Masih teringat jelas malam itu tanggal 13 Juli 2014 di Stadion Maracana, Rio de Janeiro, Brasil semua mata tertuju kepada sosok kecil yang terdiam meski di sekitarnya riuh rendah keramaian tim Jerman yang merayakan kejuaraan Piala Dunia.
Bahkan, sorotan kamera sering menuju ke ekspresi wajahnya. Ia terdiam tidak bahagia walaupun ditangan kanannya tergenggam bola emas tanda trofi pemain terbaik turnamen piala dunia sepakbola tahun 2014 di Brasil.
Ia sedih dan juga tatapannya kosong. “Gelar individu bukan obsesi saya,” itulah kata yang terucap dan banyak dikutip media, sesekali tampak ia mengusap airmatanya. Sejatinya ia ingin Argentina juara itulah obsesi terbesarnya.
Messi adalah fenomena luar biasa di sepakbola dunia. Dengan postur yang tak lazim karena terlalu pendek untuk ukuran Amerika Latin maupun Eropa, Ia menyihir lawan lawannya lewat gocekan gocekan mautnya.
Karena postur inilah ia sering disamakan dengan kompatriotnya terdahulu yang sama sama pendek di tim Argentina yaitu sang legenda; Maradona. Gaya permainan mereka nyaris sama yaitu mengandalkan keahlian dribbling untuk menguasai dan memporak-porandakan permainan lawan.
Sejak tahun2009 hingga tahun 2012 Messi selalu terpilih sebagai pemain terbaik dunia versi FIFA. Dan tahun 2015 Messi terpilih lagi sebagai pemain terbaik dunia untuk yang kelima kalinya setelah selama dua tahun yaitu 2013 dan 2014 direbut pesaing utamanya, Christiano Ronaldo.
Untuk pencapaian kualitas individual mustahil mencari orang yang meragukan kemampuan Messi. Ia adalah contoh sempurna dalam urusan mengolah si kulit bundar.
Meski ia telah meraih segalanya pengamat masih menganggap kurang lengkap dengan apa yang telah dicapai oleh La Pulga atau si Kutu ini. Meski perlu diingat bahwa messi sudah pernah membawa Tim Nasional Argentina Juara Dunia di level Junior di tahun 2005 dan juga pernah membawa Argentina meraih medali emas di olimpiade Beijing tahun 2007. Pencapaian yang tidak semua pemain bintang bisa menikmatinya.
Cacat prestasi yang bisa disematkan pada sosok Messi adalah belum bisa membawa tim Tango julukan untuk Tim senior Argentina menjuarai Event Major sepak bola yaitu Copa America dan World Cup.
Biar bagaimanapun permainan sepakbola adalah permainan tim yang mengutamakan kerjasama bukan kualitas seorang bintang. Di tim Tango, Argentina, Messi tidak mempunyai rekan yang sepadan untuk bisa mengisi dan melengkapinya.
Lain cerita dengan yang terjadi di tim Barcelona, Messi yang sejak kecil sudah berlatih di Akademi sepakbola La Masia di Barcelona dengan rekannya di tim Barcelona seolah menyatu dengan rekan setim di Barcelona.
Apa yang terjadi, Barcelona menjadi tim Luar Biasa. Tim yang selalu menang dengan permainan atraktif dan tentunya dominasi sihir dari kaki kiri Leonel Messi. Hampir semua turnamen disapu bersih oleh Barcelona di era Pep Guardiola.
Argentina bukan Barcelona yang sudah menjadi rumah bagi Messi. Di tim Argentina ia harus belajar memahami karakter rekannya, kesukaannya, dan di posisi mana rekan itu berada ketika ia sedang membawa bola.
Barcelona dengan Messi seolah saling melengkapi dan itulah yang terjadi. Ketika semua pemain Barcelona menjadi tulang punggung Timnas Spanyol dengan sedikit tambahan dari klub lain, Spanyol pun merengkuh Juara Eropa dan Juara Dunia.
Di piala dunia 2018 mereka gagal lagi saat disingkirkan tim ayam jantan Prancis yang akhirnya keluar sebagai juaranya. Meski saat itu banyak pengamat itu adalah tahunnya Messi karena umurnya yang sudah tiga puluh tahun, tapi garis nasib berkata lain.
Dan kutukan itu hadir kembali saat Lionel Messi kembali menemui kegagalan ketika membela Argentina di ajang Copa America 2019. Tim Tango kalah 1-2 dari Brasil di Stadion Mineirao, Rabu (3/7) WIB.
Meski selalu dianggap pencapaiannya tak lengkap, publik sepakbola dunia mengamini suguhan kualitas individu seorang Lionel Messi setelah hilangnya Pele, Maradona, Ronaldo, dan Zinedine Zidane. Don`t cry for Messi Argentina.