Kamis, Maret 28, 2024

Corona, Tragedi ‘Operasi Psikologis’ Kedua Era Industri

Raylis Sumitra
Raylis Sumitra
Presedium PENA 98 (Perhimpunan Nasional Aktivitis 98) Jawa Timur Mantan Jurnalis pengemar kopi

Ya, efek yang paling menjangkiti masyarakat dunia dari fenomena Virus Corona (Covid-19) adalah ketakutan. Tentu saja kita tidak akan menaifkan fakta medis dari virus corona yang sebarnya sudah menjadi pendemik global. Virus yang epicentrum awalnya di Provinsi Hubei, Cina ini. Berdasarkan data dari WHO. Hingga pekan lalu, mencatat jumlah yang terinveksi 395.657 jita dan meninggal dunia 14.241. Jumlah ini bakal terus bertambah.

Upaya pakar medis pun. Hingga saat ini masih melakukan penelitian. Bagaimana menaklukan virus corona. Sehingga tidak menyebabkan kematian bagi mereka yang ter-infeksi. Semoga, segera ditemukan vaksin untuk menjega masuknya ketubuh manusia. Dan, segera ditemukan obat yang mampu menekan akan kematian akibat terjangkit Covid-19 itu.

Nah, hanya sebatas itu seharusnya nitizen menyikapi sebaran pendemik Corona. Namun apa faktanya? Beranda media sosial penuh sesak dengan postingan berkait virus corona. Media sosial memantik nitizen menjadi pakar medis dadakan. Apapun aktivitiasnya selalu dikaitkan dengan Corona.

Perilaku ber-medsos inilah menciptakaan ruang publik sosial yang dibentuk dari ‘logika algoritma’ media sosial. Dimana algoritma medsos, akan dihitung secara kwantitatif. Maka, semakin banyak postingan yang minim literasi tentang virus corona. Akan mengkosntruksi ruang publik medsos dengan kecemasaan dan ketakutan.

“Menakutkan” begitulah reaksi _Christhoper Wylie_ seorang ilmuwan data asal Canada. Wylie, ilmuwan data yang di tahun 2012 lalu berusia 24 tahun, baru saja memperoleh gelar doktor di bidang fashion forecasting. Ia punya satu ide brilian: memadukan data untuk menggali lebih dalam aspek psikologi seseorang, yang kelak dapat digunakan untuk memprediksi pilihan politik mereka.

Dengan begitu, pikir Wylie, ia bisa menjejali mereka dengan iklan-iklan kampanye politik yang “sesuai” dengan karakter psikologi. Wyle pun kecewa berat ketika idenya disalah gunakan untuk kepentingan politik.

Skandal besar pencurian data penguna facebook yang dikenal dengan Cembridge Analytica. Yang dijadikan alat kampanye kemenangan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan kelompok pro-Brexit (kelompok yang mendukung Inggris keluar dari Uni-eropa)

Cambridge Analytica sendiri, oleh Christopher Wylie, disebut punya keinginan dalam hal “operasi psikologi”. Metode ini dilakukan dengan mengubah pemikiran seseorang bukan lewat persuasi, tapi lewat “dominasi informasi” yang meliputi seperangkat teknik-teknik tertentu seperti rumor, disinformasi, dan berita palsu. Dari penjelasan Wylie ini kita bisa menemukan titik terang tentang apa sesungguhnya yang ia sebut sebagai psychological warfare tool.

“Operasi Psikologi ” Kedua 

Ketakutaan Wylie pun terbukti. Dunia Politik jagat raya lima tahun ini, mengalami penurunan kwalitas. Tidak terkecuali dengan politik di tanah air. Ditandaidengan Pilkada DKI. Bagaiamana dalam Pilkada DKI, perang informasi di-media sosial tidak dapat dikendalikan. Efeknya pemilih tidak lagi mengedapankan rasionalitas.

Artikulasi politik hanya berdasarkan identitas personal. Ini efek dari perilaku individu dalam ber-medsos. Mereka dengan liar menerima derasnya informasi dari medsos. Tidak ada lagi batasan informasi, yang ada emosi personal dalam menerima dan menyebarkan infomasi ke media sosial.

Dalam case covid-19, tidak menutup kemungkinan ada ‘operasi psikologi’ seperti yang ketakutan Wylie. Tentang siapa yang ‘bermain’? Sampai disini, perlu ada penegasaan kembali tentang tulisan yang saat ini sedang khalayak baca. Maksud tulisan ini, bukan menambah dosis ketakutan dan kepanikan pembaca.

Namun, sekedar men-diskripsi-kan analisa fenomena ketakutan corona yang telah merubah semua tata kelola sistem sosial. Bagi penulis, sistem sosial adalah subtansi dasar manusia dalam bersosial. Sementara Virus corona adalah sub-subtansi saja.

Dalam Dunia Intelejen ada Hal sederhana yang menjadi Acuan Pola Pikir Kaum Intelejen,setiap ada fenomena maka pasti yang timbul pertanyaan para Analisis Intelejen adalah “Who Is Benefiting” atau siapa yang mendapatkan Manfaat dari sebuah Peristiwa, begitu tau siapa yang paling bermanfaat, Dialah pemainya, atau dialah yang memainkan, atau dialah yang memiliki Skenario.

Dengan kacamata tersebut, kita mulai membuka silogisme logika kita. Bahwa, ketakutan yang terbentuk dalam ruang publik sosial hari ini. Hadir bukan tidak sendiri. Ketakutan tersebut diproduksi untuk motif tertentu.

Siapa yang ‘bermain’? 

Dari penjelasan Wylie ini kita bisa menemukan titik terang tentang apa sesungguhnya yang ia sebut sebagai psychological warfare tool. Digitalisasi dalam era industri 4.0 tersebut, tentu saja merubah cara berinteraksi di masyarakat. Terutama dalam kebutuhan informasi. Informasi tersaji secara virtual.

Tanpa batas dan ruang waktu tidak lagi menjadi kendala. Individu bisa mengetahui dengan cepat apa yang terjadi di pelosok papua tanpa halangan. Dalam waktu yang sama, individu bisa mengakses informasi tersebut, secara langsung dari Surabaya ataupun Jakarta. Tanpa jedah dan tanpa filter.

Terpaan informasi langsung menghujam kedalam kognisi individu. Sehingga individu dengan bebas memaknai isi informasi tersebut sesuai dengan referensi yang dimiliki. Padahal batas persepsi informasi hanya pada tingkat sejauh mana referensi individu. Apabila minim referensi, maka persepsi terhadap informasi tersebut tidak mampu dikontruksi dengan baik. Tidak ada filter.

Digitalisasi juga melahirkan media sosial. Yang dijadikan alat representasi sosial seorang individu. Inilah awal muasal terjadi kekacaun informasi. Satu sisi individu memiliki keterbatasan referensi. Satu sisi informasi itu membanjiri beranda akun media sosial setiap individu.

Maka yang jadi ukuran seberapa deras informasi itu beredar di media sosial. Faktualitas informasi diukur dengan viral atau tidak viral di media sosial. Berbeda dengan era industri media massa. Media massa menjadi alat filter informasi yang ada. Ukuran individu memaknai informasi tergantung sejauh mana pesan beredar di media massa. Apabils viral di medsos, maka informasi itu benar adanya. Sebaliknya, bila tidak viral maka informasi itu tidak layak untuk dijadikam representasi.

Medsos juga merubah tata kontruksi individu dalam berinteraksi sosial. Media sosial jadi ukuran sebuah eksistensi individu. Kopetensi tidak lagi dinilai dengan kapasitas formal. Misalnya, kepakaran, profesi, jabatan atau keahlian. Dalam medsos ukuran pengaruh adalah sejauh mana jumlah followernya. Dan sejauh mana intensitas individu berinteraksi di medsos.

Perubahaan perilaku sosial ini telah dibaca oleh beberapa pihak. Memainkan isu virus corona untuk sebuah motif tertentu. Sehingga efek virus corona. Keluar dari domainnya sebagai virus yang erat kaitan dengan disiplin ilmu medis. Virus corona jadi pendemik ketakutan publik. Yang syarat atas motif, politik, ekonomi, pertahanaan bahkan motif agama.

Covid-19, telah menjadi tragedi ‘operasi psycologi’ kedua efek industrilisasi 4.0. Setelah operasi psycologi pertama dalam bidang politik. Yang dibongkar sendiri oleh Wylie, sang empu penemu metode ini. Biarkan waktu yang akan membongkar siapa yang bermain dalam Virus Corona ini.

Raylis Sumitra
Raylis Sumitra
Presedium PENA 98 (Perhimpunan Nasional Aktivitis 98) Jawa Timur Mantan Jurnalis pengemar kopi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.