“Kewarganegaraan bukan sekadar status hukum, tetapi praktik sosial yang terus dinegosiasikan.” – Dalam pusaran globalisasi, batas-batas negara semakin kabur, tetapi nasionalisme justru semakin mengeras. Konflik separatis di berbagai belahan dunia, termasuk Catalonia di Spanyol dan Papua di Indonesia, mencerminkan ketegangan antara konsep negara-bangsa dan identitas lokal yang terus berkembang. Apakah setiap komunitas memiliki hak mutlak untuk menentukan nasibnya sendiri? Ataukah integrasi nasional harus tetap dijaga meskipun ada suara ketidakpuasan?
Kasus Catalonia mengajarkan bahwa gerakan separatis tidak selalu didorong oleh kebencian terhadap negara induk, tetapi lebih sering dipicu oleh ketidakpuasan terhadap bagaimana kewarganegaraan dan hak politik mereka diperlakukan. Di Indonesia, sentimen serupa terlihat dalam gerakan Papua Merdeka, di mana sebagian masyarakat merasa bahwa mereka hanya menjadi bagian dari Indonesia di atas kertas, tetapi tidak dalam kenyataan sosial, politik, dan ekonomi.
Kewarganegaraan = Identitas yang Selalu Dinegosiasikan
Dalam kajian Pradillo-Caimari dkk. (2023), perdebatan seputar kemerdekaan Catalonia tidak hanya berkutat pada ide nasionalisme, tetapi juga pada konstruksi kewarganegaraan. Pendukung kemerdekaan mengklaim bahwa mereka memiliki hak demokratis untuk menentukan nasib sendiri, sementara pihak yang menentang berargumen bahwa kedaulatan Spanyol adalah milik semua warga negara, bukan hanya kelompok tertentu.
Konflik ini mencerminkan dilema global: bagaimana suatu negara dapat mengakomodasi identitas yang beragam tanpa kehilangan integritasnya? Jika kewarganegaraan hanya didefinisikan sebagai ikatan hukum, maka siapa pun yang memiliki paspor adalah bagian dari negara. Tetapi jika kewarganegaraan juga mencakup rasa memiliki, keterlibatan politik, dan akses terhadap hak yang setara, maka apakah semua warga benar-benar merasakan hal tersebut?
Di Indonesia, kasus Papua menunjukkan persoalan serupa. Banyak masyarakat Papua yang merasa bahwa meskipun mereka memiliki kewarganegaraan Indonesia secara hukum, mereka tidak menikmati hak dan perlakuan yang sama seperti masyarakat di Jawa atau Sumatra. Jika kewarganegaraan tidak hanya soal dokumen, tetapi juga soal pengakuan dan keadilan, maka ketidakpuasan ini menjadi tantangan serius bagi konsep keindonesiaan itu sendiri.
Memaksakan Kesatuan atau Menerima Perbedaan?
Dalam konflik Catalonia, nasionalisme dipahami secara bertentangan oleh kedua kubu. Bagi Spanyol, kesatuan adalah nilai utama yang harus dijaga, sedangkan bagi para pendukung kemerdekaan Catalonia, identitas nasional mereka tidak terakomodasi dalam kerangka negara Spanyol. Perbedaan ini menunjukkan bahwa nasionalisme bukanlah konsep yang statis, tetapi terus dinegosiasikan sesuai dengan kepentingan politik dan sosial.
Indonesia menghadapi dilema serupa. Nasionalisme yang diusung negara sering kali berakar pada konsep NKRI Harga Mati, yang menekankan kesatuan sebagai nilai mutlak. Namun, pendekatan ini sering kali menutup ruang dialog dengan kelompok yang merasa berbeda dan terpinggirkan. Papua, misalnya, tidak hanya menghadapi persoalan ekonomi dan pembangunan, tetapi juga merasa bahwa identitas budaya mereka sering dikesampingkan dalam narasi besar keindonesiaan.
Jika kita melihat kembali sejarah, pendekatan represif terhadap separatisme sering kali hanya memperburuk keadaan. Spanyol mencoba menekan referendum Catalonia dengan menangkap pemimpin-pemimpin separatis, tetapi langkah ini justru meningkatkan ketidakpuasan dan memperkuat solidaritas kelompok pro-kemerdekaan. Indonesia pun pernah melakukan kesalahan yang sama, seperti dalam kasus Aceh sebelum perjanjian Helsinki. Ketika konflik hanya ditangani dengan kekuatan militer, hasilnya bukan perdamaian, tetapi semakin menguatnya sentimen anti-negara.
Dialog atau Represi? Menghindari Kesalahan Sejarah
Pendekatan militeristik dalam menanggapi separatisme sering kali didasarkan pada ketakutan bahwa memberikan ruang kepada kelompok tertentu akan berujung pada disintegrasi negara. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa represi justru sering kali memperkuat keinginan untuk memisahkan diri.
Spanyol gagal dalam membangun dialog dengan Catalonia karena terlalu fokus pada legalitas dan tidak cukup mempertimbangkan perasaan keterasingan yang dialami masyarakat Catalonia. Di Indonesia, tantangan serupa muncul dalam penanganan isu Papua. Pendekatan keamanan yang berlebihan justru memperkuat narasi bahwa Papua adalah daerah yang “bermasalah”, bukan bagian yang setara dalam Indonesia.
Sebaliknya, perjanjian damai Helsinki tahun 2005 antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menunjukkan bahwa dialog politik dapat menjadi solusi yang lebih efektif dibandingkan dengan represi. Aceh diberikan otonomi khusus yang lebih luas, dan sebagai hasilnya, konflik bersenjata di wilayah tersebut mereda secara signifikan.
Kewarganegaraan yang Inklusif Sebagai Solusi
Pelajaran utama dari Catalonia dan Papua adalah bahwa kewarganegaraan bukan hanya soal keanggotaan hukum, tetapi juga soal pengakuan, keadilan, dan rasa memiliki. Jika suatu kelompok merasa bahwa mereka hanya “warga negara di atas kertas”, tetapi tidak dalam kenyataan sosial dan politik, maka ketidakpuasan akan terus berkembang.
Pemerintah Indonesia perlu memahami bahwa menjaga keutuhan negara tidak bisa hanya dilakukan dengan pendekatan keamanan dan sentralisasi kekuasaan. Sebaliknya, negara perlu membuka ruang bagi dialog yang lebih luas, di mana identitas lokal dihargai dan hak politik diakui.
Apakah Indonesia akan tetap berpegang pada pendekatan lama yang melihat separatisme sebagai ancaman, ataukah akan belajar dari pengalaman global dan membangun kewarganegaraan yang lebih inklusif? Pilihan ini akan menentukan apakah Indonesia benar-benar mampu mempertahankan keindonesiaan yang berakar pada Bhinneka Tunggal Ika, atau justru semakin memperdalam jurang pemisah antara negara dan warganya.
Membangun Indonesia yang Lebih Inklusif
Kasus Catalonia dan Papua sama-sama menunjukkan bahwa nasionalisme dan kewarganegaraan adalah konsep yang dinamis dan terus dinegosiasikan. Jika negara gagal memahami bahwa identitas warga negara tidak bisa dipaksakan melalui kekuatan hukum atau militer semata, maka ketegangan sosial akan terus berlanjut.
Indonesia memiliki pilihan, terus mempertahankan pendekatan represif yang telah terbukti gagal di banyak tempat, atau mulai membangun kewarganegaraan yang lebih inklusif dengan memberikan ruang bagi semua kelompok untuk merasa diakui dan dihargai.
Jika kita benar-benar percaya pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika, maka sudah saatnya kita berhenti melihat keberagaman sebagai ancaman, dan mulai menganggapnya sebagai kekuatan yang harus dirawat bersama. Apakah kita siap untuk itu?