Kondisi sekarang memperlihatkan bagaimana publik telah masuk kepada tahap penggunaan internet sebagai instrumen counter power, melakukan kontestasi kekuasaan atas pemahaman dalam bernegara.
Publik sedang melakukan adu wacana akan gagasan NKRI, yakni persoalan politik yang dikuasai oleh oligarki. Tak terkecuali momen Pilgub tahun 2020 ini akan memperlihatkan dinamika politik yang cukup kompleks. Agenda itu akan menafsirkan perluasan public sphere (ruang publik) ke cyberspace (ruang digital), sehingga apa yang terjadi di internet sebetulnya merupakan kepanjangan tangan dari apa yang sulit terjadi di lapangan.
Khususnya media sosial, perkembangannya akhir-akhir ini telah turut andil dalam menentukan kebijakan, kebijakan yang “terpengaruh” dengan iklim dan tren di media sosial.
Senada dengan teori sistem politik David Easton, disebutkan bahwa kelompok penekan ini sesungguhnya memiliki kedudukan penting dalam mengartikulasi dan mengagregasi kepentingan untuk penguasa (Budiarjo, 1996).
Artinya, mereka yang tergabung dalam komunitas media sosial memiliki posisi tawar yang semakin menguat seiring dengan semakin bertambahnya pengguna media ini.
Pemakaian yang kian masif dan terstruktur menjadikan penggunaan media internet sebagai kekuatan gerakan politik yang tak dapat dipandang sebelah mata. Ruang itu terdapat nilai dan praktik konektifitas, interaktifitas dan anonimitas, sehingga memproduksi asas langsung, komunikatif, bebas dan rahasia.
Mekanisme yang demikian ditambah dengan penggunaan yang positif dan konstruktif menambah kapasitas cyberdemocracy sebagai bentuk demokrasi zaman sekarang yang melaju ke tahap lanjut, dinamika politik akan mendeskripsikan peran penting cyber mendukung penguatan nilai-nilai demokrasi tadi.
Praktik demokrasi digital di Indonesia telah lama diketahui dan dilakukan oleh warganet. Salah satu kasus legendaris penulis contohkan, yakni tahun 2012 seorang perempuan bernama Prita Mulyasari melayangkan protes kepada RS Omnia atas dugaan malpraktik yang dilakukan oleh rumah sakit kepada anaknya. Bukannya meminta maaf, RS Omnia malah menggugat balik Prita dengan dalil pencemaran nama baik.
Sesaat setelah perselisihan antara Prita dengan RS Omnia terunggah ke media sosial, langsung saja warga-net melakukan aksi solidaritas yang dikenal dengan #KoinUntukPrita. Gerakan ini diinisiasi oleh kelompok perempuan melalui Facebook dan pada akhirnya terjadi aksi turun ke jalan. Akhir dari kasus ini yaitu Prita Mulyasari dinyatakan tidak bersalah.
Kasus lainnya, aksi demonstrasi terbesar kedua setelah reformasi 98 di Senayan, yakni tagar #ReformasiDikorupsi, pada September 2019 aliansi mahasiswa meradang akibat regulasi yang akan diterapkan penguasa, bahkan diantaranya sudah ada yang disepakati. Hashtag ini menjadi pemersatu pandangan sebagian besar mahasiswa yang turun kejalan, kondisi ini seolah-olah menjadi stimulus bagi mahasiswa-mahasiswa di tanah air untuk ikut aksi.
Dinamika itu, dapat kita simpulkan bahwa betapa berpengaruhnya suatu hashtag yang ada di media dan disambut dengan dukungan dari berbagai mahasiswa. Alhasil, gerakan ini diikuti oleh kalkulasi massa yang besar, hampir seluruh perwakilan mahasiswa yang ada di kota besar di Indonesia melakukannya.
Kapasitas Cyberdemocracy sebagai kekuatan politik diperkuat oleh sistem informasi dalam jejaring sosial yang disampaikan bersifat apa adanya, tanpa peduli adanya intimidasi dari sistem sensor. Kekuatan internet bersifat multi-akses, artinya informasi yang ada tidak hanya bisa diakses oleh anggota dalam jaringan semata, melainkan bisa diakses oleh siapapun dan dari wilayah manapun.
Kemampuan internet menyimpan data yang besar dan dalam waktu yang lama. Artinya, setiap konten gerakan politik yang di upload ke internet dapat ditemukan dengan mudah melalui search engine dan tetap utuh dalam jangka panjang. Kondisi yang demikian, turut diperkuat dengan internet sebagai medium penyebaran informasi yang cepat. Isu yang sedang hangat saat ini, bisa tersebar dengan cepat di internet melalui konten tulisan di situs jejaring sosial.
Surplus Cyberdemocracy diatas juga diperkuat oleh kebuntuan aspirasi dalam tataran ruang konvensional, tak banyak yang bisa dilakukan publik diruang itu. Selain sebagai penyuara aspirasi, cyberdemocracy pada tataran selanjutnya juga berfungsi sebagai kontrol sosial.
Artinya jika ada kebijakan yang dirasakan merugikan kepentingan publik dan cenderung tidak adil, maka publik akan meresponsnya dengan cepat. Opini publik yang tergalang melalui media sosial juga menjadi amunisi untuk dapat menekan para pembuat kebijakan terkait dengan isu publik tersebut. Karena secara de facto opini yang berasal dari media sosial ternyata sangat diperhitungkan.
Gerakan politik yang terjadi dalam sudut pandang ini, adalah resultan politik dari ketidakpuasan massa yang menginginkan demokrasi yang lebih ideal. Gerakan massa lebih merupakan keniscayaan yang menekankan kebangkitan Indonesia sebagai proses demokratisasi yang terbangun secara alamiah.
Proses itu sekarang diharapkan kepada bentuk cyberdemocracy yang punya surplus dalam nilai dan praktik yang konektifitas, interaktifitas dan anonimitas, sehingga memproduksi asas langsung, komunikatif, bebas dan rahasia.
Cyberdemocracy bukan lagi hanya memampukan seseorang untuk menggunakan hak untuk berpendapat secara bebas, tetapi juga mampu menyuarakan hak asasi manusia dan mendorong kemajuan masyarakat ke arah yang lebih baik dan memiliki peranan untuk memenuhi hak warga atas kebenaran. Kelebihan ini, diharapkan dapat membawa kondisi kita kepada titik yang lebih mapan lagi dalam bernegara demokrasi, tapi dengan catatan surplus tadi digunakan dalam tataran yang positif dan konstruktif bagi bangsa dan negara.