Saya selalu memiliki ketertarikan untuk mengunjungi tempat-tempat yang pernah saya baca di buku atau tonton di film. Salah satunya adalah Museum Genosida Yahudi di kamp konsentrasi Auschwitz. Ketertarikan ini berawal dari masa kuliah, ketika saya sering membaca buku dan menonton film bertema Perang Dunia II atau pendudukan Nazi di Eropa. Dari sana, tumbuh keinginan untuk melihat langsung jejak sejarah tersebut dan belajar lebih dalam dari sumbernya.
Pada musim panas tahun 2022, saya dan istri akhirnya berkesempatan mengunjungi Museum Auschwitz saat melancong ke kota Kraków, Polandia. Perjalanan menuju museum ini dapat ditempuh dalam dua jam dengan bus dari Kraków. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam, saya memutuskan mengikuti tur berpemandu. Sesampainya di Kraków, kami segera mencari biro perjalanan yang menyediakan fasilitas tur ke Museum Auschwitz. Tidak sulit, kami dengan cepat menemukan jasa tur yang mencakup transportasi pulang-pergi serta pemandu berbahasa Inggris.
Museum Auschwitz terletak di Oświęcim, sebuah kota kecil yang berjarak sekitar 70 kilometer dari Kraków. Saat tiba di lokasi museum, sengatan matahari musim panas Polandia langsung menyambut kami dan peserta tur lainnya. Setelah mendapat briefing singkat, kami dipandu untuk menelusuri dua area museum.Area pertama adalah Auschwitz I. Tempat ini merupakan bekas penjara tahanan politik, intelektual, atau orang-orang yang dianggap berbahaya oleh Nazi.
Di sini, kami menyaksikan barang-barang pribadi milik para korban, seperti koper, sepatu, kacamata, dan bahkan rambut manusia. Di gerbang utama, terdapat tulisan “Arbeit Macht Frei” (Pekerjaan Membebaskan Anda), yang masih dipertahankan hingga kini sebagai simbol ironi dari penindasan.
Selanjutnya, kami melanjutkan tur ke lokasi kedua, yaitu Auschwitz II Birkenau. Area bekas kamp ini lebih luas dibandingkan Auschwitz I. Rel kereta serta gerbang masuk ikonik yang sering muncul di film ada di tempat ini. Kamp tahanan ini dibangun khusus sebagai “final solution”, tempat pemusnahan orang Yahudi.
Bekas barak tahanan, kamar gas, dan krematorium bisa dilihat di tempat ini. Pemandu tur mengingatkan agar tidak menjelajah terlalu jauh karena cuaca diperkirakan akan mencapai puncak panas di tengah hari. Sekitar pukul dua siang, tur dihentikan karena suhu yang semakin tak tertahankan. Pemandu akhirnya memutuskan untuk menggiring para peserta kembali ke Kraków.
Dalam perjalanan pulang ke Kraków, sebuah kutipan George Santayana yang dipajang di salah satu bangunan kamp terus terngiang di benak saya: “Those who do not remember the past are condemned to repeat it.” Saat pertama membacanya, saya merasa museum itu seperti monumen pengingat bagi orang Eropa agar sejarah kelam tidak terulang. Namun kini, setiap kali mengenang perjalanan saya ke Auschwitz, pikiran saya langsung melayang ke Gaza.
Dari Auschwitz ke Gaza: Sejarah yang Tak Pernah Belajar
Saya teringat pada sebuah kutipan dari Eduardo Galeano, penulis asal Uruguay: “Hunting Jews has always been a European sport. Now the Palestinians, who never played it, are paying the bill.” Kutipan ini muncul karena pogrom terhadap orang Yahudi memang berasal dari benua Eropa. Jika saat ini banyak orang Eropa (baca: Uni Eropa) gemar mendemonisasi imigran, sejarah menunjukkan bahwa mereka telah lama terlatih untuk menjadikan orang Yahudi sebagai kambing hitam.
Kaum Yahudi disalahkan atas berbagai persoalan, mulai dari masalah sosial, ketegangan politik, hingga segala bentuk ketidakberuntungan di masyarakat. Intinya, jika aku sial, kamu sial, atau negara kacau, itu pasti kerjaan orang Yahudi.
Sejarah panjang persekusi ini mencapai puncaknya ketika Hitler, dengan kebencian yang paripurna, memerintahkan pembantaian massal jutaan orang Yahudi dalam peristiwa Holocaust. Menggunakan propaganda dan kebohongan sebagai senjata, Nazi berhasil meyakinkan banyak orang bahwa keberadaan orang Yahudi adalah ancaman bagi kelangsungan “ras murni”. Dan setelah pembantaian itu terjadi, Eropa seakan tersadar bahwa apa yang mereka lakukan selama ini telah melampaui batas kemanusiaan.
Alih-alih bertanggung jawab atas kesalahan mereka, Eropa memilih “mencuci tangan” dengan memberikan tanah di Palestina sebagai hadiah bagi bangsa Yahudi. Hal ini tertuang dalam Deklarasi Balfour yang dikeluarkan pada tahun 1917 oleh Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour. Dalam deklarasi tersebut, Inggris tidak secara langsung memberikan tanah, melainkan memberikan pengakuan politik yang mendukung aspirasi Zionis untuk mendirikan “rumah nasional bagi orang Yahudi” di Palestina.
Perilaku sembrono ini, tentu saja, memicu konflik yang tak berkesudahan antara orang Yahudi dan Arab di wilayah tersebut. Ibaratnya, ada orang asing yang tiba-tiba masuk ke rumahmu dan memaksa tinggal dengan bermodal izin dari pihak berwenang. Hasilnya sudah bisa ditebak: pertumpahan darah tak henti-henti karena konflik yang berkepanjangan. Eropa tampaknya hanya memberikan solusi instan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya, seolah-olah hadiah itu cukup untuk menebus semua dosa mereka.
Auschwitz dan Gaza: Dua Sisi dari Koin yang Sama
Setahun terakhir ini saya sering bernostalgia tentang kunjungan saya ke Auschwitz. Kenangan itu datang begitu intens, terutama setelah agresi Israel di Gaza semakin membabi buta. Bagaimana bisa, di satu sisi Eropa begitu rajin mengingatkan dunia tentang kebiadaban yang pernah terjadi pada orang Yahudi, sementara di sisi lain, mereka menjadi salah satu pihak yang diam saja kala penindasan terhadap bangsa Palestina berlangsung? Dari Auschwitz ke Gaza, terpisah jarak dan masa yang begitu jauh, tapi bagi saya, mereka dekat.
Dari Auschwitz, Eropa seakan-akan sudah belajar untuk menebus dosanya, tapi kini, di Gaza, mereka kembali menunjukkan ketidakpedulian yang sama. Mereka tidak mempelajari sejarah, mereka hanya membangun museum untuk menunjukkannya, sementara peristiwa yang sama terus terjadi. Ini adalah sebuah ironi besar: belajar dari sejarah, tapi terus mengulang kesalahan yang sama.
Kapan Sejarah Ini Akan Berakhir?
Ketika membicarakan Gaza, kita berbicara tentang sebuah luka lama yang tak kunjung sembuh. Ketika membicarakan Auschwitz, kita berbicara tentang tragedi yang seharusnya tidak boleh terulang. Tapi kenyataannya, pelajaran itu belum juga diambil dengan serius oleh banyak pihak, terutama Eropa.
Jadi, saat kita mengunjungi museum Auschwitz dan mengagumi bagaimana Eropa dengan telaten mengabadikan sejarah kelam itu, kita harus bertanya: apakah Eropa benar-benar belajar dari sejarah, atau mereka hanya mengoleksi kenangan, untuk kemudian mengulanginya lagi?