Indonesia baru saja menghelat pesta demokrasi serentak pada kontestasi Pemilihan Kepala Daerah 9 Desember 2020. Kontestasi tersebut sukses digelar walaupun di masa pandemi Covid-19. Alih-alih berbagai data menunjukkan anomali demokrasi jika partisipasi pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah di 9 Desember 2020 menunjukkan eskalasi yang sangat signifikan. Ini artinya kondisi pandemi Covid-19 yang masih bergejolak masif tidak menyurutkan masyarakat untuk menyalurkan hak politiknya dalam mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS). Misalnya saja kita lihat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) DIY dalam Pemilihan Kepala Daerah 9 Desember 2020 kemarin yang diikuti oleh tiga kabupaten yakni Sleman, Gunungkidul, dan Bantul tingkat partisipasinya sangat tinggi.
Di Kabupaten Sleman partisipasinya mencapai 75,82 persen, di Bantul mencapai 81,39 persen dan di Gunungkidul mencapai 80, 18 persen. Kecenderungan peningkatan partisipasi tersebut diikuti oleh berbagai daerah yang mayoritas juga mengalami hal yang sama. Misalnya saja di Kabupaten Boyolali Jawa Tengah dalam Pilkada 2020 kemarin tingkat partisipasinya mampu mencapai 89,53 persen. Di masa pandemi tentu harus diakui jika Pilkada yang dikhawatirkan sepi pemilih namun faktanya sukses dihelat.
Sebagai negara penganut sistem demokrasi tentu tingkat partisipasi warga negara dalam menggunakan hak pilih di bilik suara menjadi salah satu barometer yang penting. Semakin tinggi partisipasinya maka secara otomatis juga sistem demokrasi bisa berjalan dengan baik.
Partisipasi pemilih dalam menyalurkan hak politiknya menjadi elemen dan unsur yang bisa menggerakan sistem demokrasi ini berjalan. Bahkan sering dikatakan jika demokrasi adalah nafas dan ruh demokrasi itu sendiri. Oleh karenanya jika demokrasi itu diukur dengan parameter partisipasi pemilih maka momen pesta demokrasi serentak dalam bingkai Pemilihan Kepala Daerah 9 Desember 2020 yang dihelat di tengah pandemi Covid-19 menjadi sebuah kesuksesan dan keberhasilan demokrasi yang sedang dibangun dan dijalankan di Indonesia.
Indeks Demokrasi
Merujuk data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) RI indeks demokrasi nasional di Indonesia mengalami trend peningkatan. Tahun 2018 indeks demokrasi Indonesia berada dalam angka 72, 39 dan di tahun 2019 mengalami peningkatan menjadi 74, 92.
Setidaknya ada tiga acuan yang digunakan BPS dalam menghitung nilai indeks demokrasi tersebut. Mulai dari aspek kebebasan sipil (civil liberty), hak-hak politik (political rights) dan lembaga demokrasi (institution of democracy). Ketiga aspek tersebut dinilai sangat penting dalam melihat kualitas sistem demokrasi yang dijalankan. Namun tentu saja setiap lembaga memiliki kriteria yang lain untuk menilai apakah sistem demokrasi yang sedang dijalankan di Indonesia sudah berjalan dengan baik ataukah belum.
Kalau hanya diukur dengan parameter indeks demokrasi yang dirilis oleh BPS tentu memang terjadi kenaikan skor yang riil. Namun perlu juga dilihat dari realitas yang ada apakah data yang dipaparkan BPS tersebut selaras dengan keadaan yang sebenarnya. Untuk menguji apakah demokrasi Indonesia benar-benar menjalankan konsep demokrasi yang semestinya maka tidak boleh hanya mengacu data tunggal dengan sebatas melihat capaian indeks demokrasi saja.
Kalau menengok data yang diterbitkan oleh Freedom House sebagai lembaga survei dunia dalam aspek kebebasan sipil dan hak politik maka Indonesia justru mengalami trend penurunan setiap tahunya. Laporan Freedom House tahun 2017 menunjukkan indeks kebebasan sipil di Indonesia memperoleh 65 poin, di tahun 2018 mengalami penurunan menjadi 64 poin. Poin tersebut terus menurun di tahun 2019 dengan menyentuh angka 62. Bahkan data keterpurukan demokrasi Indonesia diperkuat dengan laporan The Economist sebagai salah satu media internasional menyoroti pada era Presiden Jokowi periode kedua terjadi kecenderungan arah dari konsolidasi demokrasi ke pola neo-otoritarianisme dan oligarki semakin kian jelas. Alhasil konsolidasi demokrasi menjadi semakin semu dan kabur.
Subtantif
Jika hanya sebatas diukur dari tingkat partisipasi politik dan perolehan suara tentu sistem demokrasi kita sudah cukup mampu memproduksi dan menghasilkan suara. Demokrasi yang kita lihat saat ini telah sangat mampu menggerakkan kesadaran warga negara dalam menggunakan hak pilihnya. Sayangnya demokrasi menjadi sebuah sistem yang menghendaki kepada sistem yang subtantif. Demokrasi tidak hanya sebatas pada ukuran partisipasi politik namun pada ukuran subtantifnya (demokrasi subtantif).
Tahap ini jauh lebih dalam lagi karena ditahap inilah ukuran demokrasi yang sesungguhnya. Realitas demokrasi yang masih kita praktikkan sebenarnya adalah demokrasi prosedural. Sebuah sistem demokrasi yang hanya menekankan pada aktivitas, prosedur, aturan, dan tata cara berdemokrasi. Namun tidak melihat apakah kebebasan sipil, berekspresi, mengeluarkan pendapat, jaminan hak politik, dan ruang publik diantara masyarakat dan negara bisa ditegakkan. Terlebih lagi adanya jaminan kebebasan yang diberikan oleh negara kepada warganya untuk menciptakan semacam asosiasi atapun organiasi di luar negara. ini menjadi penting dalam sebuah negara demokrasi. Merujuk pada bukunya Tocqueville dengan judul “Democracy in America” tentu menjadi pembelajaran sejarah bagaimana demokrasi di Amerika dapat berjalan dengan baik. Tidak heran jika Amerika menjadi acuan basis negara demokrasi yang mapan di dunia.
HAM
Persoalan penegakan HAM dalam konteks demokrasi juga menjadi hal yang tidak boleh dilihat sebelah mata. Apalagi Indonesia masih mengalami masalah dalam persoalan HAM. Misalnya masalah HAM di Papua dan yang terbaru kasus penembakan laskar FPI yang menyebabkan 6 orang tewas. Sampai saat ini persoalan HAM belum diusut tuntas dan negara dinilai lamban menangani persoalan tersebut.
Sebagai negara demokrasi tentu ini menjadi anomali dan preseden buruk bagi Indonesia. Karena HAM dan demokrasi tidak dapat dipisahkan sampai kapanpun. Relasi erat demokrasi dan HAM dikatakan David Beetham di mana Beetham dalam tulisanya yang berjudul “Linking Democracy and Human Right” menyatakan bahwa demokrasi, warga negara, dan hak asasi manusia berada dalam satu garis yang linear satu dengan lainya. Pemikiran Beetham mematahkan pandangan yang selama ini cenderung memisahkan demokrasi dan hak asasi manusia menjadi dua hal yang berbeda. Demokrasi dimaknai sebatas tatanan institusi negara melalui pemilihan umum sementara hak asasi menjadi isu di luar siklus demokrasi. Padahal pemilihan umum dalam konsep demokrasi menjadi upaya untuk menghambat hak asasi manusia agar terhindar dari praktik pemerintahan diktaktor, otoriter, dan tirani.
Pemilihan umum yang bebas dan berkeadilan memastikan untuk terciptanya kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat. Hal itu diyakini jika rezim otoriter dan diktaktor dalam dimensi kehidupan sosial politik hanya akan merampas hak asasi warga negara.