Sabtu, Oktober 5, 2024

Deliberalisasi Agraria Zaman Keistimewaan DIY

Wahyu Suroatmojo
Wahyu Suroatmojo
Dosen, Pengamat Politik dan Pemerintahan, Peneliti Pusat Studi Kebijakan Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat Fisipol Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Fenomena konflik agraria diberbagai wilayah DIY semakin sering terjadi. Konflik agraria yang marak terjadi belakangan ini dipicu oleh pembangunan diberbagai bidang, mulai dari konflik lahan terkait pembangunan Hotel, Mall, konflik lahan dipesisir pantai selatan terkait pembangunan mega proyek pabrik Pasir Besi dan yang baru saja terjadi adalah konflik lahan terkait pembangunan lokasi calon bandara udara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di kabupaten Kulonprogo.

Konflik agraria yang terjadi di DIY ini semakin hari kian mengkhawatirkan jika tidak segera dicarikan solusi kongkritnya. Konflik agraria akan dengan mudah memunculkan konflik horizontal di masyarakat yang tentunya akan melunturkan image Yogyakarta sebagai kota budaya dan kota pendidikan. Sebagai kota budaya dan pendidikan sudah semestinya segala permasalahan agaria di DIY ini bisa selesai tanpa perlu berkonflik dan menimbulkan korban jiwa maupun materi.

Status Tanah Sultan Ground dan Pakualaman Ground

Sebagai daerah yang berstatus Istimewa yang memiliki dua kerajaan, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman juga membuat adanya perbedaan status tanah. Tanah yang dikuasai oleh Kasultanan dikenal dengan Sultan Ground (SG) dan milik Kadipaten Pakualaman bernama Pakualaman Ground (PAG) atau merupakan tanah Swapraja. Hampir seluruh wilayah pertanahan di empat kabupaten dan satu kotamadya di provinsi DIY berstatus SG dan PAG.

Nirmalasari (2014) menjelaskan Kraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman adalah pemilik tanah yang ada di DIY, rakyat hanya memiliki hak sewa atau hak pinjam pakai dan biasa disebut magersari apabila pihak Kraton Yogyakarta menginginkan kembali, sewaktu-waktu dapat diambil kembali. Masih menurut Nirmalasari, berdasarkan Rijksblaad Kasultanan 1918 Nomor 16 jo.

Risjkblaad 1915 Nomor 23, dilakukan reorganisasi dengan tujuan memberikan hak atas tanah kepada rakyat biasa dengan hak-hak yang kuat. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Pokok Agraria ( UUPA) dan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1984, membawa akibat bahwa semua tanah di wilayah DIY tunduk pengaturannya, penggunaannya, peruntukannya, peralihan ataupun kepemilikannya. Walaupun telah terjadi perubahan dalam pengaturan hak tanah di wilayah ini, penguasaan tanah atas Sultan Grond sebagai tanah hak milik adat Kraton Yogyakarta dan Pakualaman Ground milik Pakualaman tidak berubah.

Permasalahan konflik agraria ini muncul dikarenakan adanya status SG dan PAG ini, dimana status kepemilikan lahan yang digunakan antara warga yang tinggali dengan pemilik lahan merasa yang paling berhak. Sebagai contoh, konflik lahan pesisir pantai selatan Kulonprogo yang didirikan pabrik pengolahan pasir besi, para warga yang sudah puluhan tahun menggarap tanah tersebut sebagai lahan pertanian merasa paling berhak untuk menggunakan lahan tersebut, sedangkan status tanah tersebut adalah milik Pakualaman Ground.

Adanya UU Keistimewaan (UUK) DIY Nomer 13 tahun 2012 juga telah mengakomodir terkait masalah agraria di DIY, bahkan diperkuat dengan Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan Ground dan Pakualaman Ground yang disahkan pada 30 Desember 2016 sebenarnya merupakan solusi kongkrit terhadap munculnya konflik tanah.

Deliberalisasi Agraria Zaman Keistimewaan DIY

Terjadinya liberalisasi agraria di DIY yang dilakukan oleh berbagai pihak sudah saatnya dihentikan, pemanfaatan lahan yang berpotensi menimbulkan konflik harus melibatkan banyak steakholder yang berkepentingan didalamnya. Konflik lahan akibat pembanguanan Hotel dan Pusat Perbelanjaan yang sering terjadi antara warga sekitar lokasi dengan pihak pembangun (investor) seharusnya tidak terjadi jika pendekatan persuasif semisal sosialisasi dan musyawarah mufakat lebih diutamakan untuk dilakukan dalam menyelesaikan masalah.

Konflik penolakan pembangunan bandara New Yogyakarta International Aiprort (NYIA) dilakukan oleh mereka yang benar-benar menolak adanya bandara yaitu kelompok Wahana Tri Tunggal (WTT) dan masyarakat yang mendukung (pro) namun dengan mengajukan beberapa persyaratan yang mereka ajukan. Di antara syarat yang harus dipenuhi yaitu masalah ketenagakerjaan, ganti rugi lahan milik masyarakat, kompensasi Pakualaman Ground, dan relokasi gratis. Namun dari tiga syarat yang diajukan oleh masyarakat yang pro bersyarat, ada satu yang belum bisa disepakati dari pihak PT. Angkasa Pura I yaitu mengenai relokasi gratis (http://bemkm.ugm.ac.id/2017/09/12/).

Manajer Pembangunan Bandara Kulon Progo (NYIA) PT Angkasa Pura 1, Sujiastono mengklaim para warga Glagah dan Palihan kabupaten Kulonprogo sudah tidak memiliki hak kepemilikan atas lahannya. Sebab, Pengadilan Negeri (PN) Wates sudah memutuskan mereka menerima ganti rugi lewat mekanisme konsinyasi. Sujiastono mencatat ada 353 pemilik lahan dan rumah penerima ganti rugi konsinyasi. Warga yang menolak pengosongan lahan masuk di daftar itu (https://www.google.co.id/amp/s/amp.tirto.id/).

“Karena sudah diputus konsinyasi, lahannya jadi milik negara. Sudah terjadi pemutusan hukum (di PN Wates). Kalau mereka punya sertifikat atau girik, sudah tidak berlaku lagi,” kata Sujiastono.

Status provinsi DIY sebagai daerah Keistimewaan yang diatur dengan UUK nomer 13 tahun 2012 yang diperkuat dengan Peraturan Daerah Istimewa di bidang pertanahan seharusnya mampu menghindarkan berbagai macam konflik agraria. Upaya-upaya liberalisasi agraria yang terjadi belakangan ini antara penguasa pertanahan dengan para investor yang memiliki modal kapital dan menjadi pemicu munculnya konflik horizontal harus segera diakhiri. Pentingnya deliberalisasi dalam pemanfaatan lahan yang berbasis SAG maupun PAG harus dilakukan berdasarkan aturan perundang-undangan sesuai yang termuat pada UU Keistimewaan DIY dan Perdais Pertanahan yang sudah disahkan.

Kraton Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman sebagai pemilik sebagian besar pertanahan di DIY harus mampu berdiri diatas kepentingan semua golongan tanpa membedakan status sosial dan musti lebih berorientasi menciptakan kesejahteraan bagi warga masyarakatnya. Bangunan sosial Yogyakarta sebagai kota budaya dan pendidikan harus tetap dipertahankan agar tatanan yang sudah terbentuk selama ini bisa menjadi cara meredam setiap permasalahan yang terjadi di masyarakat.

Wahyu Suroatmojo
Wahyu Suroatmojo
Dosen, Pengamat Politik dan Pemerintahan, Peneliti Pusat Studi Kebijakan Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat Fisipol Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.