Kita baru saja kehilangan Sapardi. Namun, kita juga memperingati hari lahir Chairil Anwar setiap tanggal 26 Juli. Ada yang datang dan pergi. Juli adalah bulan puisi.
Selama hidupnya, Chairil menyumbang corak baru dalam penulisan puisi dalam hal bentuk dan isi. Chairil berani keluar jalur dari tatanan sajak Pujangga Baru yang formal, lalu membuatnya menjadi lebih maju, bebas, dan modern.
Setiap tahun Chairil terus diburu, dibicarakan, dan dirayakan. Mengapa Chairil begitu fenomenal? Ada banyak faktor yang melatarbelakanginya. Salah satunya adalah peran dan pengaruh yang sangat besar dari Sutan Sjahrir.
Sjahrir dan Sastra Dunia
Saat masih tinggal di Medan, Chairil belum membaca karya-karya penyair Eropa. Menurut penelusuran Damiri Mahmud (2014), Chairil baru membacanya ketika tinggal di rumah Sjahrir dan melahap semua buku di perpustakaan pribadinya yang punya banyak koleksi buku sastra Belanda dan penyair Eropa lainnya seperti Marsman, Slauerhoff, E. du Perron, dan lainnya. Sjahrir menjadi pintu masuk Chairil bisa bergaul ke sastra dunia.
Sebagaimana dikisahkan Des Alwi (2008) dan Abu Bakar Loebis (1992), Chairil sangat suka membaca di depan lemari buku Sjahrir hingga berjam-jam lamanya atau sambil menunggu makan siang. Chairil memang seorang pembaca yang rakus.
Chairil beruntung pernah tinggal di rumah Sjahrir. Karena, selain pejuang dan pemikir, Sjahrir merupakan peminat sastra. Sjahrir bisa menjadi sparring partner Chairil dalam masalah kebudayaan dan sastra. Sjahrir punya pengetahuan yang luas tentang sastra Belanda dan Eropa. Sjahrir juga turut menyumbang pemikirannya tentang sastra dalam beberapa tulisannya yang terbit di majalah Pujangga Baru tahun 1933-1938. Dalam beberapa tulisannya itu, Sjahrir mengajak para sastrawan bergaul dengan karya pujangga besar dunia.
Selain itu, Sjahrir juga menegaskan bahwa sastrawan harus mempelajari kehidupan rakyat seluas-luasnya dan mengenal secara dekat. Hal ini sangat memengaruhi Chairil yang kemudian hidup di antara dua batas pergaulan: kaum intelektual dan rakyat jelata. Pergaulannya memang tanpa sekat dan batas. Misalnya, Chairil bersahabat dengan tokoh-tokoh bangsa, komponis, sastrawan, dan pelukis ternama. Chairil suka mampir ke sanggar para seniman, walaupun hanya sekadar menumpang makan, meminjam uang, atau mendeklamasikan sajak-sajaknya.
Tidak hanya bergaul dengan kalangan intelektual, Chairil sering juga suka bergaul dengan tukang becak, tukang loak, ikut tidur di kaki lima dengan para pengemis, bersenda gurau dengan mbok-mbok di gubuk, dan keluar masuk tempat lokalisasi bertemu pelacur Pasar Senen atau Pasar Kembang di Yogyakarta. Hal ini dilakukannya hanya untuk mengambil bahan, bahasa, dan inspirasi dalam menulis sajak yang bersumber dari kehidupan rakyat lapisan bawah.
Modal Sosial dan Intelektual
Di luar lapangan kesusastraan, Sjahrir secara langsung dan tidak langsung memengaruhi Chairil dalam aktivitas politik, filsafat, dan kebangsaan. Chairil sangat beruntung ketika hijrah dari Medan ke Batavia tahun 1941, langsung menumpang di tempat Sjahrir. Saat itu, Sjahrir sebagai tokoh politik sudah mempunyai modal sosial dan intelektual yang baik.
Modal sosialnya yaitu jaringan aktivis politik, sastrawan, pemuda pergerakan, dan lainnya. Banyak sekali tokoh-tokoh yang datang ke tempat Sjahrir hanya untuk diskusi. Melalui forum diskusi inilah terkadang Chairil dikenalkan oleh Sjahrir. Sedangkan, modal intelektual adalah pengetahuan Sjahrir dalam hal filsafat dan politik yang sangat luas.
Sjahrir, seperti halnya Chairil, juga seorang kutu buku. Sjahrir pengagum filsafat Nietzsche, eksistensialisme, dan Barat. Chairil senang mempunyai lawan debat dalam masalah filsafat. Sjahrir merupakan mentor pertamanya dalam filsafat sebelum penyair L.K Bohang.
Dalam sepucuk suratnya kepada istrinya tanggal 17 Maret 1936, Sjahrir menulis: “Nietszche itu kebudayaan. Nietszche itu seni. Nietszche itu jenius.” Selain itu, dalam suratnya tanggal 31 Desember 1936, Sjahrir mempunyai pikiran tentang konsep Barat: “Barat bagiku berarti kehidupan yang menggelora, kehidupan yang mendesak maju, kehidupan dinamis. Itulah sifat Faust, sifat yang kusukai.” Jika kita melacak beberapa sajak, prosa, dan pemikiran Chairil kental sekali pengaruh Nietzsche, eksistensialisme, dan Barat. Dalam hal ini, ada kemiripan corak pemikiran antara Chairil dan Sjahrir: kebebasan individu.
Chairil beruntung mendapatkan akses sosial dan intelektual dari Sjahrir. Chairil bisa dengan mudah diterima oleh jaringan Sjahrir. Chairil jadi mempunyai banyak teman dari berbagai kalangan. Hal ini kemudian yang menyebabkan Chairil aktif berjejaring dengan pemuda-pemuda kemerdekaan di markas pemuda Menteng 31, Prapatan 10, dan Cikini 71.
Jejak-Jejak Chairil
Di zaman pendudukan Jepang, Jepang melakukan penyegelan radio. Hal ini bertujuan untuk alat propaganda dan kontrol politik. Semua siaran radio luar negeri diputus, kecuali radio Jepang yang ada di bawah pengawasan Nippon Hoso Kyokai. Jika ada yang ketahuan mendengarkan radio luar negeri, hukumannya bisa dibunuh Kempetai.
Sjahrir mempunyai radio gelap bermerek Philips yang tidak disegel dan disembunyikan dalam lemari di kamar tidurnya. Sjahrir mendapatkan radio gelap itu dari Chairil. Chairil mendapatkan radio tersebut dari perempuan Indo-Belanda seharga 125 gulden yang sedang kesulitan ekonomi. Sebelum tahun 1945, Chairil dan Des Alwi memang pernah dimodali Sjahrir untuk usaha jual beli barang bekas. Salah satu yang dibeli adalah radio tersebut dan digunakan Sjahrir untuk kegiatan memantau siaran BBC London atau VOA (Voice of America).
Pada tanggal 10 Agustus 1945, dari radio yang diberikan Chairil, Sjahrir mendapat berita penting: “Amerika Serikat telah menjatuhkan bom atom kedua di Nagasaki dan pemerintah Jepang mendapat ultimatum Sekutu agar menyerah saja sebab kalau tidak akan dibom atom lagi”.
Sjahrir meminta Chairil untuk menginformasikan berita ini kepada kalangan pemuda pergerakan, seniman pro kemerdekaan, dan lainnya. Dalam kisah di buku Soebadio Sastrosatomo (1995), Chairil datang pukul 10.00 WIB ke Komite Bahasa Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur No 23. Chairil menemui Soebadio untuk menyampaikan pesan ini. Soebadio lalu meneruskan pesan ini kepada simpul-simpul pemuda pergerakan lainnya yang berujung kepada peristiwa Rengasdengklok dan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Chairil terbukti mengambil peran dalam upaya kemerdekaan Indonesia. Tanpa peran Chairil, kemungkinan peristiwa Rengasdengklok dan pembacaan proklamasi kemerdekaan tidak akan terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Ada beberapa jejak-jejak Chairil di balik kemerdekaan Indonesia. Sekarang kita tahu, Chairil tidak hanya penyair, tapi juga pejuang.
Kini, di hari ulang tahunnya, Chairil ada baiknya kita posisikan bukan sebagai mitos tentang kejalangan, tapi sebagai ide. Chairil sebagai ide. Ide tentang kebebasan, pikiran maju, keberanian, ketekunan, dan kreativitas.
Selain itu, kita juga harus selalu ingat dibalik “kebesaran” Chairil, jangan pernah melupakan sosok Sjahrir.