Melihat aksi masa yang menyuarakan penolakan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja di Banyuwangi bisa menjadi kajian yang perlu kita rawat dan ruwat bersama. Beragam aksi serupa yang juga dilakukan di wilayah lain memiliki semangat yang sama untuk menyuarakan penolakan pada oligarki negeri.
Namun perlu ditekankan, aksi masa hanya akan sekedar euforia semata jika kita menyikapinya hanya pada hari itu saja. Tanpa adanya rencana panjang dan cara yang benar, tentu penulis cukup sangsi apa yang disuarakan akan didengar serta tuntutan dikabulkan.
Berkaca pada aksi serupa di medio akhir 2019 dimana kala itu aksi dari seluruh penjuru Indonesia satu suara untuk menolak pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantaran perubahan kewenangannya dirasa mengebiri fungsi lembanga anti rasuah itu untuk melakukan pemberantasan korupsi.
Meski aksi digelar hampir diseluruh negeri, tetap saja anggota Dewan tak bergeming dan aturan yang pada akhirnya membatasi kewenangan KPK di sahkan. Belajar dari hal itu, gerakan mahasiswa perlu mengawasi dan memantau perkembangan ini. Sebab tanpa keseriusan, semuanya itu tidak akan lebih berarti. Sehingga kemungkinan demo besar kemarin akan sia-sia cukup bisa terjadi.
Awal Perjuangan
Penulis akui, beragam upaya dari seluruh Gerakan Mahasiswa di Banyuwangi untuk berkonsolidasi serta urun rembuk agar aksi yang dilakukan tidak menguar diudara terus dilakukan. Harapannya kesatuan visi dan kesamaan misi sebagai ghiroh gerakan ini tetap terjaga.
Tapi perlu ada yang menjadi atensi. Tidak sedikit bahwa kita yang kemarin turun ke jalan merasa jumawa karena antusiasme dan kekompakan masa yang turun melebihi ekspektasi. Bahkan selama saya di Banyuwangi, baru kali ini saya merasakan atmosfer unjuk rasa yang berbeda.
Beda bukan karena bendera organisasinya, namun perbedaan yang justru menyatukan kita untuk bisa turun dan satu kata. Menolak Omnibus Law Cipta Kerja. Ingat kawan, kemarin adalah awal perjuangan kita untuk bisa bersama menyatukan visi dan misi dalam menyampaikan aspirasi.
Penyatuan ini harus tetap dijaga agar kegiatan kemarin tidak hanya semacam angin lalu. Oleh karenanya perlu tidakan lanjutan untuk mewadahi jalan dalam perjuangan jalanan. Pada intinya seluruh elemen masyarakat yang kemarin ikut aksi di depan kator DPRD Banyuwangi ingin memperoleh hasil maksimal.
Pun penulis tidak menafikan bahwa Undang-undang Omnibus Law yang disahkan perlu waktu untuk dilakukan pembatakan. Itupun dengan catatan Presiden bersedia mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan Pengganti Undang-undang (PERPPU). Atau jalan lainnya dengan uji materi Undang-undang ke Mahkamah Konstitusi.
Sisi Liberalis
Cara apapun itu yang ditempuh, fungsi pengawasan, perimbangan dan kemaslahatan perlu kita pegang bersama agar gerakan ini tetap terjaga. Hal itu merupakan aspek yang perlu diperhatikan utamanya seluruh elemen masyarakat baik buruh ataupun mahasiswa yang kemarin turun kejalan.
Pertama, aspek pengawasan. Hal ini perlu menjadi acuan bersama agar kita selalu satu suara untuk tetap melakukan pengawasan dengan cara terus mangakomodir seluruh pandangan. Mengaktifkan ruang-ruang diskusi untuk kewarasan akal agar tetap kritis dalam melihat isu-isu sosial kemasyarakatan.
Tanpa adanya ruang-ruang diskusi yang kita isi setelah aksi kemarin. Saya rasa semua akan sia-sia, butuh pemahaman bersama agar kita bisa meniatkan ini untuk tetap bisa satu suara kedepannya. Bahkan tidak menutup kemungkinan diskusi ini dilakukan lintas organisasi gerakan mahasiswa.
Kedua, aspek perimbangan. Cover both side tidak hanya dimiliki dalam jurnalistik. Aspek ini juga perlu kita fahami agar ruang-ruang komunikasi kita tetap dari berbagai arah. Kita setuju menolak Ommibus Law, tapi perlu kita ingat bahwa keyakinan itu jangan sampai membuat kita menjadi taqlid buta.
Sehingga hanya mempercayakan komunikasi hanya pada satu arah saja membuat pandangan kita sempit dan cendrung konservatif. Butuh sisi liberal untuk kita bisa memandang isu ini menjadi suatu yang holistik. Sebab tanpa keterbukaan pemikiran niscaya grakan kita akam stagnan.
Ketiga, aspek kemaslahatan. Maslahah mursalah tentu sering kita fahami bersama dalam setiap kehidupan. Maslahah memiliki arti adanya manfaat. Bahkan secara istilah, Imam Ghozali menjelaskan bahwa pada dasarnya, maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara. Yang penulis tekankan disini pada dampak ekonomi masyarakat atas undang-undang tersebut.
Sedangkan mursalah memiliki arti terlepas atau bebas. Maksudnya adalah bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan. Ini mengacu pada apa yang harus kita lakukan saat menggelar aksi lanjutan. Kita perlu menekankan bahwa kita punya koridor untuk memastikan aksi berjalan dengan damai.