Jumat, Maret 29, 2024

Dalam Pusaran Restitusi Kekerasan Seksual

Annisa Salsabila
Annisa Salsabila
Magister Ilmu Hukum, Universitas Gadjah Mada Konsentrasi penelitian pada Hukum Tata Negara

Akhirnya, menunggu pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) bukan lagi bak menunggu laut kering. UU TPKS hadir layaknya payung pelengkap bagi korban tidak pidana kekerasan seksual sebagai justiciabelen. Meski telah melalui jalanan terjal, UU TPKS masih menyimpan celah dan rasa pesimistis akan efektivitas konsep restitusi bagi korban kekerasan seksual yang telah diatur secara letterlijke dalam UU TPKS sebagai jalan menggeser orientasi dari retributive justice menuju restorative justice.

Dalam tataran konsep, restitusi menjadi hak atas kerugian yang dialami oleh korban tindak pidana dalam bentuk permintaan ganti rugi oleh pelaku tindak pidana kepada korban yang juga diamanatkan secara eksplisit dalam United Nations Declaration on The Prosecution and Assistance of Crime Victims pada butir 4 Part I-General Principles yang menegaskan ganti rugi tersebut digolongkan dalam 4 (empat) bentuk, yakni (1) the return of stolen property, (2) monetary payment for loss, damages, personal injury and psychological trauma, (3) payment for suffering, and (4) service to the victim. Bentuk tersebut kurang lebih sama dengan bentuk restitusi yang diatur dalam Pasal 30 ayat (2) UU TPKS.

Konsep restitusi harus dilaksanakan berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Restitusi diberikan sebagai pengganti atas kerugian yang dialami korban ataupun ahli warisnya baik secara materil maupun immateril. Berbicara mengenai korban kekerasan seksual, tidak hanya menderita kerugian secara ekonomi, namun juga kerugian dari segi fisik, mental, harga diri, hingga label dan stigma negatif di masyarakat yang berujung pada tindakan disosiatif. Bahkan, kerugian secara fisik bisa berpotensi pada berbagai penyakit, salah satunya Infeksi Menular Seksual (IMF) seperti clamidia, herpes, hepatitis, dan HIV.

Tulisan ini diawali dengan rasa pesimistis akan konsep restitusi korban kekerasan seksual bukan tanpa alasan. Jika menilik putusan pengadilan atas kasus Herry Wirawan, predator seksual pemerkosa 13 santriwati, Hakim menjatuhkan putusan restitusi yang dialihkan ke negara dalam hal ini ialah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Memang, jika menilik pada UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, disebutkan bahwa restitusi dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga. Lantas, siapakah yang dimaksud dengan pihak ketiga?

Jika berkaca pada putusan Herry Wirawan, negara seolah diletakkan sebagai pihak ketiga yang dimaksud dengan dalih bahwa negara harus hadir dalam memberikan perlindungan kepada korban tindak pidana. Namun, apakah pengalihan tanggungjawab dari pelaku kepada negara yang jelas tidak berkontribusi pada terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku adalah mekanisme yang tepat? Lantas, akan berapa banyak dana yang digelontorkan oleh negara untuk menutupi pengalihan tanggungjawab ini?

Mekanisme demikian sejatinya tidak dapat dilakukan secara serta-merta. Restitusi yang tidak mampu dibayarkan oleh pelaku karena harta kekayaan yang tidak mencukupi harusnya dapat merujuk pada konsep pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) yang mendasari salah satu bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi meskipun ada yang menumburkannya dengan konsep mens-rea. Pada intinya, vicarious liability menuntut adanya keterhubungan baik berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain dengan tindak pidana yang dilakukan.

Hingga saat ini, vicarious liability merujuk pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain dalam ruang lingkup perkerjaan atau jabatan. Dengan konsep ini setidaknya jika pelaku memiliki hubungan kerja dengan suatu badan hukum, maka badan hukum yang bersangkutan berpotensi memiliki legal standing sebagai pihak ketiga dalam pembayaran beban restitusi, dan tidak lagi melulu menuntut negara yang merogoh kocek.

Terdapat beberapa hal yang kiranya harus diadopsi guna memaksimalkan pembayaran restitusi terutama oleh pelaku tindak pidana. Pertama, konsep vicarious liability dalam hal ini hendaknya tidak hanya ditekankan pada lingkup pekerjaan atau jabatan, namun juga ditekankan pada hubungan darah (orang tua dan anak/keluarga). Hal ini menjadi logis sebab tidak semua pelaku kekerasan seksual bernaung pada suatu badan hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pengganti. Meskipun status quo yang terjadi ialah seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain apabila tidak masuk lingkup pekerjaan atau kewenangannya.

Kedua, pembayaran restitusi oleh pelaku tindak pidana harus memiliki daya paksa. Sebagai bahan pembelajaran, pada salah satu landmark decision restitusi di the Massachusetts Supreme Judicial Court, Commonwealth v. Henry, Hakim menegaskan bahwa dalam hal menentukan besaran restitusi, hakim harus mempertimbangkan dua hal, yakni (1) menentukan jumlah kerugian ekonomi yang dialami korban yang berhubungan dengan tindak pidana oleh pelaku, (2) menentukan jumlah kemampuan pelaku untuk membayar. Dalam hal menentukan kemampuan pelaku untuk membayar, hakim akan mempertimbangkan sumber penghasilan, termasuk pendapatan dan asset bersih pelaku, dan kewajiban pembayaran pelaku termasuk memperhitungkan kebutuhan pokok pelaku. Artinya, menggunakan kacamata pelaku dengan mempertimbangkan ability to pay juga menjadi hal yang perlu diperhatikan agar nilai restitusi menjadi realistis bagi semua pihak.

Menariknya dibeberapa negara, beban pembayaran restitusi dapat dibayarkan dalam jangka waktu tertentu (angsuran) atau langsung dibayarkan penuh pada saat penetapan. Jika terdakwa tidak mampu untuk membayar penuh restitusi, maka bagi terdakwa yang berada pada masa probation (pembebasan dengan syarat tertentu/pembebasan yang diawasi) akan dipertimbangkan untuk memperpanjang masa probation-nya atau bentuk masa pengawasan lainnya hingga restitusi dapat dibayarkan secara penuh. Namun, bagaimana jika pelaku tidak dalam masa probation? Kasus Herry Wirawan, contohnya.

Jawaban atas pertanyaan tersebut terletak pada poin ketiga, pengadilan dapat memerintahkan hak gadai atas properti pelaku, yang berarti mereka dapat menyita rumah, mobil, atau properti lainnya dan menjualnya untuk membayar restitusi sebagai bentuk daya paksa yang dimaksud.

Bahkan, di beberapa negara tertentu, mereka memandang ketidakmampuan terdakwa untuk membayar restitusi adalah bagian dari tindakan contempt of court karena mereka tidak memenuhi ketentuan putusan pengadilan. Terlebih, sebenarnya jika merujuk pada PP Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana tidak dikenal istilah pihak ketiga dalam pembayaran restitusi. Artinya, idealnya sebisa mungkin pembayaran restitusi harus diupayakan oleh korban. Salah satunya melalui mekanisme penyitaan.

Biarkan pelaku kekerasan seksual hidup dengan berfikir keras bagaimana caranya untuk membayar nilai restitusi kepada korban. Justru, melibatkan negara dalam pembayaran restitusi sama saja dengan membentengi pelaku tindak pidana, bukan?

Annisa Salsabila
Annisa Salsabila
Magister Ilmu Hukum, Universitas Gadjah Mada Konsentrasi penelitian pada Hukum Tata Negara
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.