Kalau Prof. Mahfud MD sudah mengatakan bahwa beliau menerima dengan ikhlas keputusan Jokowi menggandeng Prof. Ma’ruf Amin sebagai cawapres, sebenarnya tak perlu dikompor-komporin lagi.
Yang bersangkutan sudah legowo dan biasa-biasa saja, mudah-mudahan kita dari kasta akar rumput ini stop bergoyang dan tidak bergelayut dalam perang urat syaraf.
Mahfud MD memang spesial, menuai perhatian publik, sebab beliau nyaris dideklarasikan sebagai pendamping Jokowi. Akan tetapi, kehendak untuk mengukur dalamnya lautan, sekalipun punya kail yang panjang, namun tanpa diduga bertabrakan dengan “operasi” kapal politik selam.
Di menit-menit terakhir, jadilah Ketua Rais ‘Aam PBNU KH. Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi, dipandang sebagai pilihan realistis di mata partai pengusung, karena kesepuhan ketua MUI itu tidak memungkinkan beliau nyalon lagi di arena pilpres berikutnya.
Sementara meteor politik seperti Mahfud MD dengan jam terbang yang tinggi di ranah legislatif, eksekutif, dan yudikatif, tentu saja mengandung bobot potensialitas sebagai – katakanlah capres di tahun 2024.
Kalkulasi logis elite parpol rupanya menggelisahkan digdaya Mahfud MD, apalagi beliau pakar hukum tata negara dengan jaringan kelompok Islam yang luas. Namun begitu, Mahfud MD sudah mengungkapkan bahwa beliau tidak kecewa, hanya kaget saja.
“Kita harus lebih mengutamakan keselamatan negara ini daripada sekadar nama Mahfud, nama Ma’ruf Amin atau nama lain,” ujar Mahfud seperti dikutip Kompas TV (9/8/2018) malam. Atas kebesaran jiwa Mahfud MD, beliau pantas disebut sebagai matahari politik yang berkarakter negarawan.
Panggung politik tak mengenal kata titik, hanya sekadar koma. Tibalah acara Indonesia Lawyers Club (ILC) di TvOne (14/08/2018) malam, Mahfud MD didaulat untuk membuka semacam kotak pandora politik.
Tema ILC “Kejutan Cawapres: Antara Mahar Politik dan PHP”, seolah menggambarkan betapa industri demokrasi memang tidak terlepas dari 4 M (muslim, money, mass, media). Hal ini semakin membenarkan seperti kata Harold Laswell, bahwa politik adalah who gets what, when and how (siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana).
Di satu sisi, isu uang (money) berkardus-kardus secepat kilat mengubah arah mata angin politik sebuah kelompok kepentingan. Perebutan ruang pengaruh di basis konstituen muslim mengedepan, tak pelak mendadak santri dilakoni sebagian elite.
Di sisi lain, ekspektasi massa Mahfuders dibendung oleh barisan koalisi yang berpangkal pada logika kuasa jangka panjang. Media pun terus mengipas supaya kelihatan kontroversial sampai fragmentasi di media sosial.
Di suatu malam yang dihadiri oleh Indonesia Politicians Club, Mahfud MD yang dikenal sebagai santri politik Gus Dur ini melontarkan pernyataan politik yang menyengat KH. Said Aqil Siroj, KH. Ma’ruf Amin, Muhaimin Iskandar, dan Romahurmuziy. Akrobatik linguistik dan persilangan kata-kata sempat mengemuka. Mudah-mudahan masih dalam koridor etis yang wajar sebagai sesama keluarga besar nahdliyin, baik NU struktural maupun kultural.
Manakala bersentuhan dengan permainan politik praktis, tarik menarik kepentingan di tubuh NU memang tak terhindarkan. Itu pun kita mesti tanggapi dengan ‘ketabahan revolusioner’, tanpa terjebak dalam penyinyiran tiada ampun. Politik itu memang berwatak penuh intrik dan manuver. Di dalam arena kontestasi kekuasaan, terkandung komedi, tragedi, hingga semedi politik.
Maka, menarik apa yang disampaikan oleh Mahfud MD, soal dirinya dianggap ‘bukan kader NU’ oleh Ketua Umum PBNU, bahwa memang biasa di NU banyak guyon-guyonan, katanya. Tanggapan balik dari KH. Said Aqil Siroj selaku Ketua Umum PBNU pun bernuansa guyonan, seperti dikutip dari viva.co.id “Katanya itu guyon, ya saya anggap aja itu guyon,” ujar Said Aqil Siroj di kantor PBNU, 16 Agustus 2018.
Kendati guyon-guyonan serupa komedi politik, namun tragedi ambivalensi komunikasi politik para pimpinan teras ormas dan parpol perlu mentafakuri ulang dengan semedi politik. Maksudnya ditertibkan agar tidak melahirkan tragedi seorang Mahfud MD yang memancing reaksi bernada minor dari publik.
Maka fighting back dari Mahfud MD yang berdarah Madura, dapat ditafsir secara kultural sebagai manifestasi carok politik untuk membela harga dirinya yang terusik. Kultur suatu etnis yang mewarnai budaya politik dan gaya komunikasi seorang aktor yang merasakan air, angin, api dan tanah tumpah darahnya, menarik ditelusuri.
Kalau kita merasa terusik, saya yakin semua orang akan mengangkat ‘senjata’, untuk merebut kehormatan yang terkoyak. Di Bugis-Makassar misalnya dikenal dengan budaya Siri’ na Pacce. Dalam khazanah budaya nusantara, hampir semua etnis memiliki konsep harga diri. Hanya kosakata yang berbeda, namun maknanya sama, sesuai takaran masing-masing.
Sebagai seorang akademisi yang tumbuh di lingkungan santri, konteks carok politik Mahfud MD lebih berdimensi akademis, maka tepat disebut sebagai carok bercorak intelektual. Sedangkan gaya komunikasi politik Mahfud MD sangat cair, blak-blakan, apa adanya, dan terbuka dengan selera humor yang berbobot.
Mahfud MD pun tidak merasa di-PHP sebagaimana bahasa media. Tokoh KAHMI ini paham bagaimana mentransfer pertukaran makna dengan semua kalangan melalui artikulasi komunikasi yang tertata, disertai logika argumentasi yang kokoh.
Kemarau politik lambat laun akan berlalu. Semoga bergegas saling menukar ‘darah’ seperti tercermin pada tradisi Suku Indian setelah ‘carok’ bertaruh nyawa dengan beruang, namun mereka kemudian merajut keintiman secara alamiah lewat pertukaran darah, lalu lahir kembali, reborn. Lagi pula tak parah-parah amat, mari menatap ke depan.
Ada beberapa pelajaran sebagai catatan, bahwa media massa sebagai pilar keempat demokrasi mesti berlaku sebagai garda terdepan terutama di bidang edukasi politik. Media diharapkan tidak ikut memanas-manasi suhu politik, apalagi memperluas radius politik konfliktual. Justru media mesti berperan sebagai penyeimbang, menetralisir ketegangan antar elite sehingga tidak muncul polarisasi yang tajam di tataran akar rumput.
Media senantiasa diperlukan untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap penguasa. Namun tidak berarti menyumbang saham kericuhan. Dus, etika komunikasi media wajib dijunjung tinggi. Begitu pula etika komunikasi para elite (politisi, akademisi, agamawan), psikologi massa tak boleh diabaikan. Stabilitas temperatur batin masyarakat perlu dijaga.
Maka, manajemen lidah diperlukan oleh para aktor politik, agar tidak keseleo kuadrat yang menyakiti perasaan pihak lain. Hajatan politik hukumnya halal, namun manajemen syahwat dibutuhkan agar nafsu kekuasaan terkendali, guna menghindari petaka personal maupun kolektif. Lalu, manajemen hati menjernihkan semua noktah-noktah politik, tidak buka-bukaan aib sesama saudara di muka umum.
Keberlanjutan bangsa ini terus menanti penampilan serentak segenap komponen bangsa. Aliran politik kebencian yang disemai oleh kelompok ekstremis berskala transnasional yang mengganggu stabilitas nasional mesti disumbat. Itulah salah satu PR kita yang mendesak. NU sebagai aset umat mesti dirawat sebagai penjaga NKRI. Ujian politik NU kendati mungkin terasa pahit, namun kita ber-husnudzon, semoga menyehatkan. Bersatulah kaum sarungan. Allahu Akbar. Merdeka!