Jumat, Maret 29, 2024

Demokrasi Kita: Pagan atau Dialektis?

Fially Fallderama
Fially Fallderama
Alumnus Lab-School of Democracy (LSoD) dan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Jakarta

Pada awal 2018 yang lalu detik.com meliput ribuan warga desa Dermolo, Jepara yang menggelar doa lintas agama sambil berharap tidak ada lagi perpecahan saat menggelar pemilihan kepala daerah. Karena, isu SARA kerap dipakai untuk kepentingan politik praktis sehingga merusak tatanan warga yang harmonis.

Selain itu, belum lama ini ruang publik diterpa berita palsu penganiayaan kepada Ratna Sarumpaet yang akhirnya menjadi tudingan yuridis serta juga lelucon oleh politisi juga masyarakat.

Pengajar filsafat F. Budi Hardiman menanggapi fenomena ini secara kritis dalam tirto.id bahwa kedua kubu sama-sama sesat pikir dan miskin gagasan. Namun, tanggapan sebagian pendukung dari tiap capres kepada artikel Budi Hardiman bernada negatif dan mencemooh sambil membela idola politisnya masing-masing di media sosial milik tirto.id tersebut.

Dari kedua fenomena itu dapat dilihat bahwa situasi masyarakat sedang diterkam oleh polarisasi dan kebangkrutan nalar. Seharusnya kita mempertanyakan fenomena seperti itu bukan malah terhisap ke dalam polarisasi kubu politis.

Uniknya, sebagian besar warga negara malah mereduksi dirinya ke dalam polarisasi ini yang menjerumuskan mereka ke dalam fanatisme identitas politik. Alhasil, kritik yang bersifat logis-etis pun malah dianggap sebagai sindiran dan hinaan dari kelompok yang tidak dapat menerima kekalahan pilpres 2014. Pandangan ini merupakan pencederaan kepada demokrasi yang menganut kultur masyarakat terbuka karena terlihat anti terhadap diskursus.

Demokrasi tanpa kritisisme adalah demokrasi yang manipulatif. Dengan begitu, demokrasi di Indonesia paradoks, demokratis namun feodal. Dengan demikian, terdapat jurang antara situasi demokrasi era Ibu dan Bapak bangsa dengan sekarang. Karena, di era pra-1965 demokrasi berjalan dengan nalar kritis dan ragam ideologi. Berbeda dengan sekarang malah cenderung melahirkan idol politik dari penglkutusan citra yang memicu polarisasi dalam masyarakat. Dengan demikian, polarisasi ini menandakan absennya akal budi dari ruang publik.

Demokrasi bukan Pagan Politis

Pengkultusan oknum dan nilai bukan hal asing di Indonesia. Kenyataan terpancar jelas ketika memasuki masa kampanye untuk pemilu, disitu kita akan melihat beberapa partai atau oknum yang mengklaim sebagai penerus proklamator Soekarno-Hatta atau pemikir Islam Abdurrahman Wahid (Gus Dur) atau juga merujuk nilai-nilai yang diusung para pejuang bangsa seperti gotong-royong, nasionalisme dan keadilan sosial.

Akan tetapi, glorifikasi bukan hanya di Indonesia, melainkan juga ada di negara lain. Di Jerman ketika Hitler dengan National-Sozialismus (NAZI) hadir dalam kancah politik saat itu, ia memainkan narasi Deustchland Deustchland uber Alles dan ras “Aria” sebagai identitas politik bagi bangsa Jerman yang kala itu sedang bobrok secara materi pun moril. Alhasil, ikon yang digemakan Hitler dan NAZI berhasil sehingga memicu nasionalitas berlebihan bangsa Jerman yang berujung kepada genosida besar kepada orang Yahudi dan Perang Dunia Kedua.

Dari potongan sejarah itu dapat dilihat bahwa ikon dan idol dapat hadir secara bersamaan. Jean-Luc Marion, seorang filsuf Prancis pernah menyinggung dalam karyanya yakni God without Being. Ia menandaskan ikon dan idol itu tumbuh secara bersamaan, karena antara citra dan sunyata saling berkaitan untuk mewujudkan pesan yang tak terlihat itu.

Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan bila ada yang terjebak antara ikon dan idol. Dalam hal ini, kita dapat memahami bahwa ikon dan idol adalah samar-samar, seperti orang Jerman di PD II, terjebak dalam samar-samar antara kebangkitan dan kehancuran.

Melihat realitas politik Indonesia pasca-Soeharto, sebagian masyarakat pun sedang terjebak dalam kesamar-samaran. Alhasil, keterjebakan ini melahirkan polarisasi yang memicu fanatisme pada identitas politik tertentu.

Oleh karena itu, akal budi berperan penting dalam ruang publik, karena dengan akal budi kita dapat menjaga jarak dengan ikon sehingga tak mudah termanipulasi oleh idol. Karena, akal budi memampukan kita mempertanyakan ulang setiap ikon yang berserakkan dalam ruang publik.

Mempertanyakan kembali adalah bentuk berpikir kritis untuk membangun aspirasi agar tercipta dialektika dalam deliberasi. Dengan begitu dalam ruang publik memungkinkan kita mempertanyakan ulang, misalnya, mempertanyakan kasus pelanggaran HAM yang tak kunjung selesai dalam pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla di tengah maraknya pembangunan infrastruktur?

Atau misalnya, mempertanyakan ulang makna Pancasila dan Pluralisme dengan banyak kasus minoritas yang sulit beribadah, sulit mengekspresikan pemikirannya dan ditindas oleh kelompok lain di tengah maraknya kebijakan yang menguntungkan kelompok mayoritas? Dan masih banyak soal lain. Dalam demokrasi ketegangan antara idealisme dan realitas itu logis dan harus, maka perbedaan idealisme atau aspirasi bukan persoalan delik yuridis melainkan soal pertukaran wacana.

Negara ini merupakan ikon pertukaran wacana Ibu dan Bapak bangsa Indonesia. Oleh karena itu, dibalik negara ini terdapat idealisme seperti intelektualitas, keadilan sosial, HAM dan lain-lain. Jika negara batal memenuhi imanjinasi kolektif bangsa ini, maka negara layak dikritisi agar ia dapat mengingat kembali fiksi bersama bukan malah dibela atau dimanja oleh publik. karena, negara yang melayani dan melindungi publik, bukan sebaliknya.

Dalam tradisi gereja Ortodoks Timur, ikon kerap dibuat cacat, karena bila ikon sempurna maka akan terjebak pada daya idolik dalam ikon. Kita batal menangkap makna dan nilai dibalik ikon itu, karena ikon terlampau indah sehingga takjub pada materi.

Alhasil, dari keterjebakan itu muncul fanatisme kelompok yang anti dengan perbedaan dan kritik. Oleh sebab itu, dalam berdemokrasi kita harus menghindari ketakjuban pada citra, kesantunan wacana dan kemegahan proyek agar kekritisan kita tetap hidup sehingga dapat mempertanyakan kembali.

Akhirnya, ada yang tak dapat dinafikkan dalam masyarakat terbuka yaitu intelektualitas dalam berdemokrasi. Karena, tanpa intelektualitas kita batal menjadi warga negara yang partisipatif-kritis, yang terjadi malah kita menjadi kelompok fanatis dalam politik yang artinya kita belum mencapai kepada masyarakat “tercerahkan” bahkan belum kepada “berbudaya.”

Kita batal memakai demokrasi sebagai media menuju kepada cita-cita pancasila yang terjadi malah kita bergumul melahirkan demokrasi dalam masyarakat pagan politik. Ironis, Republik Indonesia lahir dari intelektualitas Bapak dan Ibu bangsa yang berdeliberasi, tetapi sekarang malah gagap demokrasi.

Soe Hok Gie, salah seorang aktivis yang konsisten dengan idealismenya, sekalipun pemerintahan teleh bergeser dari Demokrasi Terpimpin ke Orde Baru, Gie tetap mengkritisi pemerintahan yang baru itu dengan tajam dan dalam. Mungkin Gie dapat menjadi salah satu inspirasi dalam berpolitik hari ini agar tak terjebak pada persoalan idolik.

Fially Fallderama
Fially Fallderama
Alumnus Lab-School of Democracy (LSoD) dan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.