Marx dalam salah satu teorinya menyebutkan bahwa para buruh telah teraleniasi oleh banyak hal yang membuat mereka tidak sepenuhnya menjadi manusia lagi. Eksploitasi dari para pemilik modal membuat mereka harus bekerja dari pagi hingga malam hanya untuk upah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Mereka kehilangan waktu bersama keluarga, teman, masyarakat, dan yang paling penting kebahagiaan. Mereka telah kehilangan “rasa” dari menjadi manusia yang bebas, merdeka dan bahagia. Inilah yang Marx katakan bahwa para pemilik modal telah melakukan “dehumanisasi” terhadap para pekerja.
“Hanya diluar kerjalah pekerja merasakan dirinya, dan selagi bekerja dia merasa berada diluar dirinya. Dia merasa betah ketika sedang tidak bekerja, dan ketika dia sedang bekerja dia merasa tidak betah” (Karl Marx)
Apa yang dirasakan murid-murid di Indonesia saat ini, sepertinya hampir sama dengan apa yang dirasakan para buruh. Murid harus berangkat pagi pulang sore, malam diisi dengan mengerjakan PR atau belajar. Apalagi jika mereka murid dari sekolah yang menetapkan kebijakan full-day school, kehidupan mereka seolah hanya belajar, belajar dan belajar. Jika belajar menjadi sebuah hal yang menyenangkan tidak masalah, tapi bagaimana jika belajar menjadi beban yang mereka harus kerjakan bagaimana?.
Coba bayangkan ada anak SD kelas 3, dia berangkat sekolah jam 7 pagi sampai jam 2 siang. Kemudian lanjut les tari dari jam 3 sampai jam 5 sore. Jam 6-7 malam dia harus les matematika. Sisanya biasanya ia gunakan untuk mengerjakan PR dari sekolah, dan PR dari sekolah hampir ada tiap hari dan tidak sedikit.
Setiap hari Ia selalu sibuk, kalau tidak les renang, ya bahasa inggris, atau les musik, ngaji. Hampir tidak ada waktu bermain. Bagi anak yang terlahir dari keluarga yang tidak mampu, beberapa anak harus bekerja atau menemani orangtuanya setelah pulang sekolah. Mereka seolah kehilangan hidupnya sebagai seorang anak, yang punya hak dan kebebasan untuk juga bermain.
Hal yang menjadi masalah adalah ketika ternyata apa yang mereka pelajari itu adalah “nothing”. Di sekolah mereka “dipaksa” mendengar pelajaran dari guru dan mencatat apa yang guru tulis di papan tulis. Setiap saya tanya pada anak-anak apa yang sudah kalian pelajari di sekolah tadi?. Jawaban mereka selalu “lupa”, “tidak tahu”, “apa ya” “tematik” dengan wajah bingung dan berusaha mengingat. Saya membayangkan, apa saja yang mereka lakukan selama hampir 7-8 jam di sekolah jika lupa apa yang baru saja dilakukan di sekolah.
Itulah yang disebut Paulo Freire sebagai “dehumanisasi pendidikan”. Guru “memaksa” muridnya untuk mendengar ilmu yang mereka ajarkan (beberapa guru tidak memberikan materi yang substansif tapi justru bercerita soal keluarga yang tidak ada substansinya). Murid adalah “gelas kosong” yang wajib di isi air, yang hanya dimiliki sang guru. Murid jadi ketergantungan dengan guru dan guru memiliki kuasa atas ilmu yang diberikan. Kekuasaan dari guru tersebut itulah yang membuat para murid jadi tertindas.
Murid hanya bisa diam, meskipun mereka tidak menikmati belajar ataupun tidak mengetahui apa yang dia pelajari. Itulah mengapa metode satu arah atau ceramah atau kalau kata Freire pendidikan gaya bank itu merupakan penindasan dalam pendidikan. Dan penindasan kata freire, merupakan pemicu untuk lanjut pada tahap kekerasaan. Itulah mengapa banyak sekali kekerasan-kekerasan banyak dilakukan oleh para guru.
Menurut data dari KPAI ada sebanyak 45% siswa laki-laki dan 22% siswa perempuan menyebutkan bahwa guru atau petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan. Artinya dari dulu sampai sekarang kekerasan selalu direproduksi di sekolah. Mungkin kalau dulu kekerasan berupa fisik masih sangat banyak, sekarang sepertinya jika guru memukul murid sudah hampir tidak ada.
Banyak kasus guru dilaporkan muridnya karena kekerasan fisik, itulah mungkin salah satu alasan kenapa kekerasan fisik sudah hampir tidak ada. Meski begitu kekerasan tidak pernah berakhir, kekerasaan fisik berubah menjadi kekerasan verbal dan simbolik. Kekerasan verbal yang terjadi berupa bentakan, ejekan (biasanya pada murid yang dikatakan “bodoh”), ancaman yang dikatakan secara verbal. Beberapa kekerasan dalam bentuk simbol seperti sering mengacungkan penggaris besar dan panjang, mengepalkan tangan, dan menatap tajam.
Jika meminjam istilah dari Johan Galtung kekerasan tersebut bisa dikatakan sebagai kekerasan kultural, Karena telah menjadi budaya yang terus dilestarikan dan dilegetimasi oleh banyak pihak termasuk murid. Guru berdalih bahwa kekerasan adalah solusi dari upaya membentuk kedisiplinan.
Murid pun juga percaya bahwa wajar jika guru menghukum mereka karena kesalahan yang mereka buat. Ketika saya tanya pada salah satu murid kenapa ia bisa dipukul gurunya, temannya yang lain langsung membalas “ya karena dia pasti ada salah”. Akhirnya kekerasan selalu menjadi jawaban dari sebuah kesalahan.
Jawaban tersebut parahnya, selalu diulang dan diulang seolah menjadi jawaban yang absolut. Kekerasan kemudian jadi hukuman yang sah dan wajib untuk kesalahan yang dilakukan murid. Padahal kesalahan dari murid bisa jadi karena ketidaktahuan murid dan banyak faktor lainnya.
Murid selalu saja dihukum atas ketidaktahuannya, bahkan murid juga bisa dihukum atas dasar “ekonomi”. Mari saya kasih contoh. Baru saja ada berita di akhir Januari 2019, seorang murid SD dihukum push up karena menunggak SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan). Kita tahu bahwa pendidikan semakin mahal padahal kualitas tak juga membaik, beberapa anak yang terlahir dari keluarga miskin tidak mampu membeli buku, seragam, membayar ujian kenaikan.
Saya tidak habis pikir mengapa masih ada sekolah yang menghukum muridnya karena tidak bayar SPP, tidak bayar ujian, tidak bayar buku, tidak bayar uang seragam, tidak bayar uang outbond. Sungguh tidak adil ketika keadaan ekonomi keluarga menjadi alasan murid dihukum, apalagi menggunakan kekerasan.
Kekerasaan yang dilakukan oleh guru pada muridnya ini harus menjadi evaluasi bersama. Saya memahami tugas guru memang berat, tapi jangan sampai kekerasan menjadi satu-satunya solusi.
Guru adalah orangtua kedua bagi murid, maka dari itu guru haruslah memiliki kedekatan personal pada setiap murid. Kedekatan itu harus dibangun guna menciptakan suasana yang nyaman saat belajar. Kondisi nyaman saat belajar itu adalah kunci agar ilmu mudah terserap dan murid menjadi semangat dalam belajar. Segala bentuk kekerasaan harus mulai dikurangi dan dihilangkan.
Kekuasaan yang berlebih pun juga harus segera dikurangi. Dalam pendidikan posisi guru dan murid haruslah sama dan prosesnya haruslah dua arah (dalam konsep komunikasi disebut Two Way Traffic), keduanya saling berbagi ilmu dan pengetahuan. Sehingga tidak ada yang merasa paling berkuasa, karena kekuasaan yang berlebihan memiliki kecenderungan untuk menindas. Penindasan akan sangat dekat dengan “kekerasan”.