Kamis, April 25, 2024

Cebong, Kampret, dan Polarisasi Politik Setelah Wafatnya Nabi

Darwis Darwis
Darwis Darwis
Alumni PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo dan Managing Director di ALIFIA INSTITUTE Kampung Inggris Pare Kediri | Social Media @darwislhsby

Tidak ada salahnya apabila kita flashback ke masa lalu, yaitu masa setelah wafatnya nabi. Fakta sejarah mencatat bahwa persoalan yang muncul pertama kali di tubuh umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad SAW adalah justru bukan yang berkaitan dengan agama, tetapi yang berkaitan dengan persoalan politik.

Perselisihan yang timbul dalam diri umat Islam pada waktu itu berkenaan dengan siapakah sahabat yang menggantikan kedudukan nabi sebagai kepala pemerintahan di Madinah. Dalam kedudukannya sebagai utusan Allah, jelas sekali Nabi Muhammad SAW tidak dapat digantikan dan semua umat Islam sepakat serta meyakininya sebagai nabi pemungkas.

Kedudukannya Nabi Muhammad SAW sebagai kepala pemerintahan atau kepala negara mestilah ada yang menggantikannya, karena hal itu menyangkut persoalan temporal, yaitu pembinaan dan keberlangsungan pembangunan komunitas Islam.

Siapakah sahabat yang dianggap berhak menggantikan posisi nabi sebagai kepala negara? Di sini kaum muslimin berselisih pendapat sehingga pada akhirnya terjerumus ke dalam konflik politik berkepanjangan yang menyebabkan benturan-benturan keras sehingga mereka menyimpang dari jalan lurus yang selama ini sudah mereka lalui.

Pangkal konflik pertama kali muncul ketika terbunuhnya khalifah ketiga, Usman ibn Affan dalam suatu pemberontakan kemudian ditetapkannya Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah keempat. Ada pihak yang tidak setuju dan tidak mau mengikuti Ali, yaitu Muawiyah ibn Abi Sofyan, seorang gubernur Suria yang kebetulan juga keluarga Usman.

Selanjutnya, setelah jabatan khalifah ada di tangan Ali, pemerintah diguncang oleh perpecahan di antara umat Islam sendiri. Pemberontakan pertama dipimpin oleh Siti Aisyah, Thalhah, dan Zubair yang berkedudukan di Makkah. Peperangan antara umat Islam tidak dapat dihindari. Terjadilah perang Jamal (36 H/657 M) antara kubu Ali dan kubu Aisyah.

Dikenal dengan perang Jamal karena Siti Aisyah sebagai pemimpin pasukan dengan mengendarai Unta. Syaikh Muhyiddin Al-Khayyath, dalam bukunya Durus al-Tarikh al-Islam Juz II menyebut perang Jamal sebagai perang pertama yang terjadi sesama Umat Islam. Kemenangan dalam perang Jamal ada di kubu Ali. Setelah itu, pertempuran terjadi lagi di Shiffin.

Setelah terjadinya perang Shiffin (perang antara tentara Ali dan Muawiyah), umat Islam secara politik terpolarisasi ke dalam tiga kubu. Pertama, kubu yang setia kepada Ali, yang kemudian dikenal dengan nama Syi’ah. Kedua, kubu sempalan dari tentara Ali yang keluar karena tidak menerima rencana tahkim antara kubu Ali dengan kubu Muawiyah, yang kemudian disebut Khawarij.

Ketiga, kubu yang setia kepada Muawiyah ibn Abi Sofyan. Pertentangan segi tiga ini berlanjut dengan terbunuhnya Ali ibn Abi Thalib pada tahun kelima kekhalifahannya oleh Ibn Muljam, seorang pengikut Khawarij. Keadaan ini berimplikasi kepada adanya perbedaan pendapat terkait konsep Khilafah dan Imamah dalam pemikiran politik Islam hingga sekarang.

Saat ini, di Indonesia mau memasuki tahun politik. Dengan tidak berlebihan, saya melihat masyarakat Indonesia secara politik terpolarisasi sekurang-kurangnya ke dalam dua kubu. Saya tidak hendak menyamakan fenomena di Indonesia dengan fenomena yang terjadi di masa lampau, yaitu di masa setelah wafatnya nabi.

Menurut saya, meskipun tidak sama, ada kesamaan-kesamaan kondisi yang mendorong kita untuk menjadikannya sebuah pelajaran dalam kerangka menjaga persatuan. Salah satu esamaan itu adalah sama-sama terpolarisasi secara politik. Hal ini terlihat dari fakta bagaimana perdebatan keras antara dua kubu selalu terjadi di ruang publik.

Setelah Pilpres tahun 2014, masyarakat Indonesia secara politik terpolarisasi ke dalam kubu Jokowi dan kubu anti Jokowi atau bisa dikatakan kubu Prabowo. Seiring berjalanya waktu serta dampak media sosial, kedua kubu ini melahirkan dua istilah yang cukup fenomenal; yaitu istilah Cebong untuk pendukung Jokowi dan Kampret untuk sebaliknya.

Di media sosial, mereka saling menghujat bahkan ada yang menyebarkan hoax hanya demi saling menjatuhkan lawan politiknya. Memang negera kita menganut sistem demokrasi yang memungkinkah rakyatnya secara bebas mengeskpresikan pandangan politiknya. Tapi sebebas apapun, apakah menghujat dan menyebarkan hoax dalam konteks demikian bisa dibenarkan?

Kondisi polarisasi politik antara Cebong dan Kampret ini menarik perhatian saya untuk bertanya, siapa yang memunculkan kedua istilah fenomenal itu? kenapa istilah Cebong dan Kampret yang dipilih? Kenapa bukan Macan, Buaya, atau hewan lain yang lebih gagah? Setelah bertanya-tanya, saya menemukan jawaban yang cukup.

Cebong sebagai sebuah istilah ternyata dimunculkan oleh kubu yang anti Jokowi dengan tujuan mengejek pendukung Jokowi. Istilah ini dipakai tidak lepas dari kebiasaan Jokowi sendiri yang memiliki hobi memelihara kodok dan cebong di kolam istana negara supaya dapat merasakan suasana pedesaan yang dulu melekat dalam kehidupan Jokowi.

Sedangkan istilah Kampret sebagai respon ejekan Cebong. Kampret merupakan binatang sejenis kelelawar yang suka tidur dengan posisi terbalik kaki di atas dan kepala di bawah yang berimplikasi efek negatif pada organ otaknya berupa penyakit “syndrom otak terbalik”. Contoh otak terbalik itu misal kopi Starbuck menjadi haram, sedangkan Kencing Onta menjadi halal.

Secara fundamental, yang diperselisihkan antara Cebong dan Kampret ini adalah soal politik, yaitu siapa yang pantas menahkodai Indonesia. Ini juga termasuk kesamaan-kesamaan yang sudah dijelas di awal. Di masa lampau, siapa yang berhak dan pantas menggantikan nabi sebagai kepala pemerintahan di Madinah sehingga terjebak pada konflik politik berlarut-larut.

Kalau masa sekarang, menurut Cebongers Jokowi yang paling pantas memimpin Indonesia hingga dua periode karena Jokowi benar-benar membangun Indonesia tanpa lelah. Tapi bagi Kampret, Prabowo jauh labih layak maka 2019 harus ganti presiden. Menurut Kampreters, Jokowi gagal mensejahterakan rakyat Indonesia.

Kompetisi antara Cebong dan Kampret kelihatnnya semakin mengkhawatirkan. Dulu bahkan sampai ada tindakan persekusi di CFD oleh Kampret kepada Cebong. Seharusnya mereka bisa belajar dari masa lalu. Jangan sampai mereka terjerumus kapada perpecahan seperti yang sudah terjadi di masa sahabat nabi. Bagaiamana pun sikap politik dan pilihan presiden kita, persatuan bangsa Indonesia jauh lebih penting.

Oleh sebab itu, tanpa banyak alasan, sesungguhnya tidak perlu saling menghujat antara Cebong dan Kampret, apalagi meneyebarkan hoax demi kepentingan politik jangka pendek, supaya persatuan bangsa tidak tersobek. Ingat! Polarisasi politik yang berlebihan dapat mengakibatkan perpecahan. Mari kita saling menghormati untuk saling menjaga NKRI. Apakah gara-gara kekuasaan, kita rela mengorbankan persatuan?

Darwis Darwis
Darwis Darwis
Alumni PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo dan Managing Director di ALIFIA INSTITUTE Kampung Inggris Pare Kediri | Social Media @darwislhsby
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.