Jumat, Maret 29, 2024

Demistifikasi Soekarno dan Upaya Mengembalikan Politisi Pecinta

Azhari Muhammad Latief
Azhari Muhammad Latief
Seorang Mahasiswa biasa. Berselancar di @theariazhari

Tidak ada yang akan menyalahkan seseorang berziarah ke makam Soekarno, atau ke makam-makam para tokoh nasional yang namanya harum, apalagi jika aktivitas tersebut disertakan dengan niat yang tulus.

Sesuatu yang bisa kita problematisir pada aktivitas ini adalah niat bebarapa orang yang menganggap ziarah ke makam Sukarno berarti mengambil ‘tuah’ agar namanya ikut terkenal, nasibnya sama seperti kejayaan yang pernah dialami Soekarno.

Mereka menganggap, dengan datang ke makam Sukarno akan menghasilkan ‘ajimat’ yang jitu dan akan melapangkan jalan menuju hal-hal yang ingin dicapai, dan yang paling sering, hal-hal yang ingin dicapai tadi adalah memenangkan kontestasi politik.

Usaha untuk menjadikan seseorang atau sebuah benda sebagai alat kepercayaan tersebung, dan diyakini sebagian orang akan membantu mempercepat pengabulan doa-doa yang diucapkan disebut sebagai mistifikasi.

Soekarno dijadikan ‘mistik’, bukan saja lewat makamnya, banyak orang meniru cara Soekarno ketika misalnya, dalam memakai seragam putih ‘khasnya’, peci, tongkat, caranya berpidato. Hal ini dilakukan agar mendapat ‘sensasi’ yang sama seperti Sukarno dan berharap mendapat simpati masyarakat. Namun sayangnya, sangat sedikit orang-orang yang benar-benar mengikuti cara Soekarno dalam berfikir maupun bertindak karena mereka melupakan aktivitas menonjol Soekarno yang lain: Membaca Buku.

Salah seorang Indonesianis asal Australia pernah mengatakan bahwa Indonesia di era 19950 sampai 1960-an adalah Indonesia dengan masa-masa percakapan publik yang rasional—sejauh rasionalitas diartikan sebagai percakapan publik yang ditopang oleh argumentasi ilmiah.

Perdebatan-perdebatan di parlemen saat itu menjadi perdebatan sengit yang tiap argumentasinya bertumpu oleh bacaan-bacaan penting para politisi. Adalah hal yang normal bila kalangan Islam saat itu membawa buku-buku Al-Farabi dan Ibn Taimiyah sedangkan kalangan kiri mengajukan Das Kapital Marx, serta kalangan Liberal melakukan pembacaan yang detil soal pemikiran Adam Smith untuk merumuskan bagaimana negara harus dioperasikan.

Di dalam perdebatan-perdebatan tadi, Sukarno adalah salah seorang yang nyaris menguasai seluruh elemen ilmu pengetahuan yang beredar di Indonesia pada masa itu. Bila kita membaca buku setebal bantal milik Sukarno seperti “Di Bawah bendera Revolusi” dan artikel-artikel-nya yang sampai hari berserakan di Internet, kita akan melihat khazanah pengetahuan Sukarno yang begitu luas; membentang dari paham yang kiri sampai kanan.

Ia bisa berdebat dengan M. Natsir tentang Islam politik, menjawab tantangan Sutan Sjahir soal karakter nasioanalisme impiannya yang tidak chauvinistik, juga menyerang elit PKI yang dianggap komunis ‘keblinger’ oleh Sukarno ketika para elit partai itu menyimpang dari pembacaan objektif terhadap fenomena.

Luasnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya adalah satu dari beberapa faktor yang membuat Sukarno mendapat perhatian yang besar dari kolega-koleganya. Kesukaannya pada aktivitas membaca menjadi faktor penting dari prosesnya menjadi politisi cum pemikir di jamannya.

“Membacalah, karena dengan membaca, kau bisa berinteraksi dengan tokoh-tokoh besar di dunia” kata-nya suatu waktu, dan seperti yang kita tahu, dengan luasnya bacaan Sukarno, dia menjelma menjadi manusia ‘besar’ yang lain serta mendapat atensi yang begitu tinggi dari beberapa pemimpin negara.

Aktivitas membaca buku, sebagai pelarian waktu Sukarno untuk terus-menerus membenahi dirinya, adalah satu rahasia umum, selain itu, ada lagi alasan mengapa Sukarno menjadi salah seorang Presiden yang banyak diingat, yaitu kemampuannya ber-pidato yang begitu hebat.

Ia bisa mengajak masyarakat Indonesia untuk meninggalkan sebentar aktivitas kesehariannya untuk datang berkumpul mendengarkan pidato presiden kesayangannya. Pidatonya menggelagar, memantik semangat dan membikin kuping lawan politiknya memerah. “Go to hell with you’r Aids” katanya suatu waktu kepada Amerika. Kemampuan pidato tadi, dengan segala improvisasinya, tentu bukan kemampuan yang datang dari langit.

Setiap kalimatnya yang terstruktur rapi dihasilkan lewat bacaan yang banyak, setiap kalimatnya yang punya makna begitu dalam, didapat dari banyaknya ia ikut menderita di lapangan politik dan melihat realitas keseharian yang menindas masyarakatnya. Pidato itu menjadi sempurna, kerena dia dilatih dengan keras di bawah pohon beringin bersama mentor terbaiknya: H.O.S Tjokroaminoto.

Segala atribut yang dipunya Sukarno dapat dijelaskan dengan cara yang rasional. Semua yang diraih dan yang dicapainya merupakan buah kerja dan pengorbanan yang begitu banyak. Tapi sekarang, Politisi hari ini menyederhanakan dan meringkas sosok Sukarno menjadi sekadar makam. Baju putih beserta peci dan tongkat yang dimistikkan.

Mereka berfikir, dengan cara itu, mereka akan menduplikat Sukarno abad 21, dengan cara yang tidak dapat dijelaskan epistemologinya. Barngkali dengan cara itu mereka bisa me-mitasi Sukarno, tetapi tanpa membaca, meraka akan akan gagap menjelaskan mengenai apa itu Imperialisme dan Feodalisme yang menjadi musuh politik Sukarno sampai di penghujung usia-nya.

Tidak Ada Hasil Instan

Tahun 2018, yang kerapkali dimaknai sebagai tahun politik dengan konotasi yang jelek, harusnya menjadi panggung untuk mencari politisi-politisi yang tidak hanya bermodal jargon, modal dan popularitas. Kita berharap memiliki pemimpin politik yang memiliki kemauan berfikir dengan mutu yang bagus.

Bukankah itu yang dimaksud Platon dalam artiannya yang paling lunak: “Philospher King?”. Sebuah wilayah akan meningkatkan kualitas kehidupan publik menurut Platon jika dipimpin oleh orang-orang yang mencintai Ilmu Pengetahuan. Dan salah satu pra-syarat untuk memulai itu tadi adalah turun ke lapangan melihat realitas berikut dilengkapi dengan amunisi ilmiah pemecah kebuntuan melalui hipotesis-hipotesis yang ada di dalam buku.

Apakah pemimpin politik ideal itu akan kita temukan dalam waktu dekat, atau di tahun ramainya kontestasi politik tahun 2018 ini? Sulit membayangkannya akan tercapai tahun ini. Tapi yang lebih mendesak hari bukanlah menghasilkan orang, akan tetapi menyiapkan “wahana” pengetahuan yang akan nantinya akan menghasilkan dominasi percakapan publik yang lebih bermutu ketimbang hari ini.

Percakapan politik yang seringkali cenderung menyimpang dari substansi politik itu sendiri dan menyerempet persoalan identitas, rasisme, harus segera disingkirkan dengan percakapan yang jauh lebih berbobot dan bersifat emansipatoris.

Dengan cara itu, politisi yang hanya mengumbar jargon tanpa visi yang baik akan dengan sendirinya melenyap karena masyarakat yang rasional tidak lagi memerlukan itu. Untuk ke sana, tidak ada cara yang instan, kita perlu melihat Sukarno yang terus menerus bekerja keras, berdialektika dengan tekun sebagai salah satu rangkaian kerja menguji teori ke dalam tataran praktis.

Banyak membaca (baik buku maupun realitas). Bukan menyembah-nyembahnya sebagai berhala. Membawa pulang gagasan Sukarno ke Bumi dan dunia politik adalah satu dari sekian cara mengusur alusi “mistik” dari sang mantan presiden. Dengan demikian, kita dapat menjadikannya sebagai standar ukuran bagaimana seharusnya politisi bekerja.

Azhari Muhammad Latief
Azhari Muhammad Latief
Seorang Mahasiswa biasa. Berselancar di @theariazhari
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.