Dibelahan negara manapun di dunia, era keemasan militer dalam ranah politik sipil sudah berakhir sejak 30 tahun lalu. Trah militer yang mengincar jabatan presiden tak ubahnya seperti makanan yang sudah basi. Di Indonesia, saya menilai trah mantan militer yang sedang bersaing dengan kekuatan sipil (Prabowo dan Jokowi ) untuk merebut kekuasaan politik sungguh sangat tidak popular.
Trah militer ‘bermain’ politik di negeri garuda ini telah berakhir sejak Jenderal Besar Soeharto lengser. Namun, mantan militer kembali tampil meraih kekuasaan politik melalui Jenderal Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama kurun waktu dua periode (10 tahun). Kontestasi politik antara civil power dengan military power di tahun 2019 ini kembali muncul. Prabowo Subianto sebagai capres 02 mencoba merajut kembali estafet trah mantan militer berpolitik yang sebenarnya sudah tamat usai kepemimpinan SBY.
Sepanjang yang saya ketahui, keberadaan militer (aktif maupun mantan) dalam kancah politik sipil tidak selalu memberikan hasil yang menggembirakan bagi rakyat. Ketika sebuah negara dipimpin oleh seorang presiden militer (aktif maupun mantan), kemunduran sistem demokrasi telah terjadi di sejumlah negara di kawasan Eropa. Hal ini terjadi karena sebagian besar presiden yang berasal dari trah militer, acapkali mengintervensi kepentingan sipil dengan budaya ‘komando’. Padahal, seorang presiden merupakan pemegang mandat rakyat, maka semua kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya dan iptek haruslah berpedoman pada budaya kolektif sipil.
Beberapa negara di dunia yang presidennya berasal dari trah militer seringkali mengalami krisis politik dalam dua kutub kepentingan, yaitu kepentingan kerakyatan dan kepentingan militer. Pada umumnya, kepemimpinan militer lebih mendominasi sehingga melahirkan otoriterisme.
Pakar militer Internasional Samuel Finer dalam bukunya The Man on Horseback: The Role of the Military in Politics (Pall Mall Press, London 1962) mengatakan, dalam militer ada budaya otokratik dan loyalitas total. Militer memiliki organisasi yang sangat kokoh akibatnya militer dapat dengan mudah melakukan intervensi terhadap berbagai kepentingan rakyat melalui sistem budaya ‘komando’. Contohnya ialah melakukan intimidasi terhadap otoritas sipil, menolak koperatif dengan kebutuhan dan kepentingan sipil sampai melakukan kekerasan terhadap gerakan atau aktivitas sipil.
Momentum Telah Berlalu
Capres 02 Prabowo Subianto harus ikhlas bila trah mantan militer berpolitik ditolak rakyat. Toh, faktanya pendukung Prabowo secara perlahan tetapi pasti sudah pasrah karena pendukung capres 01 (sipil) jumlahnya lebih besar dan signifikan. Bukan itu saja, sedikitnya tujuh lembaga survei independen yang dalam waktu relatif bersamaan melakukan survei, ternyata hasilnya elektabilitas capres 01 masih tetap unggul antara 18 sampai 20 persen di atas capres 02.
Saya percaya, capres 02 punya bakat dan kemampuan menjadi presiden seperti Soeharto dan SBY (dari trah militer). Namun, tahun ini bukanlah momentum yang tepat bagi capres 02. Barangkali hanya mukjizat Tuhan yang bisa mengangkat capres 02 jadi presiden di tahun 2019 ini. Momentum capres 02 jadi presiden seharusnya terjadi di tahun 2014 lalu. Sayangnya momen itu telah berlalu.
Keberadaan Civil Society
Bagi saya, jadi presiden atau tidak capres 02 sudah menunjukkan sosoknya sebagai salah satu pemimpin nasional yang memiliki banyak penggemar di Indonesia. Dari sejumlah tokoh militer yang saya tahu, umumnya beberapa figur militer aktif maupun yang sudah mantan memiliki perhatian besar terhadap berbagai persoalan bangsa. Tapi, seiring zaman yang terus berkembang, keberadaan civil society dan civil power semakin kuat dalam dinamika kehidupan politik.
Bila militer (aktif atau mantan) gagal berpolitik dalam kancah politik sipil kemudian kembali ke ‘barak’, itu merupakan hal yang wajar dan lumrah-lumrah saja. Lebih baik tampuk kekuasaan politik dikelola oleh sosok sipil yang cerdas dan mendapat dukungan penuh dari rakyat. Tugas penting militer adalah menjaga dan mempertahankan Indonesia dari serangan musuh, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Hal yang sama juga perlu dilakukan oleh ASN dan Polri. Mereka terikat sumpah jabatan untuk netral berpolitik dan terus menjalankan fungsinya melayani publik. Militer, ASN dan Polri wajib menjaga dinamika politik yang sedang berkembang di masyarakat agar tetap adem-ayem sehingga kenyamanan, keamanan dan kedamaian sosial terus terjaga.
Jadi, bila ada segelintir oknum ASN, militer dan Polri yang berpura-pura netral dalam berpolitik, tetapi secara sembunyi-sembunyi mendukung salah satu capres (capres 01 atau capres 02) saya tertawa geli. Ada sesuatu yang sangat ‘lucu’, kenapa? Karena mereka berteriak netral, tapi sesungguhnya tidak netral. Yang lebih memprihatinkan lagi ialah mereka menunjukkan ketidaknetralannya dengan sikap dan perilaku emosional.
Sikap dan perilaku emosional dari sejumlah oknum ASN, militer dan polri yang tidak netral, bagi saya biasa-biasa saja dan saya meresponnya dengan nyantai aja. Dalam tulisan singkat ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa sebaiknya seluruh ASN, militer dan polisi (aktif maupun mantan) berkewajiban menjaga harmoni sosial, berpikir positif dan sportif, berjiwa besar dan berlapang dada untuk mengawal siapapun yang akan menjadi presiden di negeri garuda ini. Salam seruput kopi tubruknya bro…