Tahun politik sudah datang. Hiruk pikuk persiapannya mulai lalu lalang di setiap lini kehidupan. Televisi, koran, kanal berita online, bahkan baliho-baliho di pinggir jalan mulai semarak oleh kegiatan perpolitikan.
Data kuantitatif menjadi komoditas yang sering “digoreng” menjadi bahan menyusun kekuatan atau bahan mengkritik lawan. Angka-angka menjadi begitu penting dan sensitif. Data Statistik kemudian menjadi sorotan.
Dalam arena pemilihan presiden, dua jagoan yang tahun lalu berkompetisi telah memplokamirkan untuk mencalonkan diri kembali. Dengan pasangan yang dipilih masing-masing, mereka mulai bergerilya mencari simpati publik.
Riuhnya persaingan sangat terasa di jagat media sosial. Saling pamer pencapaian, saling sindir kekurangan adalah hal yang biasa dilihat di linimasa media sosial. Data berupa angka seringkali menjadi hulu ledak persaingan. Angka-angka banyak dipaparkan. Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai instansi resmi sudah menyediakan data-data makro yang dibutuhkan. Menariknya, masing-masing calon presiden saling tebang pilih data yang digunakan.
Saat data BPS menunjukkan kinerja pemerintah yang bagus, calon presiden petahana dengan percaya dirinya mengekspose hal tersebut ke publik. Pemerintah yang berkuasa tentu saja tak mau hilang muka dalam rilisan angka. Sementara bagi lawannya, enggan mengakui keberhasilan tersebut.
Mereka menuding data BPS merupakan hasil rekayasa, titipan pemerintah, dan lain sebagainya. Mereka menggunakan data tandingan yang sumbernya entah dari mana. Di era digital seperti sekarang ini, informasi sangat mudah menyebar meskipun kebenarannya masih belum dapat dipastikan.
Tingkat keberhasilan pemerintahan seringkali disimpulkan dari data-data tentang berkurangnya kemiskinan, pengangguran, pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP), atau beberapa rilisan vital lainnya. Media sosial dan pemberitaan selalu ramai setelah rilisan angka kemiskinan dari BPS pada 16 Juli 2018 diterbitkan. BPS menyebutkan bahwa pada Maret 2018 kemiskinan sudah berada pada posisi single digit karena turun 0,30 persen dibanding September 2017.
Pada Maret 2018, posisi persentase kemiskinan tercatat 9,82 persen lebih rendah dibanding sebelumnya, 10,12 persen. Keberhasilan tersebut merupakan ancaman bagi kubu lawan, sehingga menuding data yang dirilis BPS merupakan hasil kontrol dari pemerintah. Tak pelak saling serang antar pendukung pasangan calon presiden menjadi tak terhindarkan.
Sebut saja Sandiaga Uno saat berkunjung ke Menara Kompas di Palmerah, Jakarta pada 30 Agustus 2018, menyebutkan bahwa BPS tidak independen. Pengontrolan data tersebut telah membuat tingkat kemiskinan dan pengangguran seolah-olah turun, padahal berbeda kenyataan di lapangan.
“Kalau saya melihat, tentunya wajar pemerintah menyampaikan pencapaian-pencapaiannya. Tentu dengan data yang mereka kontrol,” ujar Sandiaga Uno saat ditanyai wartawan. Di tempat terpisah, Prabowo menyebutkan bahwa kemiskinan kita meningkat 50 persen.
“Mata uang kita tambah, tambah rusak, tambah lemah. Apa yang terjadi adalah dalam lima tahun terakhir kita tambah miskin, kurang-lebih 50 persen tambah miskin,” tuding Prabowo dalam pidatonya di Menara Peninsula, Jakarta Barat, Jumat (27/07/2018). Tak mau ketinggalan, presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menyampaikan ada sekitar 100 juta penduduk Indonesia yang masuk kategori miskin, entah data mana yang beliau gunakan.
Untuk membuktikan bahwa data BPS bukan merupakan kontrol dari Pemerintah, mari kita breakdown data kemiskinan setelah reformasi hingga sekarang. Kenaikan tingkat kemiskinan terjadi pada tahun 2006, 2013, dan 2015. Hampir di setiap kepemimpinan presiden ada saja kenaikan kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa BPS tidak disetir oleh pemerintah yang berkuasa pada periode tertentu untuk menghitung suatu angka statistik.
Menurut Aristoteles, politik adalah upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Penulis buku Pengantar Ilmu Politik, F. Isjwara, mengamini teori tersebut dengan pendapat bahwa politik adalah salah satu perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atau sebagai teknik menjalankan kekuasaan. Tren naiknya angka kemiskinan di awal kepemimpinan dan turunnya angka kemiskinan di tiap akhir masa jabatan tentu sejalan dengan teori dua tokoh ini.
Naiknya kemiskinan di awal jabatan bisa merepresentasikan gagalnya pemerintahan terdahulu. Turunnya angka kemiskinan di akhir masa jabatan akan menjadi modal besar untuk mencalonkan kembali pada pemilihan umum selanjutnya. Boleh jadi masyarakat awam akan segera menghakimi bahwa rilisan BPS hanyalah titipan dari istana. Namun mari membuka pikiran seluas-luasnya, dan segera kita luruskan.