Kabar duka itu datang. Sekali lagi, Indonesia telah kehilangan tokoh intelektual Muslim dan seorang pemikir besar di bidang ekonomi. Beliau adalah Prof. Dawan Rahardjo, salah seorang intelektual tangguh yang dimiliki Indonesia saat ini.
Dawam Rahardjo dilahirkan pada 20 April 1942 di Kampung Balatuwi, Solo. Sejak kecil, Dawam sudah akrab dengan pendidikan agama. Ini tidak lepas dari peran ayahnya, Zahdi Rahardjo, yang seorang ahli tafsir al-Qur’an. Dawam lalu bersekolah agama di Madrasah Diniyyah al-Islam dan nyantri di pesantren Krapyak Yogyakarta untuk belajar al-Qur’an. Kelak, bekal dari pesantren inilah membuatnya menjadi salah seorang ahli di bidang kajian Islam.
Sejak tahun 1969, ketika beliau telah lulus dari Fak. Ekonomi UGM, karir tulis-menulisnya mulai berkembang. Hal ini dibuktikan sejak beliau menjadi Pemimpin Jurnal Prisma tahun 1980-1986. Secara berangsur-ansur, karir intelektualnya menanjak dan menjadi salah seorang ilmuwan penting Indonesia.
Beliau bukan hanya ahli di bidang ekonomi, meski latar belakang pendidikan formalnya bukan berasal dari studi Islam, banyak sekali artikel-artikel dan buku yang ia tulis terkait dengan ide-ide pembaharuan pemikiran Islam. Luasnya cakrawala pemikiran beliau, membuatnya sangat piawai dalam banyak hal, di antaranya beliau juga salah seorang aktivis yang selalu mengkampanyekan toleransi antar umat beragama.
Prof. Dawam adalah seorang yang tak pernah berhenti menulis dan mengajar. Walau beberapa tahun terakhir ini kesehatannya mulai menurun, seperti masalah pada penglihatannya, tetapi beliau tetap terus membaca dan menulis. Tak cukup hanya membaca, ia selalu mendiskusikan hasil bacaannya pada anak-anak muda. Seperti biasa, hasil bacaan dan diskusinya ia tuangkan kembali ke dalam bentuk artikel dan makalah-makalah yang panjang. Maka tak heran jika ia dikenal sebagai intelektual yang sangat produktif.
Beliau juga tak hanya seorang profesional, tetapi seorang negarawan yang banyak memberikan kontribusi tentang arti penting Pancasila sebagai ideologi pemersatu. Pernah, dalam suatu ceramahnya, beliau mencoba memberikan pandangan tentang hubungan antara Islam dan negara. Dengan bertitik tolak bahwa Pancasila sudah sangat searah dengan nilai-nilai Islam dan tidak perlu mendirikan negara khilafah yang justru akan banyak menimbulkan polemik dan konflik sebagaimana di negara-negara Timur Tengah.
Ini menunjukkan bahwa Dawam Rahardjo adalah sosok yang multidimensi. Di samping ahli ekonomi, ia juga aktivis sosial, budayawan, pemikir Islam, cerpenis bahkan sebagai penafsir al-Qur’an. Terbukti bahwa beliau banyak melahirkan karya di berbagai bidang keilmuwan yang patut menjadi referensi pokok bagi generasi sekarang. Sebab, sangat sulit menemukan seorang pemikir sekelas beliau.
Dasar keilmuwan Dawam Rahardjo memang begitu lengkap, ia mendalami tradisi pemikiran Timur dan Barat sekaligus dan menjadi bagian penting dari karir intelektualnya. Sehingga kontribusinya bagi pengembangan keilmuan Islam dan modern di Indonesia sangat besar dan amat berharga. Maka sepatutnyalah bagi kita semua, generasi penerus, untuk mengikuti jejak beliau.
Memang, sebagaimana kesaksian rekan-rekannya, Dawam Rahardjo masih sangat gelisah melihat Indonesia semakin jauh dari keadaan ideal. Di kepalanya bergerumuk banyak ide bagi masa depan Indonesia. Ia masih menolak berhenti membaca, ia juga menolak berhenti untuk membela yang tertindas. Kini, beliau telah tiada, sudah menjadi suatu keharusan bagi kita semua untuk terus memperjuangkan aspirasi beliau.
Boleh jadi, Dawam Rahardjo akan dapat pergi dengan tenang bila generasi sesudahnya dapat meneruskan cita-cita dan harapan besarnya tentang masa depan Indonesia. Melalui warisan intelektual beliau yang amat kaya, kita masih punya banyak kesempatan untuk mempelajarinya, meneruskan dan berjuang atas nama kemajuan.
Sebagai seorang living legend dalam dunia intelektual Indonesia, Dawan Rahardjo sudah seharusnya dijadikan ikon intelektual di tengah krisis intelektual dan ideologi yang melanda Indonesia saat ini. Saat teknologi komunikasi maju begitu pesat, tetapi tidak diimbangi dengan melestarikan tradisi literasi, saat media sosial begitu menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari, tetapi kita masih belum bisa dewasa menyikapinya.
Kita perlu banyak belajar dari seorang Dawam Rahardjo yang mengajarkan betapa pentingnya menjaga dan mengembangkan tradisi keilmuwan berbasis literasi, orasi-orasi tentang toleransi dan keragaman harus benar-benar kita dengar dan menjadi penting bagi pembejalaran kita hari ini. Tak bosan-bosan beliau menyuarakan persatuan, keutuhan NKRI dan secara bersama-sama membangun kemajuan.
Krisis identitas yang kita alami saat ini, ketika tak tahu siapa lawan siapa kawan, mengharuskan kita kembali pada cara berpikir yang nasionalis dan selalu mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan diri sendiri. Dawam Rahardjo melalui segudang peninggalan karya-karyanya dapat memudahkan kita untuk belajar kembali arti penting persatuan dan menuju cita-cita Indonesia lebih baik.
Kita perlu meninggalkan semua perbedaan dan mulai menyatukan diri atas nama cita-cita bersama. Lawan semua jenis penindasan dan kebodohan. Beda pilihan politik tidaklah masalah, tetapi jangan sampai perbedaan itu merusak harmonisasi dan melupakan harapan-harapan besar kita di masa mendatang. Dawam Rahardjo akan tetap hidup, bersama kita, dan kitalah yang akan mewujudkan cita-citanya menuju masa depan Indonedia yang ideal.