Kemiskinan sering kali dianggap sebagai persoalan ekonomi, tetapi dalam realitasnya, kondisi ini juga membawa dampak psikologis yang mendalam bagi individu yang mengalaminya.
Dalam novel Pabrik karya Putu Wijaya, pembaca diperkenalkan pada sisi psikologis masyarakat kelas bawah yang hidup di bawah penindasan dan eksploitasi kapitalis. Melalui kisah para buruh yang bekerja dalam kondisi tak layak dan diabaikan hak-haknya, Putu Wijaya menggambarkan ketegangan mental serta frustrasi yang dialami tokoh-tokoh yang terperangkap dalam kemiskinan struktural.
Novel ini mengisahkan pabrik yang dikelola oleh Tirtoatmojo, seorang kapitalis yang menjanjikan kesejahteraan kepada para buruhnya hanya untuk mempertahankan kendali. Janji yang tidak pernah ditepati ini menjadi beban mental bagi para buruh yang terus berharap, tetapi justru semakin terjerat dalam penderitaan.
Tokoh seperti Dringgo, yang merasakan ketidakadilan setiap harinya, mengungkapkan ketidakpuasannya hingga pada satu titik ia tak lagi mampu menahan amarahnya.Dalam cerita ini, Putu Wijaya tidak hanya mengkritisi ketidakadilan sosial tetapi juga menunjukkan bagaimana penindasan ekonomi berpengaruh pada stabilitas emosi dan mental seseorang.
Lewat Pabrik, ia menggambarkan dampak psikologis yang dialami masyarakat kelas bawah mulai dari rasa tidak berdaya hingga keputusan nekat yang mengisyaratkan adanya keputusasaan ekstrem. Narasi ini membuka pandangan pembaca tentang kompleksitas kemiskinan, bahwa di balik perjuangan hidup yang keras terdapat luka psikologis mendalam yang sering kali tidak terlihat.Seperti yang sudah disinggung bahwa salah satu tokoh yang menunjukkan dampak psikologis dari penindasan ini adalah Dringgo.
Ia adalah seorang buruh yang telah lama hidup dalam ketidakpastian, bekerja di pabrik yang terus menunda-nunda pemenuhan hak buruh. Dalam kemarahannya yang memuncak, Dringgo menegaskan ketidakpuasannya terhadap janji yang tak pernah ditepati:
“Dengar! Ini sudah melewati batas. Bertahun-tahun kita percaya omongannya, kita dijanjikan perumahan, kita dijanjikan saham, kita dijanjikan jaminan hidup, lihat sekarang! Kita mau dikubur!” (Wijaya, 2005:69).
Kutipan ini mencerminkan akumulasi kemarahan dan rasa frustasi Dringgo yang terus-menerus dipermainkan oleh janji kosong. Situasi seperti ini tidak hanya menjadi masalah ekonomi tetapi juga menggambarkan tekanan psikologis dari ketidakpastian masa depan yang tak kunjung usai.
Dringgo dan buruh lainnya berharap pada janji-janji tersebut untuk membebaskan diri dari jerat kemiskinan, namun justru menjadi korban manipulasi pemilik pabrik.Selain kemarahan yang terbentuk akibat ketidakpastian tersebut, ada juga tekanan psikologis lain yang tercipta dari ketidakberdayaan.
Putu Wijaya menggambarkan bahwa dalam kondisi kemiskinan dan tanpa hak yang jelas, seseorang dapat terdorong melakukan tindakan di luar kendali demi melampiaskan frustrasi. Hal ini terlihat dalam tindakan Dringgo yang pada akhirnya memilih untuk membakar pabrik sebagai wujud perlawanan:
“Terus terang saja aku tidak sabar. Kalau kalian mau terus juga berunding-berunding-berunding, seperti priayi, aku akan bertindak sendiri. Sampai sekarang aku belum punya alasan yang jelas memukulnya, padahal tanganku sudah gatal sekali. Paling tidak kalau aku tidak berhasil, aku bisa bakar pabrik ini” (Wijaya, 2005:20).
Ancaman Dringgo untuk membakar pabrik menggambarkan puncak keputusasaan yang ia alami. Tindakan nekat ini bukan sekadar bentuk protes, tetapi menunjukkan dampak psikologis dari penindasan yang ia alami sehari-hari.
Ketika rasa frustasi dan marah tak tertahankan, Dringgo melihat kekerasan sebagai satu-satunya jalan keluar untuk melawan ketidakadilan yang dialaminya. Dalam novel ini, tindakan kekerasan menjadi simbol tekanan mental yang dipendam terlalu lama.Putu Wijaya juga menampilkan sosok Tirtoatmojo, sang pemilik pabrik, sebagai sosok kapitalis yang manipulatif. Karakter ini dengan dingin menggunakan kekuasaannya untuk mempermainkan para buruh demi keuntungan sendiri, tanpa memperhatikan kesejahteraan mereka. Sikap Tirtoatmojo yang acuh tak acuh memperlihatkan bagaimana tekanan psikologis kemiskinan diperburuk oleh kekuasaan yang tidak berperikemanusiaan. Hal ini tercermin dalam perintahnya:
“Dengar baik-baik,” kata Tirto. “Joni sudah kembali ini waktu. Tapi ikke tidak suka dia injak ini rumah. Dus barang siapa ketemu dia lantas tidak boleh terima baik dia. Paham?” (Wijaya, 2005:12).
Ucapan ini memperlihatkan bahwa Tirtoatmojo tidak segan-segan untuk memperlakukan para buruh dan keluarganya dengan kasar demi mempertahankan kepentingannya. Sosok ini menjadi cerminan dari sistem kapitalis yang sering kali mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan demi menjaga kekuasaan dan keuntungan pribadi.
Sikap tidak peduli dan kejam dari pihak penguasa seperti Tirtoatmojo memperburuk kesehatan mental para buruh, yang hidup dalam ketakutan dan kecemasan akan masa depan mereka.Setelah melihat dampak yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam novel Pabrik, seperti Dringgo, menjadi renungan kita untuk mengatasi kondisi seperti ini dalam kehidupan nyata, diperlukan solusi yang dapat melindungi kesejahteraan psikologis masyarakat kelas bawah.
Salah satunya adalah dengan memperkuat regulasi yang mengutamakan hak-hak pekerja dan memastikan lingkungan kerja yang layak. Pemerintah, pemilik usaha, dan masyarakat luas harus berperan aktif dalam menciptakan kondisi yang lebih adil dan manusiawi bagi kaum buruh.
Selain itu, pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan bisa menjadi cara untuk membantu para pekerja memperluas keterampilan, sehingga mereka memiliki lebih banyak peluang untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Sebagai pembaca dan masyarakat yang peduli, kita juga perlu meningkatkan kesadaran terhadap dampak psikologis yang dapat dialami oleh mereka yang hidup di bawah tekanan ekonomi dan sosial. Dukungan komunitas, seperti konseling atau gerakan sosial, dapat membantu mengurangi beban psikologis yang dialami oleh kaum pekerja yang kerap berada dalam posisi rentan.
Putu Wijaya, seorang sastrawan yang dikenal akan gaya penulisannya yang lugas dan kritis, berhasil membangun cerita dalam novel Pabrik yang kuat dan berkesan. Melalui pendekatan naratif yang intens, ia mengajak pembaca untuk melihat kemiskinan bukan hanya sebagai persoalan ekonomi, tetapi juga sebagai fenomena yang memiliki dampak mendalam pada kehidupan mental seseorang.
Putu Wijaya dengan cermat menghidupkan tokoh-tokoh yang mengalami gejolak batin, sehingga Pabrik menjadi salah satu karya sastra yang membuka mata kita akan pentingnya memperjuangkan hak dan kesejahteraan psikologis masyarakat kelas bawah.Novel ini menjadi pengingat akan tanggung jawab bersama untuk membangun masyarakat yang lebih adil, dengan menghargai kesejahteraan fisik dan mental setiap individu, terutama mereka yang selama ini hidup di bawah bayang-bayang eksploitasi.