Selain Madinah, Damaskus dan Baghdad, Córdova adalah kota yang juga pernah mendudukan Islam di atas puncak menara kemajuan. Andalusia, yang kini menjadi wilayah otonomi paling padat penduduknya di Spanyol itu, memiliki kota bersejarah yang tak akan pernah tergantikan, tak akan pernah sirna, tak akan pernah lusuh dalam belantara masa lalu peradaban Islam.
Córdova, wilayah yang pernah menjadi ibu kota Andalusia ini bukanlah hamparan geografis biasa; di seberang lusuh dan pengapnya kota bernama Córdova tersebut, ia telah melahirkan para cendikiawan yang mungkin tak akan pernah terulang dalam jejak historis peradaban Islam.
Sekitar Abad ke-2 hingga dekade-dekade awal Abad ke-7, sebelum Andalusia remuk dikuasai oleh bangsa Eropa pada tahun 633 H/1236 M., sejumlah nama besar lahir dan tetap kita kenang hingga detik ini. Pada saat itu, Andalusia memang menjadi pusat peradaban. Luput dari terkaan Ibnu Khaldun yang meng-identikkan kebanyakan negeri timur dunia Islam cenderung “umrah badawi”; memiliki budaya primitif dan perkampungan, Córdova malah menjadi kota yang sangat metropolis dan maju.
Bahkan sering dsebut-sebut sebagai “mujtama’ ‘ulama al-Islam” (tempat berhimpunnya para cendikiawan dan saintis Islam), atau juga ada yang menjulukinya sebagai kota, “qubbah al-Islam” (kubah Islam).
Pada simposium perayaan ke-12 Abad pembangunan masjid (Mezqueta) Córdova—yang saat ini sudah berubah menjadi Gereja—yang berlangsung pada tanggal 18 s/d. 28 Januari tahun 1987, pemikir Arab kotemporer bernama, Muhammad Abed al-Jabiri menulis makalah menarik bertajuk, Qurthubah wa Madrasatuha al-Fiqriyyah, yang kemudian ia muat dalam salah satu buku pentingnya, al-Turât wa al-Hadatsah, Dirasah wa Munaqasyah (1991). Al-Jabiri menulis tentang madzhab pemikiran Córdova. Dari sekian isi tulisannya, ada beberapa bait yang cukup puitis ia tulis, pernah diterjemahkan oleh Ahmad Baso, sebagaimana berikut ini:
“di Córdova, para ulama dan penulis buku saling berkompetisi (…) dengan para penulis istana (…) posisinya dibandingkan dengan Andalusia. sebagai kepala dengan jasadnya (…) ia merupakan batu fondasi bagi negeri Andalusia. dan merupakan induk kota-kota di sana (…) ia tak pernah sepi dari tokoh-tokoh ulama, para pembesar, dan kalangan cendekiawan dengan saintis (…)”.
Tentu saja, apa yang baru saja telah kita baca, bukanlah sekedar luapan imajinasi yang indah namun fiktif, memukau namun jauh dari dari fakta. Andalusia memang benar-benar akan menjadi tampat yang mandul, bisu dan gersang, tanpa Córdova. Ia (baca: Córdova) adalah kota yang perlu kita pahami berbeda, sebagai identitas yang difference, sebagai kontradiksi dan sebagai pengalaman lain dari sekian jumlah kota yang juga berdiri di tanah Andalusia saat itu, seperti: Toledo, Zaragoza, Almeria dan Seville. Hal ini karena Córdova memiliki karakter pengetahuan yang berhasil keluar dari batas-batas pemikiran yang berkembang bukan hanya di Andalusia, tetapi juga di wilayah-wilayah Islam lainnya.
Kita memang tak bisa menyangkal, di zamannya, Córdova berhasil merintis proyek pengetahuan dan perabadan baru yang dalam fase selanjutnya, berhasil mempengaruhi khazanah pemikiran secara global; tidak hanya di daratan Islam, tapi juga sampai mendarat di bumi Eropa. Sebagaimana yang pernah dicatat oleh Philip K. Hitti dalam bukunya, The Arabs: A Short History (1970), bahwa khazanah Islam yang berkembang di Córdova, pada pertengahan Abad ke-8 dan permulaan Abad ke-13 berhasil memimpin budaya dan peradaban dunia. Kita bisa mulai menelusuri, bahwa ini semua berawal dari, Ibn Hamz dan mencapai puncaknya di tangan seorang filsuf yang sampai detik ini tak pernah tenggelam, Ibn Rusd (Averrios). Di tangan mereka berdua, Córdova menjadi sesuatu yang baru dan berpengaruh dalam belukar sejarah pemikiran Islam.
Di tangan mereka berdua, Córdova menjadi kota yang khas, berbeda dengan kota-kota yang lainnya. Misalkan, seperti Toledo dan Zaragoya, adalah dua kota yang terkenal dalam keunggulan para ulama’nya di bidang ilmu-eksakta; matematika, astronomi dan fisika. Dalam hal ini, kita mengenal sosok bernama, Abû Ishâq Ibrâhim al-Zarqâlî ahli astronomi, Abu Utsman al-Baghubsy ahli matematika, dan Abu Ayyûb Suleiman ibn Yahya ibn Jabirûl, yang oleh-oleh orang-orang Spanyol kini lebih dikenal Shelombo ben Yahuda ibn Gabirol, pakar fisika bahkan juga metafisika. Atau juga berbeda dengan Almeria, yang oleh banyak orang dikenal sebagai kota yang menonjol dalam bidang ilmu al-‘irfânî (mistisisme). Pun demikian dengan Seville, kota para seniman yang banyak melahirkan musisi dan para pujangga.
Sementara itu, Córdova memulai proyek pengetahuan dari dua tokoh yang diawal telah disebut itu, Ibn Hamz dan Ibn Rusd, merintis tradisi al-burhanî (rasionalisme) dalam Islam. Proyek pengetahuan yang betul-betul mencapai puncaknya di tangan Ibn Rusd ini, menjadikan Córdova sebagai kota yang pertamakali berhasil mendayung Islam ke tengah samudara pergulatan pengetahuan modern. Inilah awal di mana Islam yang dahulunya selalu diandaikan dogmatis, mistik dan seutuhnya transenden, menjadi cair sehingga berhasil membentuk satu gugus nuansa pemikiran yang lebih segar tentang Islam yang rasional.
Rasioanlisme Ibn Rusd, menjadikan Islam sangat manusiawi, tidak lagi dogmatis, eksklusif dan tertutup. Hal inilah, yang kemudian membuka kran keilmuan dalam Islam dimana diterimanya kembali ilmu-ilmu dari peradaban Yunani yang awalnya dianggap sesat dan menyesatkan. Terutama, dalam sosok Ibn Rusd kita melihat bagaimana pengaruh logika Arstoteles benar-benar sangat kental saat ia menginterpretasi seluruh ajaran dalam Islam itu sendiri. Pengaruh ini kemudian semakin jelas nampaknya, saat ia berhasil menghadapi dan menggulingkan proyek harmonisasi dan elektisisme-nya Ibn Sina beserta kecederungan al-‘irfânî-nya al-Gazali terhadap kaum falasifah kala itu.
Di tangan Ibn Rusd inilah pula, kita dapat melihat dengan jelas penggunaan filsafat begitu sangat produktif merekonstruksi aspek metodologis bagaimana satu proses pembacaan terhadap makna-makna eksoteris dari teks-teks agama, dan bagaimana mendudukan maqasyid al-Syari’ah sebagai orientasi utama dalam menggali hukum-hukum dalam Islam mengubah kondisi intelektual Islam bersaing dengan khazanah keilmuan dunia.
Sejak saat itulah, Córdova menjadi kota yang memberikan inspirasi pada semua wilayah di Andalusia dalam mengembangkan khazanah keilmuan yang dulu sempat nyaris sama sekali tidak tersentuh oleh orang-orang Islam. Sehingga lahirlah ahli fisika, matematika, ahli medis, kimia, astronomi, bahkan para seniman, sebagaimana yang telah disinggung di atas.
Tidak hanya itu, spirit keilmuan dari tanah Córdova ini juga banyak melahirkan para ulama’ yang menonjol dalam disiplin-disiplin ke-Islam-an, seperti bahasa dan gramatika Arab dengan tokoh utamanya adalah Ibn Madl al-Qurthubi, dan disiplin ushul fiqh dengan tokoh utamanya, Abu Ishaq al-Syatibi. Bahkan filsafat Yahudi dan filsafat Eropa Latin juga tak luput dari pengaruhnya yang dulu dikenal dengan sebutan Averroisme Latin.
Dari kota Córdova inilah kemudian, orang-orang Islam dikenal. Mereka para ilmuan dari tanah Córdova ini, yang diwakili oleh Ibn Rusd, meletakkan dan membuktikan bahwa Islam bukan sekedar agama warisan yang kaku dan medewakan masa lalu, tapi agama yang juga secara dialektis memiliki progresivitas dalam ilmu-ilmu pengetahuan yang kini menjadi pondasi modernisme di Eropa.
Dari inilah, kita dapat mencatat, bahwa dari kota Córdova itu, bendera Islam pernah berkibar walaupun pada akhirnya luluh lanta di tangan tentara Eropa. Ya, hanya kenangan-lah, wujud terakhir yang sampai detik ini mengada dan senantiasa seger menggelora dalam ingatan kita. Yang tak akan pernah mati, lapuk, sirna, dan hangus dalam tepi ingatan kita bersama.
Dengan mengenangnya melalui tulisan sederhana ini, kita berusaha membuka kemungkinan untuk mengulang peristiwa sejarah itu kembali menganga lebih lebar, sampai benar-benar terbuka, sampai esok kemungkinan itu bisa menyulap dirinya sendiri menjadi kenyataan yang tak dapat dihalau. Wallahua’lam…