Jumat, Oktober 4, 2024

Demokrasi Harga Mati

Afthon Ilman Huda
Afthon Ilman Huda
Rakyat Biasa

Puncak perayaan pesta demokrasi yang akan digelar di 171 daerah yang terdiri dari 13 Provinsi, 39 Kota dan 115 Kabupaten di Indonesia, baru akan berlangsung pada 27 Juni 2018 mendatang. Meski demikian, jauh sebelum tanggal itu ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai hari pencoblosan, suasana euphoria penyambutannya telah lebih dulu membius masyarakat kita.

Alhasil, dewasa ini, dalam putaran waktu yang terus berjalan, berbagai topik pembahasan yang ditujukan kepada setiap paslon yang berlaga pun mulai bermunculan dan berkembang di masyarakat menjadi sebuah asumsi publik yang selalu dikonsumsi setiap hari tanpa henti.

Komentar dan tanggapan yang bermunculan sebagai produk interpretasi dari realitas (kehidupan politik) tersebut pun sangat beragam dan tidak jarang kontraproduktif. Namun demikian, hal semacam itu tentu sebuah hal yang wajar sebagai bagian dari proses berdemokrasi.

Justru dalam fase ini masyarakat dituntut untuk senantiasa kritis, apalagi perihal menyangkut kekuasaan, karena ada begitu banyak harapan dari berbagai aspek persoalan kehidupan masyarakat yang ikut pula terseret di dalamnya untuk dipertaruhkan. Dan itu semua digantungkan kepada calon pemimpin yang nantinya dinilai mampu membawa perubahan.

Semenjak KPU menetapkan–merujuk pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 1 tahun 2017 tentang Pilkada Serentak Tahun 2018–tanggal 15 Februari s.d 23 Juni 2018  sebagai waktu masa kampanye bagi para paslon, sejak saat itu pula para paslon kemudian mulai disibukkan dengan rutinitas ‘merias diri’, blusukan ala Jokowi, sampai sowan ke sana-kemari dalam rangka menarik simpati dan dukungan dari berbagai elemen masyarakat–masih dengan lagu lama; demi perubahan dan perbaikan yang nyata, bukan mengada-ada.

Berbagai media massa pun berlomba-lomba mengulik seputar kehidupan paslon yang tengah berlaga dan mempertontonkannya dalam sebuah headline berita, baik aktivitas politik sampai kehidupan pribadi, mulai dari soal visi misi sampai potensi dan jurus strategi dari masing-masing paslon yang berkontestasi.

Segala sesuatunya dibuat sedemikian transparan sehingga masyarakat sendiri menjadi memiliki penilaian. Memang sudah sewajarnya peran media adalah untuk menyampaikan kebenaran secara apa adanya, mengedepankan independensi dan netralitas sebagai bagian dari alat kontrol sosial, peran media menjadi sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

Perkembangan demokrasi di Indonesia tidaklah selalu berjalan linier tanpa gelombang hambatan. Pasca tujuh puluh dua tahun Republik Indonesia merdeka, dalam rangka pencarian jati dirinya, berbagai produk sistem bernegara sudah banyak ditelurkan oleh pemerintah. Berbagai masalah yang menyangkut kehidupan masyarakat; sosial, politik, ekonomi dan budaya masih senantiasa pula dihadapi dan diusahakan perbaikannya hingga sekarang.

Lahirnya masa reformasi jelas merupakan keinginan tegaknya demokrasi di Indonesia ini sebagai bentuk dari koreksi praktik kehidupan bernegara yang terjadi pada masa sebelumnya (Orde Baru). Pengalaman Orde Baru mengajarkan kepada bangsa ini bahwa pelanggaran terhadap demokrasi membawa kehancuran bagi negara dan membawa penderitaan kepada rakyat.

Sehingga melalui kelahiran demokrasi pasca reformasi ini, melalui pemerintahan yang demokratis, negara dalam hal ini rakyat Indonesia diharapkan memiliki landasan yang kuat melalui kebebasannya untuk bisa berkembang. Dan demi cita-cita reformasi, maka upaya membendung berbagai macam tindak-tanduk yang bisa mengancam pilar-pilar demokrasi harus senantiasa terus dilakukan dan diperjuangkan demi tercapainya cita-cita negara ini dan terpeliharanya harapan masyarakat yang hidup di dalamnya.

Sudut pandang demokrasi sebagai kategori dinamis memungkinkan juga terjadinya hal yang dapat disebut ironis (Ulum, 2015: 35). Maka konsepsi demokrasi bukanlah suatu kemutlakan sistem yang kaku. Kendatipun prinsip demokrasi adalah menjunjung tinggi hak persamaan dan kebebasan, tentu semua orang juga tidak bisa dengan bebas bertindak. Kebebasan berdemokrasi yang melewati batas aturannya justru dapat disebut ‘kebablasan’.

Demikian pula kaitannya dengan konteks pilkada yang akan berlangsung di beberapa wilayah Indonesia dalam waktu dekat ini. Dalam aktivitas kampanye yang dilakukan, kita tentu tidak mengharapkan para paslon bersikap pragmatis–menjadi seorang Machiavellis; menghalalkan segala cara dan melakukan hal yang tidak dianjurkan serta dibenarkan secara konstitusi dalam kontestasi perebutan kekuasaan sehingga mendestruksi wajah demokrasi yang telah dibangun bersama sejak lama.

Munculnya isu soal hoax, money politics, hingga isu sara (suku, agama, ras dan antar golongan) dan kampanye hitam secara masif dalam setiap eskalasi politik di Indonesia seperti halnya suasana pilkada yang tengah berlangsung sekarang, menunjukkan bahwa kehidmatan demokrasi berada pada kondisi tidak sedang baik-baik saja–ada tanda lampu kuning yang menyala. Mengamankannya tentu adalah suatu kewajiban. Bagi sesuatu yang terus berkembang, ancaman itu tidak bisa terhindar, seperti halnya demokrasi negara ini.

Sehingga sangat diharapkan, antara pemerintah dengan masyarakat memiliki rasa kesadaran yang sama untuk mau menjaga dan mengawasi kekhidmatan proses kelangsungan pilkada nanti dengan mengedepankan prinsip berdemokrasi secara jurdil (jujur dan adil).

 

Demokrasi tidak digunakan untuk melanggengkan nafsu kekuasaan seseorang. Demokrasi adalah sebuah alat untuk memperjuangkan keadilan, dilaksanakan untuk tujuan kepentingan rakyat secara menyeluruh, bukan kelompok atau golongan tertentu.

Franz Magnis Suseno (dalam Ulum, 2015: 28) menjelaskan, bahwa salah satu ciri negara demokratis ialah yang mengutamakan prinsip mayoritas. Maka pemerintah yang memiliki legitimasi kekuasaan dari hasil proses berdemokrasi, mestilah merepresentasikan kepentingan daripada suara rakyat sebagai konstituennya.

Kultur demokrasi yang sehat, lahir dari kondisi masyarakat yang sehat dalam berdemokrasi. Maka melalui pelaksanaan pilkada nanti, kita harapkan baik pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat untuk bersama-sama menjaga nilai-nilai demokrasi melalui pemilu yang luber dan jurdil, demi terciptanya praktik kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang lebih baik untuk pondasi negara yang lebih kuat.

Selain itu, melalui upaya afirmatif atas supremasi hukum dari pemerintah terhadap segala jenis pelanggaran yang muncul, diharapkan kondusifitas pelaksanaan berdemokrasi, baik dalam pilkada dan pemilu nanti senantiasa dapat terus terjaga. Mungkin demokrasi lebih mudah untuk diucapkan daripada dilaksanakan, tetapi mempertahankannya adalah hal yang lebih sulit.

Afthon Ilman Huda
Afthon Ilman Huda
Rakyat Biasa
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.