Kamis, Maret 28, 2024

Centang Perenang Kasus Perceraian

Fareh Hariyanto
Fareh Hariyanto
Sedang menempuh Kanuragan di Jurusan Ahwalusasyiah Institut Agama Islam (IAI) Ibrahimy Genteng Banyuwangi

Beberapa waktu lalu Radar Banyuwangi sempat menurunkan beberapa tulisan ikhwal angka perceraian di Banyuwangi tahun 2019. Mulai tulisan berjudul “Setahun Ada 6.587 Duda dan Janda Baru” yang menyajikan data dari Pengadilan Agama Banyuwangi selama 2019 mencatat 2.087 cerai talak dan 4.500 cerai gugat.

Selang tiga hari kemudian tulisan indept news berjudul “Dari Urusan Nafkah Hingga Kurang Amanah Ayomi Keluarga” semakin membuka mata pembaca jika ancaman perceraian nyata adanya dengan beragam problemantika yang mengikuti didalamnya.

Bahkan keterangan yang disajikan berdasarkan data wawancara salah satu pengacara yang sering menangani perceraian mengungkapkan jika faktor ekonomi menjadi salah satu amsal yang melatar belakangi tingginya angka perceraian di Banyuwangi.

Idealnya memang kehidupan berumah tangga, baik suami, isteri, dan anak-anak dituntut untuk menciptakan kondisi keluarga yang harmonis. Guna menciptakan kondisi demikian, tidak hanya berada di pundak isteri atau suami semata, tetapi secara bersama-sama berkesinambungan membangun dan mempertahankan keutuhan pernikahan.

Mengingat pernikahan dalam Islam tidak semata-mata sebagai kontrak keperdataan biasa, tetapi memiliki nilai personal dan ibadah yang jauh lebih mendalam. Oleh karenanya untuk menjaga kelanggengan sebuah pernikahan, setiap pasangan berkewajiban memelihara hubungan keduanya.

Perspektif Fiqh

Tulisan ini akan lebih fokus membahas perceraian dalam perspektif fiqh munakahat. Secara bahasa dan teks dalam nash, perceraian yang bermakna talak berawal dari kata tha-la-ka dengan maksud ithlak. Artinya lepasnya suatu ikatan perkawinan dan berakhirnya hubungan perkawinan (Tihami dan Sahrani, 2009: 229).

Menurut hukum Islam, perkawinan itu dapat putus karena beberapa sebab, antara lain karena adanya talak dari suami, karena adanya putusan hakim, dan karena putus dengan sendirinya seperti kematian. Adapun yang menyebabkan putusnya perkawinan sebagaimana disebutkan diatas dapat terjadi dalam dalam kondisi.

Pertama, putusnya perkawinan akibat Khulu’ merupakan salah satu bentuk perceraian dalam Islam yang berarti menghilangkan atau mengurungkan akad nikah dengan kesediaan isteri membayar uang ‘iwadhatau uang pengganti kepada suami dengan menggunakan pernyataan cerai atau khulu’. Bila terjadi cerai dengan cara khulu’ maka suami tidak memiliki hak untuk rujuk kepada isterinya. Dari tinjauan sighat, khulu’ mengandung pengertian “penggantungan” dan ganti rugi oleh pihak isteri. (Dasrizal Dahlan, 2003: 201)

Kedua, Fasakh, perceraian dalam bentuk ini termasuk perceraian dalam proses peradilan. Hakimlah yang memberikan keputusan tentang berlangsungnya perkawinan, atau terjadinya perceraian karena itu pihak penggugat dalam perkara fasakh haruslah mempunyai alat-alat bukti yng lengkap, sehingga dengan alat bukti tersebut dapat menimbulkan keyakinan bagi hakim yang menyidangkan perkara tersebut.

Ketiga, Li’an. Putusnya perkawinan ini secara terminologi terjadi akibat sumpah yang diucapkan oleh suami ketika menuduh isterinya berzina dengan empat kali sumpah dan menyatakan bahwa dia adalah termasuk orang yang benar dalam tuduhan, dan pada sumpah kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia dusta dalam tuduhannya.

Bila suami melakukan li’an kepada isterinya, sedangkan isterinya tidak menerima, maka isteri boleh melakukan sumpah li’an juga terhadap suaminya. Sehingga dengan demikian dipahami bahwa suami isteri saling menyatakan bersedia dilaknati oleh Allah setelah masing-masing suami isteri mengucapkan persaksian empat kali.

Keempat, putusnya perkawinan karena Syiqaq, artinya perselisihan yang terus menerus antara suami dan isteri. Bila itu terjadi maka diadakanlah dua utusan sebagai pendamai antara pihak suami dan isteri setelah fase-fase menasehati sebagai upaya mendidik menuju perdamaian rumah tangga yang tak kunjung berhasil.

Kelima, putusnya perkawinan karena Ila’ yang berarti bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya.

Mengingat waktunya tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak di-thalaq ataupun diceraikan. Sehingga kalau keadaan tersebut berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri karena keadaannya tekatung-katung dan tidak berketentuan.

Keenam, putusnya perkawinan karena zihar, salah satu perceraian antara suami isteri yang merupakan wewenang hakim untuk menetapkan putusnya yakni bila suami menyatakan kepada isterinya bahwa isterinya itu disamakan dengan ibunya sendiri.

Eksistensi Perceraian

Memang tidak terdapat dalam al-Qur’an ayat-ayat yang menyuruh atau melarang eksistensi perceraian itu, sedangkan untuk perkawinan ditemukan beberapa ayat yang menyuruh melakukannya. Meskipun ada ayat al-Qur’an yang mengatur perceraian tetapi isinya hanya sekedar mengatur bila perceraian itu terjadi, meskipun dalam bentuk suruhan atau larangan.

Artinya penjelasannya lebih pada anjuran jikalau akan mentalak seharusnya sewaktu istri itu berbeda dalam keadaan yang siap untuk memasuki masa iddah. Hal tersebut seperti dalam firman Allah dalam surat At-Thalaq ayat 1.

Walaupun hukum asal dari perceraian itu adalah makruh, namun melihat keadaan tertentu dalam situasi tertentu, maka hukum perceraian itu dapat berubah. Pertama, Hukum Nadab yaitu dalam keadaan rumah tangga sudah tidak dapat dilanjutkan dan seandainya dipertahankan akan timbul kemudaratan yang lebih banyak.

Kedua, Hukum Mubah adalah cara yang dilakukan bila memang perlu terjadi perceraian dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu sedangkan manfaatnya juga ada kelihatannya dari pada mafsadatnya.

Ketiga, Hukum Wajib merupakan kondisi jika perceraian yang mesti dilakukan oleh hakim terhadap seseorang yang telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak mau pula membayar kafarat sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya. Tindakan itu memudharatkan istrinya.

Kempat, Hukum Haram perceraian jika dilakukan tanpa alasan, sedangkan istri dalam keadaan haid atau suci yang dalam masa itu ia telah dijima’. Ini karena ada kemungkinan istri mendapatkan benih dari suaminya sehingga hamil. Atau bisa jadi niat bercerai dari suami batal karena luluh melihat kehamilan istrinya.

Akhirukalam, meskipun tidak ada ayat al-Qur’an yang menyuruh atau melarang melakukan perceraian. Namun hal itu termasuk perbuatan yang tidak disenangi Nabi. Adapun ketidak senangan Nabi kepada perceraian itu terlihat dalam hadisnya dari Ibnu Umar.

Menurut riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan disahkan oleh Imam Hakim. “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak (perceraian)”. Wallahu A’lam Bish Shawabi.

Fareh Hariyanto
Fareh Hariyanto
Sedang menempuh Kanuragan di Jurusan Ahwalusasyiah Institut Agama Islam (IAI) Ibrahimy Genteng Banyuwangi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.