Child-grooming dapat dikatakan sebagai bentuk kekerasan seksual yang umum terjadi namun tidak disadari. Ini umum terjadi karena pelaku memanipulasi tak hanya korban namun juga orang dewasa di sekitar korbannya untuk medapatkan kepercayaan.
Korban sering tidak menyadarinya karena grooming tidak selalu soal aktivitas seksual, grooming bisa juga dilakukan untuk mendapatkan aspek relasional seperti hubungan asmara, tergantung pada motivasi pelaku. Child-grooming dapat dilihat dari perilaku atau tindakan orang dewasa yang menjalin hubungan sexual maupun hubungan romantis atau asmara dengan anak di bawah umur.
Hal yang mengerikan adalah pelaku bisa berasal dari manapun, bahkan keluarga korban itu sendiri. Sudah disepakati bahwa grooming adalah tindak kejahatan karena dapat mengarah kepada eksploitasi, prostitusi, perdagangan seks, maupun produksi pornografi terhadap anak.
Pelaku atau yang dapat disebut groomer mulanya akan melakukan seleksi terhadap korbannya mempertimbangkan karakter korbannya seperti fisik dan emosional. Groomer kemudian akan mulai menyelidiki latar belakang korbannya untuk menentukan langkah apa yang dapat ia lakukan selanjutnya.
Dalam proses selanjutnya, grooming diawali dengan pendekatan fisik saat berinteraksi dengan korban. Pelaku memanfaatkan ketidak pekaan anak terhadap sentuhan dengan cara mulai melakukan sentuhan non-seksual seperti menggelitik atau membelai kepala si anak.
Selanjutnya pelaku melakukan grooming psikologis dengan membenarkan perilaku seksual grooming dengan memberikan edukasi versinya bahwa hubungan seks maupun romantis antara anak-anak dan orang dewasa adalah suatu yang wajar. Percakapan yang terjadi semakin mengarah pada hal yang berbau seksual maupun romantis.
Korban dapat merasa bingung dengan manipulasi yang terjadi, karena pelaku melakukan pendekatan yang terlihat positif mengenai hubungan tidak wajar antara anak dan orang dewasa. Si anak kemungkinan tidak menyadari bahwa hal yang telah dibicarakan pelaku adalah sesuatu yang tidak pantas untuk terjadi.
Bukan hanya kepada anak, pelaku juga melakukan pendekatan terhadap orang dewasa di sekitar korban, dengan menciptakan kondisi-kondisi bahwa ia adalah orang yang dapat dipercaya untuk merawat si anak.
Kepercayaan yang telah terbangun nantinya akan membuat pelaku merasa nyaman untuk melanggar batasan antara anak dan orang dewasa. Grooming psikologis juga ditunjukkan untuk meningkatkan kepatuhan dan menghindari adanya pengungkapan oleh si anak. Salah satu cara untuk melakukan hal ini adalah dengan mengisolasi anak dan mengasingkan mereka dari orang lain.
Mengisolasi anak akan menciptakan kondisi yang menghalangi anak untuk memiliki orang kepercayaan yang bisa diajak dalam mengungkapkan pendapatnya. Anak juga seringkali sangat pandai menyimpan rahasia bila diminta. Terlebih lagi manipulasi yang dilakukan telah membuat si anak merasa perlu melindungi rahasianya dengan pelaku, karena pelaku adalah satu-satunya yang bisa ia percaya.
Selain kepercayaan, groomer juga melakukan strategi ancaman dan hadiah sebagai cara memanfaatkan kerentanan psikologis anak.
Terkadang manipulasi yang selama ini terjadi mengakibatkan rasa bersalah pada diri korban, karena pelaku selama prosesnya membuat korban berpikir bahwa hal buruk yang selama ini dialami korban adalah kesalahannya sendiri yang tidak mampu menahan atau menjaga diri.
Tentunya pengalaman setiap korban dapat berbeda-beda, karena pelaku seringkali mengadaptasikan strateginya bergantung pada karakter anak, respon korbannya selama proses grooming merupakan hal yang penting. Pelaku memerlukan tingkat “empati” tertentu selama proses grooming untuk mengenali karakter dan reaksi anak.
Empati yang dilakukan melibatkan pengenalan emosi, pengambilan perspektif, replikasi emosi, dan pengambilan keputusan berdasarkan reaksi korban. Pelaku biasaya menyadari bahwa korban mengalami kesusahan namun memilih mengabaikannya untuk membenarkan diri mereka dari penilaian negatif, ini semakin memungkinkan mereka untuk terus melakukan kekerasan fisik dan psikis terhadap anak.