Telah lama saya mendengar novel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu dan ingin membacanya. Namun kemalasan untuk memesan (online) menghambatnya, sampai akhhirnya saya mendapatkannya saat penulis singgah ngopi di Malang, 8 Agustus 2018. Bahkan lengkap dengan coretan di halaman paling depan. Setelah menyelesaikannya, dengan sungkan saya menulis ini, hehe.
“Benar itu kadang terdengar bohong”, begitu pilihan kalimat yang ditulis Mahfud Ikhwan untuk saya. Mari cerna baik-baik pesan sang empu novel tersebut. Yang pasti saya cukup beruntung mendapatkan pesan langsung dari belio saat kemarin singgah di Malang.
Bagi para pembaca Dawuk, pesan tersebut terlihat benderang. Secara tersirat itulah pesan inti dari novel ini. Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu, sebuah fiksi yang membius kita untuk mempercayainya, sekaligus mencampakkannya. Dawuk adalah filosofi kehidupan, yang sayangnya menjadi paradoks kenyataan.
Menyusuri Pemikiran Freud
Menyusuri kisah Dawuk, bagi saya sama halnya melewati filosofi kesadaran manusia ala Sigmund Freud. Tokoh masyhur nan kontroversial, sang polemik agung dalam ilmu kejiwaan. Ya! Tentu saja Freud seorang Yahudi Austria pendiri aliran Psikoanalisis yang melemparkan polemik abadi tentang struktur kejiwaan manusia.
Bahwa manusia akan terus berkelana dalam tiga tingkatan kesadaran untuk membentuk struktur kepribadiannya. Manusia (das ich/Ego) yang hidup dalam realitas (alam sadar consciousness) akan selalu memendam energi dasar (das es/Id) untuk hidup (dalam alam bawah sadarnya, unconsciousness).
Ironisnya, dia hidup bersama manusia lain yang memiliki aturan (das ueber ich/Super Ego). Ambil contoh, untuk memenuhi rasa lapar (Id), manusia tidak bisa langsung makan (Ego), namun harus mencari uang dan membelinya (Super Ego).
Singkatnya, Freud menganggap selamanya manusia akan menyeimbangkan ketiga struktur kepribadian tersebut untuk hidup. Sayangnya, selamanya manusia tidak akan pernah bisa menyalurkan energi kehidupannya (Id) yang menurut Freud bermuara untuk mempertahankan kehidupan.
Karena manusia akan segera mengetahui dia tidak abadi, sehingga satu-satunya cara untuk mempertahankan kehidupan adalah dengan melanjutkan generasi. Itulah mengapa Freud mengambil kesimpulan bahwa pusat energi dasar manusia (Id) berada pada (libido) sex.
Pada titik inilah dia melempar polemik pada manusia sampai hari ini. Jawabannya jelas, sex oleh hampir semua kesepakatan (budaya) manusia diesbut sebagai hal yang tabu. Itulah mengapa manusia akan terus menerus berbohong melalui mekanisme pertahanan diri (defence mechanism/DM) seumur hidupnya untuk menyeimbangkan konflik Id dan Super Ego. Jenis DM menurut Freud sangat beragam, mulai dari menahan dan menekan (repression), mencari alasan (rasionalization) sampai menghindarinya (denial).
Mahfud dan Freud
Mahfud –dalam hemat saya, melalui Dawuk dengan gamblang berdialog tentang paradoks manusia. Dawuk (Muhammad Dawud) dan Inayatun sebagai tokoh sentral novel adalah dua manusia dengan tipikal bertolak belakang.
Dawuk yang semenjak lahir terpaksa untuk ‘berbohong’ dengan memendam keinginannya karena ditolak masyarakat Rumbuk Randu, sedangkan Inayatun justru suka berkonflik karena dengan vulgar terus menerus hidup dengan menuruti semua keinginannya tanpa mengindahkan norma masyarakat Rumbuk Randu.
Dua-duanya kemudian dianggap ‘sakit’ oleh masyarakat dan teralienasi. Malaysia menjadi tempat perantauan dimana mereka belajar menyeimbangkan tekanan Id (keinginan) dan Super Ego (aturan). Baik Dawuk maupun Inayatun disatukan oleh hal yang sama, yaitu keseimbangan hidup. Dawuk tidak bisa terus menerus menekan keinginannya akan kasih sayang, begitu juga Inayatun yang harus belajar menjadi tertib. Kehidupan mereka berubah saat memutuskan untuk bersatu dalam biduk rumah tangga.
Kisah kemudian berlanjut dalam konteks kesadaran kolektif masyarakat. Antagonis muncul bukan hanya untuk mengalienasi pasangan ganjil (Dawuk-Inayatun), namun juga menyingkirkannya. Mengapa? Karena kesadaran kolektif kita menyeragamkan keinginan individual.
Tidak ada yang boleh berbeda, itulah kira-kira pesan pesan Mahfud dalam konflik antara Dawuk-Inayatun dengan Rumbuk Randu. Sebagai keturunan pemberontak, anak buruk rupa yang tidak diinginkan (bahkan oleh bapaknya sendiri), Dawuk seharusnya tidak boleh beristrikan seorang bunga desa bernama Inayatun, terlebih dia dilahirkan dari keluarga terpandang dan religius bernama Imamudin.
Ego (kita) harus memenangkan Super Ego (harmonis dan seimbang) saat melawan Id (cinta ganjil Dawuk-Inayatun). Kita tidak boleh jujur bahwa semua manusia memiliki hak untuk memenuhi keinginannya, kita sediakan segudang alasan untuk membenarkan kebohongan.
Imamudin akan terus menyembunyikan keinginannya bahwa dia tetap mencintai anaknya, Mandor Har dan Blandong Hasan serta hampir semua laki-laki Rumbuk Randu harus terus menerus kucing-kucingan dengan keinginan menikmati tubuh molek Inayatun. Apakah keinginan tersebut tidak mereka coba tuntaskan?
Jelas iya, namun dengan segudang alasan untuk tidak terlihat oleh Rumbuk Randu. Saat itulah justru mereka tertipu oleh diri mereka sendiri. Berniat untuk menjaga keseimbangan dan nilai-nilai bersama, justru merekalah yang sebenarnya melumpuhkan nilai-nilai tersebut. Mereka harus merampok hak orang lain, memperkosa dan bahkan membunuhnya.
Menyiratkan yang realistis
Pada suatu titik Mahfud secara malu-malu melemparkan gagasan bahwa lebih baik menghindar daripada berkonflik (salah satu jenis DM, denial). Adalah Mbah Dulawi yang digunakan untuk menggambarkan itu. Kecewa atas keputusan menuruti keinginan anaknya dan mengkhianati muridnya (Anwar Tohari atau Warto Kemplung), Mbah Dulawi memilih untuk mengasingkan diri.
Begitu juga sang narator cerita, Warto Kemplung yang memilih menghindari konflik dengan gurunya (Mbah Dulawi) juga dengan mengasingkan diri. Mahfud seolah berkata pada Freud, “setelah kutimbang-timbang, dari sekian banyak pilihan untuk berbohong (DM), aku memilih untuk menghindari konflik pak!” Menghindar memang bukan pilihan ideal, namun denial adalah pilihan realistis untuk tidak mengusik serta merusak harmoni kolektif masyarakat dalam konteks Dawuk.
Sekali lagi, hidup adalah pilihan untuk berbohong. Adakalanya kita harus membohongi diri sendiri untuk orang lain, atau menuruti keinginan namun harus berhadapan dengan orang lain? Apakah tidak ada pilihan lain? Setidaknya Dawuk telah menggambarkan dua pilihan tersebut lengkap dengan konsekuensinya.