Dinasti kaisar (konon katanya keturunan) Nabi Sulaiman, dikenal dengan solomonic dinastic, yang selama berabad-abad menguasai bumi pada akhirnya ditumbangkan oleh sebuah kudeta militer pada tahun 1974. Kudeta itu diotaki oleh Derg, sekelompok perwira militer penganut paham Marxisme.
Tetapi pemerintahan yang dijalankan oleh rezim Derg terlihat aneh. Kondisi negara itu malah seperti mundur beberapa abad ke belakang. Benar-benar sebuah anakronisme historis yang mencengangkan. Bahkan anakronisme sejarah ini tidak hanya terjadi pada satu titik. Media Informasi sebagai unsur ketiga setelah kekuatan oligharki politik dan perekonomian yang saling bersinggungan sama-sama mengalami hal serupa.
Dunia dihadapkan pada pencapaian yang tak pernah dirasakan manusia dalam beratus-ratus dasawarsa terakhir. Saat ini manusia tidak lagi sibuk pada televisi ataupun koran di halaman depan rumah. Keberhasilan wacana konvergensi media telah mengubah itu semua, kebiasaan hidup kita yang cendrung pedagogis di depan televisi setiap paginya perlahan berubah lebih interaktif lagi dengan adanya media sosial.
Jenis-jenis media massa yang kita ketahui seperti Televisi dan koran bisa dinikmati melalui ponsel pintar. Selain menjadi konsumen media massa dan sosial berbasis online, bahkan prinsip kebebasan yang agung itu mengijinkan kita berlakon layaknya pencipta.
Situs-situs website mulai bertebaran dimana-mana, artikel-artikel bahkan mengalami peledakan beruntun, bahkan hari ini media sosial nampak merangsang saraf hormonal hewanis kita bagaikan bom waktu yang terjadi tiba-tiba. Pada akhirnya pelan-pelan kemajuan teknologi membawa kita pada sesuatu yang prinsipil di abad ke-21, tidak lain adalah kebahagiaan material dan eksistensial.
Kebahagiaan material dan eksistensial itulah pokok permasalahannya. Segala sesuatu yang menyangkut reformasi teknokratis dengan disuguhkannya perusahaan pers sebagai agen informasi mengalami masalah serius, salah satunya adalah kejahatan siber.
Di negara-negara dengan institusi ekstratif seperti Tiongkok memang sejak adanya reformasi teknokratis, pemerintah mereka yang bertangan besi telah berhasil menghantam gerakan-gerakan model Arab Spring yang berkembang di sana, prestasi terbaik adalah dengan dicabutnya akar-akar revolusi payung di Hongkong oleh Kementerian Keamanan Negara Republik Rakyat Tiongkok.
Tetapi di Negara seperti Indonesia dengan Institusi inklusif, rangsangan adanya inovasi dan kreativitas jauh lebih pesat bertumbuh daripada negara dengan kekuatan politik yang terlalu mencengkram. Terutama di momen-momen sakral dalam proses demokrasi, seperti pemilihan umum, bahkan Kementerian Komunikasi dan Informasi negeri ini nampak kualahan menghadapi serbuan informasi bohong, dan pelbagai data manupulatif.
Seperti kata saya diawal, permasalahannya bukan terletak secara kelembagaan melainkan personal-kebahagiaan material dan eksistensialisme manusia, ini menyangkut prinsip humanisme, dan dari perspektif historis diatas, jelas bahwa sesuatu yang sangat penting sedang terjadi. Ayat nomor satu humanis-dengarkan dirimu sendiri!-tidak lagi terbukti dengan sendirinya. Setalah kita belajar bahwa institusi inklusif sebuah negara menghalalkan prinsip-prinsip kebebasan.
Drama humanisme tersibak ketika orang-orang memiliki keinginan untuk berapresiasi, memberi pendapat dan kritikan. Mulai dari blogger hingga redaksi partisan seakan-akan mendewakan pesanan politisi atau bahkan kaum borjuis-monopolis. Dan, itu baru permulaan lahirnya dimana manusia menjadikan data sebagai kredo-kredo termuktahir abad ke-21, “Agama Data.”
Terkhusus di momentum politik yang teramat sakral, kebutuhan politisi akan adanya data menjadi utama. Karena itu agama data (Media Massa ) sesungguhnya telah merusak tali pusar humanisme sekaligus. Otoritas kita sebagai manusia perlahan-lahan kehilangan maknanya, orang-orang akan selalu bicara data, jika tidak memiliki data akan dianggap asal bunyi, alias asbun.
Begitupun media massa terindetifikasi dewan pers, seperti Kompas dan Tempo. Bandingkan dengan media sosial, kita diberi kebebasan untuk menyebarluaskan informasi-meski itu bohong. Sekalipun pemerintah mulai bersikap ekstraktif-dengan Undang-undang ITE, kemuliaan kita sebagai manusia masih memiliki makna, kita masih mendapat otoritas sejati sebagai pencipta teknologi, kita tidak terpedaya oleh kredo-kredo kita tentang data. Tetapi apakah itu yang kita inginkan ?
Memang betul sejak lahir manusia dikutuk untuk bebas, dalam tanda kutip “dikutuk” artinya kebebasan kita amatlah terbatas. Jadi bisa dikatakan kebebasan berpendapat di media sosial mulai menyerupai mentalitas hewan-terlalu banyak ambisi yang lagi-lagi bermuara pada kebahagian materil.
Tetapi kepercayaan kita terhadap data dan fakta terverifikasi-media massa-sudah menihilkan otoritas manusia. Segala sesuatunya menjadi bias, ada hal-hal dimana kita tidak bisa berbuat bebas sekecil apapun langkahnya sejak data terverifikasi menguasai manusia, dan manusia condong bebas dengan media sosial.
Seperti Kementerian Keamanan Publik Tiongkok yang mencengkram rakyatnya dengan informasi propaganda pemerintah, atau media massa negara-negara berinstitusi inklusif yang menjamin rakyatnya bebas berpendapat.
Inilah kedua pilihan yang sulit bagi kita untuk mencapai kearifan sejati. Bagi para politisi, pebisnis, dan konsumen biasa kenyataannya informasi menawarkan teknologi pendobrak dan kekuatan baru. Tetapi kekuatan itu pada akhirnya bagaikan dua mata pisau. Informasi akan menguntungkan manusia, dan manusia kehilangan otoritasnya untuk mengendalikan informasi.
Ada gagasan menarik dari Yoval Noah Harari seoarng filsuf post-modernis yang mengatakan bahwa, simfoni kelima Beethoven, buih bursa saham dan virus flu hanyalah tiga pila aliran data yang bisa dianalisis dengan menggunakan konsep dasar serta alat-alat yang sama. Ini adalah solusi destruktif era ‘revolusi industri 4.0’ yang mencoba menghancurkan cara-cara kita untuk mengembalikan kedigdayaan mansia sebagai pemegang otoritas.
Mulai dari cara kita menyerap data menjadi informasi, dari informasi menjadi pengetahuan dan, dari pengetahuan menjadi kebijaksanaan. Ini mungkin dianggap kearifan praktis kita untuk menghindari para politisi, pengusahan, dan konsumen biasa untuk menjadikan data dan informasi sebagai kredo-kredo termuktahir.
Tapi daripada yang paling penting adalah ketika kita sadar bahwa informasi dari kedua jenis rule model ini, tidak lagi bicara pada sesuatu yang prinsipil-yang sifatnya teknokratis seperti penyediaan media sosial dan media massa. Melainkan upaya manusia untuk mencapai kearifan praktis-menguasai pengetahuan-menjadi bijak dengan kearifan praktis.