Beberapa waktu silam, jagad Indonesia dihebohkan dengan berita penting, terutama di wilayah hukum dan politik. Musababnya, Mahkamah Konstitusi, melalui putusan 313/PHPU.BUP-XXIII/2025, mendiskualifikasi dua pasangan calon Bupati/Wakil Bupati Bario Utara. Ini pengalaman pertama sejak dua dekade terakhir setelah reformasi, calon kepala daerah, semuanya didiskualifikasi. Gara-garanya politik uang: masalah akut yang sulit terurati.
Satu sisi, putusan ini patut diapresiasi, sekaligus wajib dijadikan pelajaran. Berlaku curang dalam berdemokrasi, adalah pratik yang harus dilarang, dihindari, dibuang jauh-jauh, bahkan dari sejak fikiran. Sekalipun patut diparesiasi, hukum dan pratiknya nampaknya masih menyisakan celah untuk melakukan jual beli suara. Celah tersebut, tentu saja, tidak boleh dibiarkan terbuka menganga. Singkatnya, harus ada upaya untuk menutup celah itu.
Celah itu
Ada dua celah yang dapat menjelaskan mengapa politik uang beredar meluas. Pertama, berasal dari hukum itu sendiri. Kedua, berasal dari cara pandang. Perihal celah pertama, dapat ditelusuri melalui Peraturan Bawaslu 9/2020. Pasal 15 ayat (3)-nya mensyaratkan, harus ada bukti persebaran pada 50% kabupaten/kota untuk pemilihan gubernur atau 50% kecamatan untuk pemilihan bupati/walikota, baru jual beli suara bisa diproses untuk ditindak. Secara a contrario, tanpa ada besaran angka tersebut, Bawaslu tidak bisa melakukan proses penelusuran lebih jauh ihwal keberadaan politik uang.
Syarat ini kemudian menjadi masalah. Bisa dibayangkan seperti ini. Jika ada laporan pratik politik uang yang melibatkan satu juta orang, namun keberadaan jumlah orang tersebut tidak tersebar minimal 50% dari jumlah total kabupaten/kota atau kecamatan, maka penanganan pelanggaran Pilkada ini tidak bisa diperiksa untuk selanjutnya dilakukan penyelidikan lebih jauh oleh Bawaslu. Padahal, pratik curang ini bakal memengaruhi suara signifikan, apalagi di level provinsi dan kabupaten/kota.
Celah kedua ialah sudut pandang. Pernahkah kita mendengar kata-kata ini, “Kasih Uang Habis Perkara, KUHP”, golongan penerima uang tunai, Golput”, “ambil uangnya, jangan pilih orangnya”, dan masih banyak lagi hal semisalnya. Cara pandang seperti ini sebenarnya berangkat dari pemilih itu sendiri yang, menganggap musim pemilu adalah ladang emas untuk mendapat uang. Pandangan ini, pada sisi lain, berangkat dari perasaan pemilih yang kelak akan dilupakan jika siapapun terpilih. Artinya, mereka yang terpilih hanya ingat masyarakat pada musim pemilu.
Dalam keadaan demikian, agar merasa tidak rugi, cara menagih seperti ini menjadi jalan yang ditempuh. Celah kedua ini bukan hanya sekedar angan-angan. Burhanuddin Muhtadi (2023), telah melakukan riset panjang sampai pada temuan ini.
Sikap masyarakat seperti ini tidak sepenuhnya datang dari mereka. Hal itu hanyalah dampak dari sikap yang mulanya dipraktikan calon terpilih untuk mendongkrak suaranya. Demi membenarkan sikap masyarakat, mereka terkadang berpegang pada dalil bermotif agama, “jika ada orang tidak baik melakukan politik uang supaya terpilih, maka orang yang baik pun harus melakukan politik uang juga, supaya orang baik bisa terpilih”.
Artinya, mereka sama-sama bertindak jahat, curang, nan culas. Masalahnya, siapa yang berani mengklaim mereka adalah orang baik? Bukannya para kandidat selalu percaya diri menganggap mereka baik, setidaknya pada spanduk yang tersebar di pinggi jalan. Misalnya, ada foto pada kandidat yang di sampingnya ada tulisan “bekerja untuk rakyat”, “bersih, jujur, transparan”, pasti amanah”, dan banyak lagi.
Pekerjaan rumah
Mengatasi celah pertama, barangkali, mudah untuk dilakukan. Syarat kuantitatif dalam Peraturan Bawaslu 9/2020 diubah. Diturunkan angka minimal persebarannya (bahkan dihapus), dan bisa ditambah dengan persyaratan kualitatif. Perpaduan ini, dibayangkan, akan lebih menyasar pada efek negatif besar atas praktif curang jual beli suara, bukan hanya sekedar angka, namun menjaga nafas demokrasi.
Pula, supaya secara hukum lebih kuat, persyaratan ini harus dimaktubkan ke dalam undang-undang. Dalam hal ini, pemihakan DPR dan presiden, sebagai pemegang kuasa legislasi, dalam ikut serta mencegah atau meminimalkan praktif politik uang, patut dibangun demi citra meninggalkan warisan yang baik. Tapi cara ini memiliki kelemahan, khususnya sekitar apakah para elit politik mau merevisi undang-undang Pilkada. Ingat, revisi ini pernah akan dilakukan, tapi materinya sekitar persyaratan calon, bukan menangkal politik uang. Artinya, sangat pragmatis.
Celah yang kedua lebih sulit lagi. Akarnya, setelah terpilih, para elit politik sering kali abai terhadap konstituen. Sehingga, para konstituen mau, bahkan berhadap dan mewajibkan politik uang kepada para calon, sebab mereka menganggap ini adalah momen bagus, sebelum nanti dilupakan. Ada jurang pisah antara konstituen dan elit politik setelah terpilih.
Cara sederhana supaya celah ini tidak lagi menjadi pintu politik uang, ialah dengan berlaku transparan terhadap setiap sumber dan pendistribusian dana politik pada musim pemilu. Misalnya UU 2/2008 tentang Partai Politik hanya memberi pengaturan terhadap laporan pertanggungjabwan sumber dan pendistribusian uang dari partai politik yang dilakukan secara terbuka.
Ada hal yang bisa dicatat di sini. Beban laporan itu hanya dibebankan pada partai politik, bukan pada setiap elit yang, misalnya, berkampanye selama musim pemilu. Padahal, para elit adalah orang yang secara langsung dapat melakukan jual beli suara. Sumber dan pendistribusian modal politik mereka, akhirnya, sulit ditelusuri. Catatan lain, konsep dilaporkan secara terbuka pula menjadi makna yang sangat beragam. Apakah misalnya diterbitkan pada website sudah cukup memenuhi kriteria terbuka?
Perlu ada mekanisme lain supaya lebih transparan, misalnya melalui teknologi digital dengan memuat laporan sampai detail yang lebih kecil. Namun, lagi-lagi cara ini menemui kendala. Undang-undang partai politik kita belum mau direvisi. Kehendak ini tidak pernah muncul – atau belum diperhatikan secara tulus – pada masa para elit diberi kesempatan kampanye.
Akhirnya, perbaikan segala lini, masih menjadi pekerjaan besar. Dibutuhkan kehendak tangguh antar elemen guna menutup praktik politik uang. Jika tidak, pembrangusan politik uang hanya menjadi angan-angan, dan lupakan soal ada praktik yang bersih selama pemilu.