Menjadi PNS diyakini masih menjadi impian banyak orang di Indonesia. Khususnya bagi kelas pekerja. Siapa yang tidak mau mendapat jaminan penghasilan tiap bulan, bahkan dijamin sampai hari tua? Maka tak heran jika banyak orang berlomba-lomba menjadi PNS. Ironisnya, segala cara dilakukan kendati pemerintah mengklaim sistem perekrutan PNS sudah sangat ideal: transparan, terukur, dan profesional, dengan menggunakan sistem Computer Assisted Test (CAT). Benarkah demikian?
Nyatanya, kasus kecurangan seleksi CPNS masih acap terjadi. Pada tahun 2021 sebanyak 359 peserta tes CPNS didiskualifikasi karena terbukti curang: menyuap oknum penyelenggara dan mengakali sistem dengan menggunakan remote access. Pada tahun 2022 juga terjadi di Kolaka Utara yang menyeret pejabat terkait. Bahkan kecurangan juga terjadi pada seleksi CPNS di Kejaksaan RI pada tahun 2023.
Jika ditelisik lebih mendalam standar soal Tes CPNS memang semakin rumit setiap tahunnya. Hal ini mengindikasikan keseriusan pemerintah dalam merekrut pegawai yang berkualitas. Anggapan bahwa mungkin pemerintah baru tersadar bahwa kualitas SDM para pegawai sangat mempengaruhi tata pemerintahan itu sendiri akan sulit untuk ditampik. Logikanya jika sistem CAT baru diimplementasikan tahun 2013. Maka katakanlah, baru satu dekade ini pemerintah memiliki PNS yang teruji wawasan, intelegesia, dan sikap. Bagaimana dengan PNS di era sebelum sistem CAT?
Pada era sebelum sistem CAT, perekrutan PNS diyakini tak serumit seperti sekarang ini. Apalagi pasca kemerdekaan 1945 adanya rekrutmen yang masif untuk mengisi kursi kosong pegawai pemerintah. Siapapun yang pernah mengenyam pendidikan formal dapat dengan mudah menjadi pegawai. Hal ini dirasakan oleh para PNS generasi baby boomer awal (1946-1964).
Lalu di era orde baru sampai dengan tahun 2012 perekrutan PNS dilakukan secara manual dengan metode Tes Tertulis dan Wawancara. Acap kali hanya formalitas. Pesertanya adalah para PNS generasi x (1965-1980) dan generasi milenial awal (1981-1996) yang saat ini masih tersebar di lembaga pemerintah.
Artinya dari total 3 jutaan PNS di Indonesia, para PNS pra-sistem CAT (generasi baby boomer, generasi x dan generasi milenial awal) masih mendominasi dunia birokrasi tanah air. Sebagian besar adalah mereka yang memegang jabatan strategis.
Begitu pun yang terjadi di pemerintahan daerah. Selain bisa kita justifikasi bahwa para PNS pra-sistem CAT— mayoritas pemegang jabatan strategis saat ini—tidak melalui pola perekrutan sekompetitif dari PNS era sistem CAT, budaya kerja di sebagian besar daerah juga tidak sesengit di kota-kota besar. Sehingga menjadikannya perpaduan yang sangat menjengkelkan: pemegang jabatan (baca: atasan) yang tidak kompatibel ditambah budaya kerja yang juga tidak memiliki gairah daya saing. Kalau sudah begini dalih belum meratanya pembangunan yang kerap digaungkan pemerintah akan menjadi satu-satunya pembenaran yang logis dan kompromis.
Atasan yang Menjengkelkan
Beruntunglah mereka yang di waktu muda tidak hanya mengenyam pendidikan formal namun juga merasakan dinamika berorganisasi dan berkegiatan. Atau minimal serius saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) di tengah masyarakat. Sehingga paham betul bahwa tujuan organisasi tidak akan pernah tercapai jika para anggota atau bahkan ketua organisasinya apatis. Hal inilah yang terjadi hampir di seluruh instansi pemerintah daerah. Alih-alih mengedepankan tujuan instansi demi kebermanfaatan di tengah masyarakat, masing-masing pegawai sibuk menjilat, mencari muka, dengan tujuan akhir Asal Bapak Senang (ABS).
Ekosistem persaingan yang diciptakan bukanlah seberapa inovatif atau kreatifnya kinerja kamu sehingga bisa bermanfaat bagi masyarakat. Namun seberapa nurut dan baiknya kamu di mata atasan. Sehingga karier aman minimal sampai bisa naik pangkat selanjutnya. Syukur jika mendapat rekomendasi atasan agar mendapatkan posisi jabatan struktural.
Sehingga PNS yang baru direkrut akan terjebak pada dua pilihan: pertama, melanjutkan ekosistem kerja yang sudah turun temurun tidak berdaya saing cenderung jalan di tempat; kedua, meruntuhkan tembok penghalang itu dengan terus berinovasi namun dengan konsekuensi dibiarkan bekerja seorang diri atau jika sudah kronis akan dimusuhi dan dikucilkan rekan sekantor. Sebab tak seorang pun yang ingin diusik dari zona nyaman apalagi menggangu setiap kepentingan.
Sialnya, alih-alih menjadi pemecah berbagai masalah di level bawah atasan seringkali menggunakan hukum suka tidak suka. Tak jarang secara sepihak atasan justru melakukan—atau membuat rekomendasi—mutasi kepada PNS yang dianggap membangkang. “Dibuang” entah kemana.
Budaya Kerja yang Menjengkelkan
Budaya kerja di sini sama sekali tidak bertautan dengan budaya daerah nan luhur. Budaya kerja yang dimaksud adalah menyoal mindset, mentalitas, dan karakter dari para abdi negara di pemerintah daerah. Bagaimana PNS di daerah memiliki “privilege” yang tidak dimiliki oleh mereka di kota-kota besar: jauh dari kemacetan, tidak kritisnya pengawasan dari media dan masyarakat, longgarnya daya saing, menyebabkan kinerja yang cenderung asal.
Banyak PNS di daerah yang rumahnya berdekatan dengan kantor. Sehingga waktu istirahat diartikan sebagai waktu pulang ke rumah. Semakin nahas karena biasanya mereka akan datang lagi ke kantor mendekati atau bahkan tepat di saat jam pulang sekadar untuk absen. PNS di daerah yang lebih lalim dari itu pun melimpah: datang pagi untuk absen, ngopi, lalu menghilang dan kembali lagi ke kantor untuk absen pulang. Seakan-akan gaji sebagai PNS hanya dijadikan passive income. Datang, diam, duduk, duit.
Sementara dari kacamata kompetensi banyak PNS di daerah yang gagap teknologi. Para oknum tersebut lagi-lagi marak dari hasil pola perekrutaan sebelum sistem CAT. Tak sedikit pula yang berasal dari pengangkatan jalur tenaga honorer yang hanya bermodal lamanya masa kerja, tanpa keahlian, namun titipan orang dalam. Ekosistem kinerja di pemerintahan daerah yang absurd pun semakin paripurna.
Ada juga varian PNS di daerah yang hanya bekerja jika mendapatkan honorarium kegiatan, atau uang jalan. Pekerjaan lain akan terasa sangat berat. Sehingga adagium “Jika bisa besok, kenapa harus sekarang?” atau “Jika bisa dikerjakan oleh yang lain, kenapa harus saya?” bahkan “Jika bisa dipersulit, kenapa dipermudah?” akan terdengar sangat rasional.
Budaya kerja seperti itu masih akan ditemui oleh para PNS rekrutan terbaru, bahkan di tahun 2024 ini. Jangan harap idealisme liar PNS “anak baru” yang bertekad membawa perubahan dan pembaruan di dunia birokrasi akan berjalan dengan ampuh. Sebelum ada kesadaran kolektif khususnya bagi PNS di daerah yang merasa paling senior dan merasa paling benar.