Jumat, April 19, 2024

Dan Ibadah Qurban Pun Dipolitisasi!

Iip Rifai
Iip Rifai
Penulis Buku "Persoalan Kita Belum Selesai, 2021"| Alumnus : ICAS Paramadina University, SPK VI CRCS UGM Yogyakarta, Pascasarjana UIN SMH Banten, Sekolah Demokrasi Serang 2014.

Umat Muslim di seluruh dunia dalam hitungan hari ke depan akan merayakan sebuah hari besar, yaitu Idul Adha 1439 H. Idul Adha merupakan penanda bahwa ibadah haji telah usai. Sebuah ibadah suci yang rutin dilaksanakan kaum muslim sedunia di Mekkah, Saudi Arabia.

Haji merupakan ibadah tahunan terbesar di dunia, dilakukan oleh ratusan ribu jemaah yang berkumpul di tanah suci untuk melakukan serangkaian ritual (kaifiyah) haji. Ritual haji adalah pilar kelima dalam Islam, sebuah kewajiban bagi umat muslim yang telah mampu dalam segala halnya. Hal ini tidak hanya soal bukti kuatnya solidaritas kaum muslim sedunia, tetapi juga merupakan simbol penyerahan diri sepenuhnya kepada sang pencipta alam semesta, Allah SWT.

Idul Adha juga dikenal dengan sebutan Hari Raya Qurban (Idul Qurban) atau Lebaran Haji. Pada hari tersebut diperingati sebagai peristiwa qurban, yaitu ketika Nabi Ibrahim A.S, yang bersedia mengorbankan putranya, Ismail A.S, untuk Allah SWT, yang kemudian digantikan oleh Allah SWT dengan seekor domba.

Persoalan yang kemudian muncul adalah ketika pelaksanaan ibadah qurban bernuansa atau bermuatan politik. Bagaimana tak bermuatan politik? Setiap partai politik, baik secara institusi maupun personal mempersembahkan qurban bagi masyarakat sekitar. Apalagi ditambah momentum yang pas, yaitu untuk kampanye Pileg dan Pilpres 2019 mendatang. Sebuah ajang menambah simpati dan pundi-pundi suara bagi para kandidat.

Ada beberapa indikator sebuah ibadah qurban yang telah berhasil dipolitisasi, misalnya saja ia berqurban dengan hewan qurban berupa sapi atau kambing atas nama partai politik; penyembelihan qurbannya dilaksanakan di wilayah yang menjadi konstituen dari kader partai politiknya; ia berqurban tetapi harus dibarengi pemberitaan di beberapa media cetak atau elektronik. Tujuannya tak lain agar diketahui masyarakat bahwa kader partai politiknya telah berqurban.

Persoalan kedua yang kemudian muncul juga adalah; apakah berqurban yang sarat muatan politik tersebut diterima pahala berqurbannya oleh Allah SWT? Wallahu a’lam, saya tidak akan memperdalam hal tersebut. Jika orientasinya hanya untuk mendapatkan simpati dan dukungan masyarakat terhadap parpolnya, saya kira qurbannya sulit untuk diterimaNya.

Para politisi atau partai politik yang berqurban, meski mungkin memakai retorika ikhlas dan penegasan tanpa pamrih, niatnya jelas untuk mendapatkan simpati dan pujian dari publik (rakyat). Harapannya, simpati dan pujian itu bisa bertransformasi menjadi dukungan pada saat Pileg dan Pilpres 2019 nanti.

Jika niat awalnya untuk mendapatkan simpati dan pujian, maka itulah “pahala” yang akan didapat dari persembahan qurbannya, yakni dibalas berdasarkan apa yang diniatkan. Tapi apakah akan bertransformasi menjadi dukungan nyata dalam pemilu?

Menurut Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah sekaligus Peneliti Senior The Indonesian Institute, Abd. Rahim Ghazali, belum tentu, karena banyak faktor yang mendorong seseorang, atau sekelompok orang, untuk mendukung atau tidak mendukung partai politik.

Masih menurut Ghazali, secara garis besar, ada tiga tahap dukungan politik. Pertama, pengenalan, kedua, rasa simpati, dan yang ketiga, mendukung atau memilih. Artinya, pengenalan dan rasa simpati saja tidak cukup untuk memberi dukungan.

Dengan demikian untuk mengubahnya menjadi dukungan, rasa simpati yang sudah diberikan oleh publik harus terus dipelihara dengan cara berqurban terus menerus setiap tahunnya ditambah pula dengan memberikan infak atau sodaqoh di luar hari raya Idul Adha. Satu hal yang paling penting dari hal yang sudah disebutkan di atas adalah dengan memperjuangkan kepentingan dan berupaya mewujudkan harapan-harapan rakyat.

Segala kemampuan dan cara untuk menarik simpati dan dukungan rakyat dengan cara, salah satunya, berqurban, serta memeberikan bantuan lainnya akan menjadi tak bermakna dan percuma, dalam arti tidak mendapatkan “pahala” dan cenderung tak diterima sebagai nilai kebaikan di hadapan Allah, jika partai politik tersebut abai terhadap keinginan rakyat dan tak mengindahkan aspirasinya.

Dalam berqurban ada syarat yang harus dipenuhi agar ibadah qurban tersebut mendapat pahala serta diterima Allah SWT. Syarat pertama adalah menyangkut soal jasmaniyah (kaitannya dengan fisik). Artinya hewan yang akan diqurbankan harus sehat, terbebas dari segala penyakit hewan, dan dagingnya layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat.

Syarat kedua adalah berkaitan dengan ruhani. Artinya niat awal dalam berqurban semata-mata untuk mendekatkan diri hanya kepada Allah, taka ada niat tambahan, misalnya agar masyarakat yang mendapat bagian daging darinya akan memilih dirinya ketika ia mencalonkan dirimenjadi kepala daerah dan niat-niat sekunder lain yang justru dapat merusak niat awal dari qurban tersebut.

Syarat jasmaniah implikasinya terhadap sah atau tidaknya sebuah ibadah qurban. Hewan  qurban yang sakit, kurus dan berpenyakit tentu tidak sah untuk sebuah ibadah qurban.  Sedangkan syarat ruhaniah kaitannya dengan nilai akhir dari qurban tersebut, apakah qurbannya akan diterima oleh Allah atau tidak. Simpulnya adalah bahwa syarat jasmaniah berkaitan dengan proses, sedangkan syarat ruhaniah berkaitan dengan hasil akhir.

Hal di atas diperkuat oleh firman Allah SWT dalam Al-Quran, Surat Al-Hajj: 37 yang berbunyi : “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”.

Ditambah dengan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Thabrani, bahwaRasulullah pernah bersabda, “Sayangilah siapa saja yang ada di bumi, niscaya kamu akan disayangi oleh yang ada di langit.” Untuk mendapatkan kasih sayang Allah, syaratnya harus menyayangi sesama manusia di muka bumi. Mempersembahkan qurban, jika dilakukan dengan cara dan niat yang benar, karena didorong oleh rasa kasih sayang pada sesama manusia, maka implikasinya menjadi ganda, yakni peningkatan ketakwaan dan sekaligus mendapat dukungan rakyat.

Jika qurban diniatkan semata-mata untuk mendapatkan kasih sayang Allah, maka kasih sayang pada rakyat menjadi syarat utamanya. Dukungan rakyat akan menjadi bonus dari kedekatannya kepada Allah. Bagi partai politik atau kader partai, mungkin ketakwaan itu terlihat abstrak, atau bahkan absurd, karena tidak ada implikasi langsung bagi penerimaan dan peningkatan perolehan suara dalam pemilu. Kalaupun benar ketakwaan itu ada, maka itu sekadar nilai tambah dari qurban yang telah ditunaikannya.

Iip Rifai
Iip Rifai
Penulis Buku "Persoalan Kita Belum Selesai, 2021"| Alumnus : ICAS Paramadina University, SPK VI CRCS UGM Yogyakarta, Pascasarjana UIN SMH Banten, Sekolah Demokrasi Serang 2014.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.