Sudah 2 kade lamanya Media Sosial menjadi bagian kehidupan Manusia. Awalnya, media sosial yang ada hanya dapat menyentuh lingkar kecil atau disebut dengan teori “6 derajat keterhubungan” (six degrees of separation). Teori tersebut adalah teori sosial (1967, Stanley Milgram) yang menyatakan bahwa setiap orang di dunia bisa saling terhubung hanya lewat maksimal 6 orang perantara. Contoh kamu kenal si A, Si A kenal si B, Si B kenal si C, Si C kenal si D, si D kenal si E, si E kenal si F, ternyata si F itu orang yang kamu cari. Jadi, meskipun kamu tidak kenal langsung, hanya butuh “jembatan” sekitar 6 orang untuk bisa terhubung ke siapa saja di dunia.
Teori tersebut dipakai oleh Media Sosial seperti SixDegrees.com, Facebook, Twitter, Linkedln dan Istagram. Seiring berjalannya waktu media sosial modern memperluas prinsip ini melalui algoritma. Dari jaringan sosial ke jaringan perilaku. Dulu hanya menampilkan teman dari teman (relasi sosial). Sekarang media sosial membaca jejak digitalmu. Apa yang kamu cari, klik, tonton atau sukai. Algoritma kemudian menghubungkan dengan konten, opini, atau barang yang relevan. Six Degrees fokus awal hubungan antar manusia, Algoritma modern berkembang menjadi hubungan antara manusia, minat, dan perilaku digital.
Baik. Setelah membeberkan asal muasal dari media sosial, tujuan serta perkebangannya. Sekarang saya ingin mengajak pembaca semua masuk kepada pembahasan fakta tentang dampak dari algoritma media sosial, yang dimana orang-orang merasa terhubung satu sama lain jiwanya melalui media sosial. Mereka menjadikan media sosial benar-benar tempat pemenuhan kebutuhan ego mereka. Seperti penghilang rasa kesepian, pembuktian diri, bahkan pembenaran-pembenaran perilaku mereka yang bertentangan dengan norma umum dan hukum Agama. Bahkan perilaku mereka bisa menjadi suatu hal yang bisa mengubah norma hukum universal yang sudah tidak bisa dibantahkan atau disebut norma ini bisa diketahui melaui akal sehat manusia, tanpa harus menunggu peraturan tertulis.
Perasaan terhubung di sosial media tidak berarti menghilangkan perasaan sepi atau kondisi nyata kita. Seseorang bisa begitu aktif di dunia maya tetapi minim interaksi sosial. Minimnya interaksi ini akhirnya mempengaruhi problem solving seseorang. Interaksi minim, orang cenderung terjebak dalam bias kognitif sendiri, sulit menemukan alternatif solusi karena terbatas pada pengalaman pribadinya.
Minim interaksi juga membuat beban mental tidak terbagi, sehingga problem solving bisa terhambat oleh tekanan emosional. Dari sisi pembelajaran, Problem solving berkembang lewat trial and error, observasi, dan meniru strategi orang lain. Minim interaksi, kesempatan belajar strategi baru lebih sedikit. Namun, beberapa orang yang suka refleksi mendalam justru bisa mengasah problem solving secara mandiri, asal mereka tetap terbuka pada sumber lain (misalnya buku, observasi, atau pengalaman).
Fenomena ini menarik perhatian mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY. Mereka melakukan riset berjudul “Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual”
Menurut teori hiperrealitas, representasi digital kerap dianggap lebih ‘nyata’ daripada realitas itu sendiri, sehingga emosi yang dibentuk media dapat memengaruhi kesehatan mental dan hubungan sosial seseorang.
Masyarakat di era digital banyak yang merasa kesepian di tengah hiruk-pikuk bermedia sosial. Gen Z disebut generasi yang paling merasa kesepian, insecure bahkan mengalami kesehatan mental, semua ini bukan sekedar persoalan kurangnya literasi digital dan manajemen penggunaan gawai.
Industri kapitalis telah membuat arus di sosial media menimbulkan dampak buruk, diantaranya sikap asosial. Masyarakat sulit bergaul di dunia nyata. Bahkan, di tengah keluarga pun pola hubungan diantara anggota keluarga terasa jauh.
Sikap asosial dan perasaan kesepian akan berdampak buruk dan merugikan umat. Terlebih bagi generasi muda yang sebenarnya punya potensi besar untuk menghasilkan karya-karya produktif, akan menjadi generasi yang lemah tak berdaya. Kepedulian terhadap persoalan umat juga tak akan mampu dipotret oleh masyarakat yang terjebak dalam kesepian dirinya.
Masyarakat harus menyadari bahwa pengaruh media sosial yang tidak dikelola dengan bijak akan menjadikan banyak orang makin asosial dan merasa kesepian di tengah keramaian. Fenomena ini akan merugikan umat.
Masyarakat harus menjadikan Islam sebagai identitas utama, sehingga tidak terus menerus menjadi korban sistem sekuler liberal.Peran negara penting dalam mengendalikan pemanfaatan dunia digital dan mendorong masyarakat khususnya generasi muda agar tetap produktif dan berkontribusi dalam menyelesaikan problematika umat.
Solusinya adalah Islam Kaffah. Dimana islam sendiri memandang sesuatu tidak berdasarkan kemanfaatan tapi berdasarkan apakah itu sesuai syariat islam atau tidak. Peran Negara (Siyasah Syar’iyyah) dalam pandangan Islam, negara punya tanggung jawab hisbah (pengawasan publik). Negara wajib mengawasi konten yang merusak akidah, akhlak, dan keamanan. Membuat regulasi yang mencegah penyebaran pornografi, perjudian online, provokasi permusuhan, dll. Mendorong platform-platform yang sehat sesuai nilai Islam.