Pemilihan presiden atau Pilpres merupakan salah satu ajang kontestasi politik yang rutin diselenggarakan di negara-negara demokratis di dunia, tak terkecuali di Amerika Serikat dan Indonesia. Selain kampanye politik yang biasanya digunakan oleh capres dan cawapres untuk menaikan suara atau dukungan pemilih, debat menjadi agenda rutin dan alternatif yang juga efektif untuk menarik suara pemilih yang masih bingung dalam memutuskan kandidat pasangan calon yang akan dipilih.
Di Amerika Serikat, setelah konvensi yang dilakukan oleh partai demokrat dan partai republik dalam memilih representasi partai untuk maju ke jenjang pilpres AS, debat publik antar kandidat menjadi suatu wadah yang digunakan untuk saling beradu argumen dan gagasan dalam membangun narasi untuk “Amerika Serikat yang lebih baik”. Setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden akan berusaha memaparkan ide dan program terbaiknya dalam debat untuk memenangkan hati dan meraup sebanyak-banyaknya suara warga AS di berbagai negara bagian.
Bila kita perhatikan, terdapat keunikan dalam debat Pilpres AS yang membuatnya berbeda dari kebanyakan debat Pilpres di dunia, termasuk jika dibandingkan dengan debat Pilpres di Indonesia. Mayoritas pelaksanaan debat pilpres AS selalu diadakan di instansi perguruan tinggi seperti universitas. Mengapa hal ini terjadi dan apakah Indonesia memungkinkan menerapkan hal yang sama?
Pada awalnya debat pilpres AS tidak diadakan di kampus. Sebagai contoh, salah satu debat pilpres AS yang paling terkenal antara John F. Kennedy dan Richard Nixon diselenggarakan di studio TV dan disiarkan untuk pertama kalinya secara langsung melalui saluran televisi. Hingga tahun 1988, setiap debat pilpres AS kebanyakan selalu diadakan di stasiun televisi, auditorium, ruangan konvensi dan ruang teater.
Namun seiring berjalannya waktu, kampus-kampus di AS menjadi pilihan yang lebih diminati sebagai tempat terselenggaranya debat. Hal ini dipengaruhi oleh biaya penyelenggaraan debat yang tergolong cukup tinggi. Untuk satu kali debat capres maupun cawapres di Amerika Serikat, Komisi Debat Pilpres AS atau CPD (Commision on Presidential Debates) bisa menghabiskan sekitar 4 sampai 5 juta dollar AS atau setara dengan 60 sampai 75 miliar rupiah dalam satu kali debat.
Ketika debat pilpres di relokasi ke kampus, ini tidak berarti biayanya menjadi lebih murah. Universitas juga harus rela menggelontorkan dana yang cukup besar untuk mendapatkan kesempatan menjadi “tempat penyelenggaraan” debat pilpres. Tak heran bila kita perhatikan, kampus yang menjadi tempat terselenggaranya debat Pilpres AS biasanya berupa institusi pendidikan kecil dan kurang terlalu populer, seperti debat capres AS tahun 2016 lalu yang diadakan di Hofstra University, New York, dan debat cawapres AS di tahun yang sama yang diadakan di Longwood University, sebuah kampus kecil di bagian selatan Virginia, Amerika Serikat.
Kampus besar di AS seperti MIT, Stanford dan Harvard tidak memiliki ketertarikan menjadi tuan rumah debat pilpres AS. Ini karena kampus top dunia tersebut tidak perlu membeli atensi publik dengan mengeluarkan dana jutaan dolar untuk kegiatan semacam itu, karena pada dasarnya kampus ini merupakan kampus populer dan bereputasi sejak awal berdiri. Inilah mengapa kampus-kampus yang kurang populis-lah yang biasanya muncul untuk menawarkan diri menjadi tuan rumah, karena mereka sadar kegiatan politik semacam ini dapat menaikkan atensi publik dan memopulerkan nama kampus mereka secara signifikan.
Lalu bagaimana dengan debat Pilpres di Indonesia? Bisakah kita menyelenggarakan debat Pilpres di kampus? Jawabannya, tidak bisa.
Peraturan undang-undang yang ada melarang segala bentuk tindakan kampanye politik di lingkungan lembaga pendidikan, termasuk di ranah perguruan tinggi seperti universitas. Ini berarti kampus tidak diperbolehkan secara aktif berpartisipasi dalam segala macam kegiatan politik praktis, termasuk menjadi tuan rumah debat pilpres.
Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 280 ayat 1 huruf h, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa pelaksana, peserta dan tim kampanye pemilu dilarang untuk berkampanye dengan menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan. Masih dalam Undang-Undang Pemilu, pasal 521 nya mengatur mengenai sanksi pidana bagi pelanggaran terhadap ketentuan larangan pelaksanaan kampanye pemilu pada pasal 280, yaitu ancaman pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak 24 juta rupiah.
Wacana debat pilpres di kampus sebetulnya telah dibicarakan sejak jauh-jauh hari. Diskursus mengenai hal ini masih terus berlanjut di kalangan para politisi dan akademisi di Indonesia. Selain lebih ekonomis, salah satu keuntungan debat pilpres yang diadakan di kampus adalah mampu memantik diskusi politik dan akademis yang lebih mendalam dan berorientasi pada substansi debat yang benar-benar bermakna, bukan hanya sekedar formalitas dan saling berlomba mengencangkan suara dan berteriak mendukung masing-masing paslon jagoannya.
Pada dasarnya, esensi dari debat publik pilpres adalah untuk beradu gagasan dan membandingkan program kerja terbaik dari masing-masing kandidat capres-cawapres. Meski menuai pro-kontra dari berbagai kalangan, penyelenggaraan debat pilpres di kampus seperti di Amerika Serikat tampaknya menjadi salah satu opsi yang menarik untuk dilakukan di Indonesia.