.

Semasa menjabat, sang bos lokal menampakan watak otoriternya. Mula-mula, sebagai bentuk balas jasa atas kebaikan para kapitalis, ia memberikan konsensi pendirian perusahan secara sepihak. Ia mengatur keringan pajak, mederegulasi beberapa kebijakan yang tidak pro-kapital dan menerapkan peraturan daerah yang berkiblat pada kepentingan pribadi.

Di Manggarai Barat hal ini bisa dibaca dalam polemik pemindahan lokasi pelabuhan niaga dari Bari ke Rangko. Pemindahan ini dinilai mengabaiakan Perda Nomor 9 Tahun 2012 Pasal 10 ayat 3 a tentang penetapan Bari sebagai lokasi pelabuhan niaga (bdk. Alex Jebadu, “Mengendus Bau Korupsi”, florespos.co.id, diakses Selasa 25/02/2020).

Selain itu, watak predatoris bos lokal juga nampak dalam geliat menempatkan orang-orang dekat dalam setiap instansi pemerintahan atau menitipkan orang-orangnya sebagai penyelenggara pemilu. Mekanisme ini dibuat agar dia bisa mengontrol penuh elemen politik. Orang-orang dekat sengaja ditempatkan agar mereka bisa melegitimasi dan mengokohkan keberlangsungan rezim.

Sementara itu, demi memantapkan kekuasaannya, sang bos lokal juga kerapkali menerapkan praktik politik yang represif. Represi politik ditandai dengan memanfaatkan kekuataan pihak keamanaan (polisi/TNI) untuk membungkam protes rakyat.

Deliberasi sama-sekali mati sebab suara-suara lokal dibonsai lewat penindasan. Pun cita rasa dengar pendapat tak lagi tampak akibat dirongrong hegemoni pihak bersenjata.  Mekanisme ‘tangan besi’ dibuat guna melanggengkan status-qou kuasa bos lokal yang otoriter, anti-intelektual sekaligus anti-demokratik.

Demokrasi Lokal dan Logika Neoliberal

Sejak 1970-an hampir pasti praktek-praktek dan pemikiran ekonomi politik di berbagai negara beralih secara besar-besaran ke arah neoliberalisme. Terbukti dalam beberapa negara deregulasi terjadi. Sementara itu privatisasi dan penghapusan intervensi negara kebebasan pasar beralih secara besar-besaran (Harvey, 2009:5).

Meski begitu, proses neoliberalisasi sendiri bukan saja berpengaruh terhadap hal demikian. Terbukti neoliberalisme juga telah menimbulkan banyak pengaruh terhadap relasi sosial, pemberian tunjangan kesejahteraan, cara penggunaan teknologi, hidup dan cara berpikir, aktivitas-aktivitas reproduksi, dan pelbagai kenyataan hidup lainnya.

Pengaruhnya begitu hegemonik sehingga ia menjadi paradigma dan sekaligus pemandu bersama bagi seluruh tindakan mansusia. Neoliberalisme kini dijadikan sebagai logika kehidupan yang mana segala sesuatu dikalkulasi dengan sangat ekonomis.

Tentang konsekuensi ini, Wendy Brown dalam artikelnya “We’re All Democrats Now” juga menjelaskan efek neoliberalisme terutama bagi demokrasi sekarang ini. Neoliberalisme yang juga turut dipakai sebagai rasionalitas politik mendatangkan serangan-serangan hebat terhadap nilai-nilai demokrasi, termasuk prinsip-prinsip hukum, kesetaraan, otonomi dan keterbukaan politik (Brown, dalam Agamben (ed.), 2010:47).

Demokrasi yang disesaki logika neoliberal menjadikan seluruh elemennya sangat ekonomis. Segala sesuatu dipertimbangkan dari segi kalkulasi personal (pasar). Pelbagai kebijakan, strategi, maupun partisipasi dalam politik dinilai kemasuakalannya dari keutungan ekonomis setiap pribadi.

Alhasil, logika neoliberal yang merembes belakangan ini, menjadikan demokrasi sangat tidak karuan. Seluruh elemen tidak lagi mengedepankan kepentingan bersama. Yang terjadi masing-masing pihak duduk nyaman di atas kursi kepentingan pribadinya. Kebajikan otentik menjadi mati, sebab segala sesuatu mesti dinilai dari logika untung-rugi.

Sebagaimana halnya di atas, hemat penulis, problematika bosisme lokal yang merembes masuk dalam demokrasi juga erat-kaitannya dengan gelombang neoliberalisme belakangan ini. Neoliberalisme yang mengukuhkan logika kepentingan privat menggerakan aktor bosisme lokal untuk bertindak tak bagus dalam demokrasi. Mula-mula, guna memantapkan kepentingan pribadinya, sang aktor terlibat sebagai kontestan dalam pilkada. Aneka taktik dikedepakan, termasuk dengan menjalin perselingkuhan laten dengan kalangan investor dan mempraktikan politik uang.

Tidak hanya itu, semasa menjabat, logika neoliberal tetap meracuni sang aktor. Terbukti demi mengukuhkan kalkulasi ekonomisnya, sang bos lokal membentangkan karpet merah bagi investor, menerapkan privatisasi, menderegulasi kebijakan, dan bahkan mempraktekan mekanisme tangan besi. Logika neolib berhasil merongrong sang bos lokal untuk memantapkan kepentingan privat maupun pasar.

Logika neoliberal menjadi jalan pikir yang ‘satanik’ sebab ia menggerakan bos lokal untuk berlaku tak adil dalam demokrasi. Logika tersebut menista demokrasi sebab dengannya sang bos lokal cenderung memaklumkan kepentingan diri beserta pasar. Dengan itu, kebaikan publik ditiadakan, kemaslahatan bersama diabaiakan.

Cita rasa demokratis tak mewarna, kebajikan politik merana.Yang terjadi, melalui logika neoliberal sang bos diarahkan untuk menggarap habis tatanan demokrasi lokal, mendaulatkan kebebasan pasar, dan dengan lancang mempraktekan kebijakan yang berkiblat pada keuntungan personal.

Logika neoliberal memandu sang aktor untuk mendestruksi demokrasi. Alhasil, demokrasi menjadi berantakan sebab deliberasi diabaikan dan kebaikan bersama ditiadakan. Malahan yang terjadi demokrasi kini bercorak tiranik sebab seorang bos bertindak sewenang-wenang guna memantapkan kalkulasi pribadi dan pasar.

Karena itu, Bill Clinton benar, ‘jalan menuju tirani dimulai dengan kehancuran kebenaran’. Demokrasi yang berantakan dan sarat akan tirani kekuasaan dimulai dari pudarnya asas-asas kebenaran akibat diterjal badai kepentingan.

Sebagaimana diulas, kini demokrasi menjadi tak karuan akibat diterjal badai bosisme lokal. Sang bos yang digerakan logika neoliberal menjadikan demokrasi lokal sebagai ladang kepentingannya. Sadar akan hal ini, hemat penulis, sudah semestinya semua elemen sadar dan meradikalisasi perlawanan.

Kebetulan dalam beberapa waktu mendatang beberapa daerah akan merayakan kontestasi elektoral. Sebagai langkah preventif, rakyat mesti menjadikan pilkada mendatang momentum menjegal pergerakan bos lokal. Masyarakat mesti menjadi subjek politik yang otentik dengan berpartisipasi aktif untuk memilih.

Rakyat mesti cerdas dalam memilih dan mesti tahu track-record masing calon. Mekanisme politik uang mesti dihindari. Sebab sudah pasti kontestan seperti itu akan berubah menjadi aktor bosisme lokal yang sangat predatoris dan anti-demokratik.

Ichan Pryatno
Ichan Pryatno
Mahasiswa Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.