Jika dunia pelacuran dengan segala kompleksitas moralnya mampu bertahan selama ribuan tahun, berevolusi dari rumah bordil ke platform digital, dan terus merespons permintaan pasar dengan kelincahan yang memalukan, lalu apa alasan kita untuk memaklumi pendidikan tinggi yang begitu kaku, lamban, dan menghasilkan pengangguran?
Seorang lulusan S1 fresh graduate menganggur, mengirimkan puluhan lamaran kerja tanpa respon. Sementara itu, industri yang sering disebut sebagai “bisnis tertua di dunia” tidak hanya bertahan, tetapi bahkan berkembang pesat berkat adaptasi teknologi. Sebuah kontras yang ironis dan memilukan. Ini memunculkan pertanyaan yang mengganggu: dalam ekonomi yang berubah cepat, apa yang lebih berharga: sebuah gelar atau kemampuan untuk beradaptasi?
Metafora yang keras ini bukan untuk meromantisasi atau menyarankan jalan yang penuh risiko tersebut, tetapi untuk menyoroti sebuah pelajaran bisnis yang brutal: ketahanan datang dari kemampuan merespons permintaan pasar, bukan dari sekadar memiliki ijazah. Kegagalan sistem pendidikan kita terletak pada ketidakmampuannya menanamkan kelincahan ini kepada para lulusannya.
Investasi yang Salah Arah: Gelar vs. Kompetensi
Banyak keluarga Indonesia memandang pendidikan S1 sebagai investasi finansial jangka panjang. Mereka menghabiskan puluhan bahkan ratusan juta rupiah dengan harapan imbal balik berupa pekerjaan bergaji tinggi dan status sosial. Namun, pasar kerja justru tidak lagi hanya peduli pada gelar.
> “There is a persistent mismatch between the skills supplied by the education system and those demanded by employers. Many university graduates lack practical, technical, and soft skills, making them less competitive…” (World Bank, 2021, p. xii).
Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) memperkuat hal ini, menunjukkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) untuk lulusan SMK dan universitas yang masih significantly tinggi. Ini adalah bukti nyata bahwa “supply” yang dihasilkan kampus tidak sesuai dengan “demand” yang diperlukan oleh ekonomi modern. Lulusan kita dipersiapkan untuk dunia kerja yang sudah tidak ada lagi.
Akar Masalah: Kurikulum yang Jauh dari Realita
Permasalahan mendasarnya adalah institusi pendidikan yang bergerak dalam kecepatan yang berbeda dengan dunia di luar tembok kampus.
> “The Indonesian education system focuses more on creating job seekers rather than job creators.” (Suryadarma & Jones, 2013, p. 5)
Kurikulum banyak perguruan tinggi masih berisi materi teoretis yang usang dan minim praktik. Mahasiswa tidak cukup dibekali dengan critical thinking, problem-solving, literasi digital, dan keterampilan berwirausaha kompetensi yang justru paling dicari dalam ekonomi gig dan freelance yang fleksibel. Mereka dijajaki dengan narasi “mulai dari bawah,” tetapi seringkali terjebak dalam pekerjaan dead-end dengan upah rendah dan tanpa jalur karir yang jelas, membuat pilihan untuk menganggur sambil mencari pekerjaan yang layak menjadi sebuah strategi bertahan yang rasional, meski terpaksa.
Jalan Keluar: Merombak Mindset dan Sistem
Lantas, apa solusinya? Menyerah pada keadaan dan menerima analogi yang menyakitkan tadi? Tentu tidak. Jawabannya adalah reorientasi total.
1. Bagi Mahasiswa dan Lulusan: Stop melihat gelar sebagai tujuan akhir. Jadilah pembelajar sepanjang hayat. Manfaatkan kursus online gratis dan berbayar untuk menguasai skill spesifik yang diminati pasar (data analysis, digital marketing, coding). Bangun portofolio dan personal branding sejak dini. Berwirausaha dan freelance harus dilihat sebagai karir yang sah dan terhormat.
2. Bagi Institusi Pendidikan: Kampus harus keluar dari menara gading. Kurikulum harus dirancang ulang melalui kolaborasi erat dengan industri. Perkuat teaching factory, magang bersertifikat, dan project-based learning. Luluskan mahasiswa yang siap jadi job creator, bukan sekadar job seeker.
3. Bagi Pemerintah: Fokus pada penciptaan ekosistem yang mendukung kewirausahaan dan ekonomi kreatif. Berikan insentif bagi perusahaan yang membuka program magang dan apprenticeship. Perkuat infrastruktur digital hingga ke daerah-daerah untuk memastikan akses yang merata terhadap peluang ekonomi digital.
Gelar adalah Awal, Bukan Akhir
Gelar sarjana seharusnya bukan menjadi garis finis, tetapi garis start untuk sebuah proses belajar yang tidak pernah berhenti. Ketahanan sejati tidak lagi datang dari selembar ijazah, tetapi dari kemampuan untuk beradaptasi, belajar, dan berinovasi prinsip yang telah dipraktikkan oleh bisnis mana pun yang mampu bertahan dari ujian zaman.
Sudah waktunya kita berhenti memproduksi pengangguran terdidik dan mulai mencetak generasi yang lincah, tangguh, dan siap menghadapi tantangan zaman apa pun, dengan berpedoman pada etika dan nilai kemanusiaan.