Tak terasa tahun 2019 akan segera berakhir, momen di penghujung tahun selalu dipergunakan untuk melakukan refleksi semua hal yang telah dilakukan sepanjang tahun. Gunanya tentu saja agar dapat melihat kembali semua pencapaian serta kesalahan untuk dapat menjadi catatan perbaikan di masa yang akan datang, tak terkecuali pemberantasan korupsi.
Refleksi bagi penegakkan hukum di Indonesia terutama pemberantasan korupsi tentu memiliki aspek yang sangat banyak sehingga sangat sulit untuk mengurainya dalam tulisan yang pendek ini. Meskipun begitu, setidaknya ada 3 (tiga) catatan bagi pemberantasan korupsi pada tahun 2019.
Pelemahan Terhadap KPK
Pertama, pelemahan terhadap KPK, tahun 2019 menjadi tahun terberat bagi pemberantasan korupsi, pasalnya di tahun ini upaya berkali-kali untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (Revisi UU KPK) berhasil dilakukan oleh DPR. Sejatinya mengubah sebuah peraturan bukanlah sesuatu yang tabu.
Bahkan, peraturan setingkat konstitusi pun bisa diubah melalui amandemen. Namun perubahan suatu UU tidak semata hanya soal hukumnya saja tetapi juga aspek-aspek diluar hukum (beyond the law). Hal inilah yang terlihat dalam revisi UU KPK, dimana upaya revisi mendapat berbagai penolakan hingga memunculkan gelombang unjuk rasa massif yang menamakan #ReformasiDikorupsi.
Sebabnya tentu saja beragam, mulai dari anggapan bahwa rakyat seolah dilupakan dengan ”operasi senyap” yang tiba-tiba oleh DPR hingga ketakutan kolektif terhadap pasal-pasal kontroversial yang mengancam KPK.
Benar saja, salah satu kontroversi hasil revisi dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 adalah keberadaan Dewan Pengawas, terutama terkait dengan Pasal 37B yang memberi kewenangan yang sangat besar kepada lembaga baru ini.
Tugas Dewan Pengawas antara lain mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, memberi atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/ atau penyitaan, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK, mengadili dugaan pelanggaran etik, dan mengevaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK tiap tahun.
Kewenangan Dewan Pengawas, khususnya yang terkait dengan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan, dianggap berlebihan serta jauh memasuki ranah proyustisia. Padahal, Dewan Pengawas bukan bagian dari penegak hukum meskipun dipimpin oleh orang-orang terbaik seperti Tumpak Hatarongan Panggabean (Ketua), Artidjo Alkostar, Albertina Ho, Harjono, dan Syamsudin Haris.
Di samping revisi terhadap UU KPK, pergantian pimpinan juga membawa goncangan tersendiri bagi KPK, hal ini tidak terlepas dari banyaknya kritik terhadap pansel KPK karena dianggap tidak merepresentasikan semangat anti korupsi serta track record pelanggaran etik dari beberapa anggota pansel.
Wujudnya ditandai oleh rasa pesimisme publik terhadap 5 pimpinan KPK periode 2019-2023 yang telah resmi dilantik Presiden Joko Widodo yaitu Firli Bahuri (Ketua), Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pamolango, dan Nurul Ghufron pada Jumat 20 Desember 2019.
Kondisi ini makin terasa berat bagi pimpinan KPK yang baru karena jika dibandingkan dengan pencapaian kinerja KPK 2016-2019 periode kepemimpinan Agus Rahardjo yang cukup berhasil, dimana dalam Pointers Konferensi Pers 17 Desember 2019yang bertajuk “kerja belum selesai” KPK menyebutkan bahwa untuk upaya penindakan, selama empat tahun terakhir, KPK menangani 608 tersangka dalam berbagai modus perkara.
Selama 2015-2019, KPK KPK melakukan 498 penyelidikan; 539 penyidikan; 433 penuntutan; 286 inckracht; dan 383 eksekusi. Dalam kegiatan tangkap tangan, selama 4 tahun, KPK telah melakukan 87 Operasi Tangkap Tangan (OTT), dengan total tersangka awal setelah OTT adalah 327 orang.
Wajah Buruk Mahkamah Agung
Kedua, wajah buruk Mahkamah Agung, sebanyak 10 putusan Mahkamah Agung sepanjang 2019 terbukti meringankan hukuman terdakwa atau terpidana korupsi. Putusan Mahkamah Agung belakangan ini dinilai belum sesuai dengan semangat negara yang ingin memerangi korupsi di negeri ini.
Pengurangan hukuman yang diberikan Mahkamah Agung untuk terpidana korupsi menjadi kabar buruk bagi pemberantasan korupsi. Hal ini menjadi pukulan telak sebab, sulit membayangkan pemberian efek jera bagi terpidana korupsi akan berhasil jika pada fase akhir justru pengadilanlah yang memberikan keringanan.
Tidak hanya mengurangi hukuman pelaku korupsi, Mahkamah Agung saat ini juga menampilkan wajah buruk karena beberapa putusannya, baik di tingkat kasasi maupun peninjauan kembali (PK), menguntungkan terdakwa atau terpidana korupsi. Salah satunya putusan lepas dari jeratan hukum terhadap terdakwa kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung.
Mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu sebelumnya divonis 13 tahun penjara dan diperberat menjadi 15 tahun. Namun, Mahkamah Agung malah memberiksn vonis lepas Syafruddin pada 9 Juli lalu.
Selain itu kasus korupsi yang menjerat Sofyan Basir juga divonis bebas oleh majelis pengadilan Tipikor Jakarta pada 4 November 2019 dalam perkara pembantuan kesepakatan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) juga jadi tamparan hebat bagi pemberantasan korupsi.
Kondisi itu menjadi paradoks oleh judicial corruption sebab, di saat hampir bersamaan KPK juga menetapkan Sekretaris Mahkamah Agung periode 2011-2016 Nurhadi sebagai tersangka korupsi penerima suap dan gratifikasi senilai Rp 46 miliar terkait dengan pengurusan perkara. Akibatnya bisa saja, kerja keras KPK dalam mengungkap kasus korupsi dimentahkan oleh praktik-praktik seperti ini.
Rendahnya Komitmen Presiden
Ketiga, rendahnya komitmen presiden, jika berkaca pada periode pertama pemerintahan Jokowi tahun 2014 korupsi sebenarnya masih menjadi salah satu program aksi utama dari janji-janji Jokowi yang dikemas dalam dokumen setebal 24 halaman yang diberi nama Nawacita. Namun saat ini keadaan menjadi anomali dengan serangkaian kebijakan presiden yang tidak mengarah kepada komitmen pemberantasan korupsi.
Pengabulan permohonan grasi terpidana kasus korupsi alih fungsi lahan kebun kelapa sawit di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, Annas Maamun menjadi salah satu buktinya. Keputusan Jokowi tertanggal 25 Oktober 2019 yang mengabulkan pengurangan hukuman sebanyak satu tahun bagi bekas Gubernur Riau itu melemahkan upaya penegakan hukum dalam kasus tindak pidana korupsi.
Secara filosofis grasi merupakan bentuk ikhtiar terakhir dari terpidana untuk mendapatkan pengurangan atau pengampunan hukuman. Namun Presiden semestinya tidak mengobral hak prerogatifnya, terutama untuk terpidana perkara kejahatan luar biasa seperti tindak pidana korupsi.
Pemberian grasi untuk koruptor makin menunjukkan bahwa presiden tidak memiliki komitmen yang jelas terhadap gerakan antikorupsi ditambah kebijakan presiden mendukung upaya revisi UU KPK kemudian menolak perppu KPK yang diminta oleh mahasiswa dan masyarakat melalui unjuk rasa yang berujung nyawa yang akibatnya menyisakan banyak beban bagi pemberantasan korupsi di tahun yang akan datang.