Rabu, Oktober 16, 2024

Delusi Merusak dan Merasuki Muhammadiyah

Eriton
Eriton
Penulis dan Mahasiswa Magister Sosiologi UMM, Malang-Aceh

Konsistensi dan komitmen Muhammadiyah mendakwahkan Islam yang welas asih semakin menuai simpati dan kepercayaan banyak pihak.

Tidak hanya dakwah modal “ngoceh” tapi juga kental etos ”sedikit bicara banyak bekerja” yang diwariskan the founding father. Sehingga jangan heran hari ini Muhammadiyah dilirik banyak kalangan. Namun yang namanya dakwah pasti ada tantangan.

Akhir-akhir ini upaya pihak luar merusak dan merasuki Muhammadiyah itu nyata. Melalui pesta demokrasi, atau mungkin lebih tepatnya euforia perebutan kekuasaan. Elite-elite politik hendak menyeretnya ke lembah gelap politik. Mereka silih berganti mengunjungi PP Muhammadiyah.

Bahkan mereka terangan-terangan mentasnamakan partai politik tertentu. Mengadakan pertemuan dan dialog-dialog ringan ala politisi (lobi-lobi). Alih-alih meminta masukan PP Muhammadiyah sembari melirik massa Muhammadiyah yang lumayan untuk mem-back up suara di pilpres atau partai tertentu. Harus dihargai, namanya juga usaha.

Di akar rumput pun demikian. Muhammadiyah di daerah-daerah mengahadapi tantangan serupa. Tentu saja euforia tersebut tak bisa dihindari oleh Muhammadiyah. Karena sejak berdirinya 1912, Organisasi kemasyarakatan telah hadir dalam dinamika berbangsa dan bernegara. Sehingga sudah cukup dewasa memandang fenomena tersebut.

Politisi-politisi itu sayangnya tidak tahu kalau Muhammadiyah memiliki sejumlah rambu-rambu ketika bersinggungan dengan politik praktis. Atau pura-pura lupa? Tanwir Muhammadiyah di Denpasar, Bali tahun 2002 menerangkan itu dengan jelas.

Kita lihat saja poin 6 “Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun……..”, jadi mau politisasi agama, cebong-kampret, pancasilais dan sebagainya bisa dipastikan membal.

Atau mau pakai orang dalam agar Muhammadiyah menentukan pilihan politiknya secara organisatoris. Pada poin 7, Muhammadiyah sudah mengultimatum itu. “Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota Persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati nurani masing-masing……” inilah bentuk independensi dan implementasi high politic.

Muhammadiyah tetap konsisten dengan urusan keumatan dengan memberi ruang warganya untuk melek politik dengan rambu-rambu yang ada. Walhasil semua lobi-lobi politisi itu dipastikan sia-sia saja.

Mungkin saja terbayang menyuap Muhammadiyah? Tunggu dulu, seingat saya omzet Muhammadiyah lebih dari cukup kalau sekedar untuk mengambangkan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) saat ini.

Kalau tidak salah terakhir jumlah valuasi asetnya saja mencapai Rp. 320 T, dikutip dari sindonews.com pada 24 Februari 2017. Jumlah pastinya mungkin akan diumumkan di Muktamar, Juli 2020 nanti atau kalau tidak sabar bisa di cek ke PP Muhammadiyah.

Apalagi untuk pribadi, sama sekali jangan membayangkan itu. Etos Muhammadiyah dalam berdakwah itu jelas. Pesan Kiyai Ahmad Dahlan masih digenggam erat, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah jangan mencari hidup di Muhammadiyah”.

Pesan ini syarat makna keikhlasan dalam berdakwah bagi siapa saja warga atau Pimpinan Muhammadiyah. Dan faktanya, hari ini Muhammadiyah justru telah menghidupi warganya yang mengbadi di AUM. Agak sombong sih tapi itulah faktanya.

Kemudian yang tak kalah menarik, hoax atau berita bohong juga menerpa Muhammadiyah. Kutipan-kutipan tokoh-tokoh Muhammdiyah digunakan oleh pihak yang bertanggung jawab. Misalnya, Kutipan Kiyai Ahmad Dahlan, yang mengaitkan penyebab bencana alam yang berturut-turut disebabkan rusaknya pemimpin, klarifikiasi PP Muhammadiyah soal ini bisa dilihat di laman www.suaramuhammadiyah.id tanggal 12 Oktober 2018.

Tujuannya jelas, selain menangguk simpati umat Muhammadiyah juga untuk memecah elit Muhammadiyah. Namun sayangnya, upaya itu juga gagal.

Bahkan di era milenial ini Muhammadiyah teleh mewanti-wanti anggotanya agar tak menyebar hoax bahkan menerbitkan buku Fikih Informasi, agar bisa menyaring berita yang beredar secara tepat.

Bagaimana, masih mau merusak Muhammadiyah?

Bagi gerakan radikal jangan coba-coba melakukan infiltrasi ideologi di Muhammadiyah! Fakta bahwa ide-ide formalisasi agama dewasa ini terus mencuat kepermukaan. Bisa diprediksi bahwa dasar pikirannya kontra produktif dengan ideologi bangsa, Pancasila.

Indonesia memiliki ragam agama dan budaya yang sudah diakui sejak lama sebelum Indonesia merdeka. Kelompok-kelompok radikal trans-nasional menabur benih ideologinya dengan mengatasnamakan Islam untuk merusaknya. Hal ini tumbuh subur seiring menguatnya politisasi agama belakangan ini.

Disangka semangat puritanisme Muhammadiyah empuk untuk ditunggangi. Apalagi semboyan berdasar “Al-Qur’an dan As-sunnah”. Ideologi-ideologi yang tak sejalan bermimpi masuk lewat jalan ini. Tapi sayangnya tidak bisa juga.

Mereka lupa bahwa Muhammadiyah tak sekadar puritan (pemurnian tauhid) akan tetapi diikuti dengan pemikiran-pemikiran yang canggih juga memaknai Islam, sejarah, Al-quran dan As-sunnah. Sehingga jangan heran ijtihad dan tajdid merupakan karakter warga Muhammadiyah.

Di lain sisi, tokoh-tokoh Muhammadiyah selalu mewaspadai infiltrasi ideologi tersebut. Misalnya saja Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dr. Haedar Nashir. Melalui kesadaran dini ini, jargon Islam yang ramah, etos welas asih dan rahmatan lil alamin terus menerus dikumandangkan.

Tentu saja di setiap pengajian maupun tulisan dengan beragam pendekatan dan sudut padang tentunya sesuai konteks kehidupan sosial yang ada. Selain itu, Muhammadiyah juga memiliki alat khusus yang ampu membasmi itu, yaitu ‘darul ahdi wa al-syahadah. Sebuah konsep Muhammadiyah dalam berbangsa dan bernegara.

Bagi Muhammadiyah konsep negara pancasila adalah final. Serta 4 pilar negara kita bernegara UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Muhammadiyah komit untuk menjaganya. Selain itu, Muhammadiyah mendorong warganya untuk mengisi kemerdekaan dengan karya-karya nyata yang memajukan bangsa.

Masih ada niatan merasuki Muhammadiyah? Pikir-pikir dulu lah. Terlepas dari kontroversi dibubarkannya HTI oleh pemerintah. Muhammadiyah tak memberi ruang bagi kelompok-kelompok ektrimis dan menentang dasar negara. Maaf sekali, anda di Muhammadiyah tak punya tempat!

Eriton
Eriton
Penulis dan Mahasiswa Magister Sosiologi UMM, Malang-Aceh
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.