Kontradiksi Demokrasi dan Realitas Politik
Setelah gelombang Reformasi 1998, bangsa Indonesia menetapkan diri pada cita-cita meritokrasi yakni sebuah sistem di mana kekuasaan dan jabatan publik seharusnya diisi berdasarkan kemampuan, kompetensi, dan prestasi (merit), bukan berdasarkan koneksi, kekayaan, atau garis keturunan. Janji ini merupakan antitesis langsung terhadap praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) Orde Baru. Namun, lebih dari dua dekade berlalu, cita-cita ini terbukti rapuh, tergerus oleh realitas politik yang keras.
Tesis utama artikel ini adalah bahwa meritokrasi di Indonesia terhambat secara struktural oleh dua kekuatan utama yaitu Feodalisme Modern (berwujud politik dinasti dan patronase) yang secara sistemik memicu kondisi Mediokrasi (kualitas kepemimpinan yang rendah). Hal ini bukan hanya masalah etika politik, tetapi ancaman fungsional terhadap kapasitas negara untuk berinovasi dan bersaing di kancah global.
Mengurai Akar Masalah Politik
Untuk memahami mengapa meritokrasi gagal berakar, kita perlu menganalisisnya melalui lensa teori sosial dan politik global. Vilfredo Pareto mengajukan Teori Elit, menyatakan bahwa kekuasaan selalu dipegang oleh segelintir elit, dan mereka akan berupaya mempertahankan dan mengganti diri mereka sendiri (circulation of elites). Dalam konteks Indonesia, elit cenderung memilih orang yang loyal dan mudah dikendalikan daripada individu yang sangat kompeten namun berpotensi mengancam status quo. Meritokrasi, yang menuntut perubahan berbasis kualitas, dipandang sebagai ancaman serius bagi stabilitas internal elit berkuasa.
Pierre Bourdieu dan Robert Putnam menyoroti peran Kapital Sosial (jaringan, koneksi, dan relasi) sebagai modal yang seringkali lebih efektif daripada Kapital Kultural (pendidikan tinggi atau keahlian). Dalam sistem feodal modern, dinasti politik adalah bentuk akumulasi dan transmisi modal sosial yang diwariskan, secara efektif menutup pintu bagi mereka yang hanya mengandalkan prestasi akademik atau profesional.
Michael Sandel dalam kritiknya tentang “Tirani Merit” mengajukan pandangan yang lebih dalam. Meritokrasi itu sendiri bermasalah jika tidak didukung oleh kesetaraan kesempatan yang sesungguhnya. Tanpa pemerataan, meritokrasi hanya menjadi justifikasi moral bagi golonga elit (lulusan universitas top yang sukses karena starting point mereka sudah tinggi). Hal ini menciptakan kesombongan pada pemenang dan penghinaan pada yang kalah, memperdalam polarisasi sosial.
Manifestasi Feodalisme Modern di Indonesia
Feodalisme tidak hilang, ia bermigrasi dari istana tradisional ke pusat-pusat kekuasaan kontemporer. Politik dinasti adalah ekspresi feodalisme yang paling terlihat dengan mata telanjang. Penguasaan posisi politik (eksekutif dan legislatif) oleh keluarga inti pejabat aktif atau purnatugas menetralkan persaingan yang sehat. Mekanismenya dibuat terlihat canggih seperti dinasti memanfaatkan logistik finansial yang tak terbatas, popularitas yang diwariskan, dan jaringan politik yang sudah mapan untuk memenangkan kontestasi, sementara kualifikasi teknis menjadi prioritas sekunder. Hal ini mengukuhkan anggapan bahwa kekuasaan adalah “hak” keluarga, bukan “mandat” publik yang harus didapatkan melalui kompetisi.
Patronase dan “Orang Dalam” (Ordal)
Hubungan patronase menjamur dalam birokrasi dan badan usaha milik negara (BUMN). Ini adalah sistem di mana loyalitas dan kedekatan pribadi dipertukarkan dengan jabatan atau alokasi proyek. ” Nepotism is the most common vice of governments, but it is one which invariably lowers the quality of public service. ” kata John Stuart Mill, seorang filsuf Inggris yang menulis berbagai buku ekonomi dan politik. Fenomena “Orang Dalam” (Ordal) adalah bukti nyata yang terjadi saat ini di Indonesia. Proses seleksi jabatan (lelang jabatan, fit and proper test ) seringkali hanya menjadi kosmetik politik untuk memenuhi tuntutan transparansi. Keputusan akhir sudah ditentukan di balik layar, memastikan bahwa lingkaran internal elit tetap mengontrol sumber daya dan kebijakan negara.
Ancaman Mediokrasi sebagai Dampak Sistemik
Kegagalan meritokrasi dan dominasi feodalisme secara langsung menghasilkan mediokrasi, yaitu kepemimpinan yang berkapasitas rendah dan menghasilkan kinerja yang biasa-biasa saja. Ketika basis seleksi adalah koneksi, bukan kapabilitas, standar kualitas kolektif kepemimpinan negara otomatis terdegradasi. Pemimpin medioker cenderung mengambil kebijakan status quo , takut membuat keputusan berisiko yang berpotensi melukai patron mereka, sehingga inovasi macet, dan respon negara terhadap krisis menjadi lamban. Shashi Tharoor, mantan wakil sekretraris jendral PBB mengatakan ” If you put a premium on mediocrity, you will get mediocrity. If you put a premium on excellence, you will get excellence .” Bagi profesional dan akademisi terbaik, melihat jalur karier politik dan birokrasi dikunci oleh nepotisme adalah bentuk demotivasi tertinggi. Mereka yang berprinsip akan memilih keluar dari sektor publik. Hal ini mendorong migrasi talenta (brain drain) ke sektor swasta atau bahkan ke luar negeri, di mana prestasi lebih dihargai. Negara kehilangan sumber daya manusia terbaiknya di posisi strategis, menghambat kemajuan teknologi dan tata kelola. Akumulasi praktik ini menciptakan sinisme massal. Masyarakat percaya bahwa pemilu atau proses seleksi hanya ritual, bukan penentu hasil yang sesungguhnya. Ini mengarah pada erosi legitimasi demokrasi dan meningkatnya apatisme politik.
Solusi Membangun Meritokrasi Substantif
Melawan feodalisme dan mediokrasi membutuhkan strategi yang terstruktur dan konsisten, bergerak dari penegakan hukum hingga perubahan budaya.
Jangka Pendek (1-2 Tahun): Penegakan Aturan dan Transparansi
1. Audit Seleksi Pejabat Publik: Lakukan audit forensik dan independen terhadap semua proses seleksi jabatan strategis. Hasilnya harus dipublikasikan secara terbuka untuk memotong intervensi politik.
2. Penguatan KASN dan Ombudsman: Berikan kewenangan eksekusi yang nyata kepada KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) untuk membatalkan penunjukan yang melanggar meritokrasi dan sanksi yang tegas bagi elit yang terbukti melanggar.
3. Pakta Integritas Anti-Nepotisme: Wajibkan semua calon pemimpin publik menandatangani pakta yang melarang penunjukan keluarga/kerabat pada posisi kunci di bawah yurisdiksi mereka.
Jangka Menengah (3-5 Tahun): Reformasi Struktural dan Kelembagaan
1. Regulasi Ketat Dinasti Politik: Membuat undang-undang yang membatasi keterlibatan keluarga inti pejabat berkuasa di posisi atau wilayah yang sama secara berurutan, mendorong persaingan yang sehat.
2. Kaderisasi Partai Politik Wajib Kompetensi: Partai harus memiliki sekolah politik yang terakreditasi, menjadikan hasil uji kompetensi sebagai prasyarat utama pencalonan.
3. Talent Pool Nasional Independen: Membangun bank data talenta unggul yang dikelola oleh lembaga independen, menjadikan rekam jejak dan prestasi sebagai basis utama untuk promosi, memutus jalur lobby politik.
Jangka Panjang (5 Tahun ke Atas): Transformasi Budaya dan Kesetaraan
1. Pemerataan Akses Pendidikan (Memerangi Tirani Merit). Lakukan investasi besar untuk memastikan kualitas pendidikan yang setara di seluruh wilayah (dari perkotaan hingga pelosok). Ini adalah prasyarat fundamental agar semua warga memiliki modal awal yang setara untuk bersaing.
2. Pendidikan Kewarganegaraan Kritis. Tanamkan nilai-nilai anti-feodalisme, anti-nepotisme, dan pentingnya kompetensi dalam kurikulum sekolah sejak dini.
3. Penguatan Pengawasan Masyarakat Sipil. Mendorong peran media dan masyarakat sipil untuk secara konsisten mengawasi dan mengeskpos praktik politik uang dan nepotisme.
Kesimpulan
Feodalisme dan mediokrasi adalah penyakit kronis yang mengancam potensi kebesaran bangsa Indonesia. Perjuangan untuk meritokrasi bukanlah sekadar cita-cita etis, tetapi keharusan fungsional agar negara dapat bersaing dan berinovasi dalam melayani masyarakatnya. Masa depan bangsa ini bergantung pada keberanian kita untuk meninggalkan kenyamanan status quo yang feodal dan medioker . Karena kedepan pilihan hanya ada dua yakni; dipimpin oleh yang terbaik berdasarkan meritokrasi atau terus terpuruk di bawah kendali yang terhubung oleh dinasti.
