Tradisi Islam sebagai sebuah kekuatan politik di Indonesia sudah ada sejak lama, bahkan sebelum Indonesia berdiri sebagai sebuah negara. Oleh M.C. Ricklefs, sejarah Indonesia modern dimulai dengan kedatangan agama Islam ke wilayah Indonesia. Hal ini karena sejarah masa sebelumnya, banyak berasal dari legenda-legenda yang dianggapnya bukan catatan sejarah yang dipercaya karena menitikberatkan pada pengetahuan gaib dan kekuatan-kekutan magis (Ricklefs, 1991).
Tak lama setelah masuknya Islam, perkembangannya relatif cepat hingga menjadi agama dengan penganut terbesar. Kerajaan Islam di Indonesia dari catatan sejarah, sudah ada sejak awal abad ke-13 di wilayah Sumatera Utara. Lalu meluas ke Aceh yang pada abad ke 15 memainkan peran utama, karena Malaka yang secara geografi berdekatan dengan daerah tersebut menjadi rute penting perdagangan di Asia Tenggara (Harry J.Benda,1 980).
Melalui aktivitas perdagangan inilah yang kemudian membuat penyebaran Islam semakin luas ke Timur Indonesia (Maluku) dan pesisir utara Pulau Jawa. Jawa masih dikuasai oleh Kerajaan Hindu-Budha, Majapahit. Penyebaran pengaruh Islam, rupanya merupakan saat akhir dari kerajaan yang termasyhur itu. Kerajaan Majapahit seperti hilang ditelan bumi, dan tergantikan oleh kekuatan Islam.
Pedalaman Jawa Tengah Kerajaan Mataram yang dulunya Hindu pun berubah menganut Islam. Membesarnya kekuatan Islam, membuat Raja-Raja Jawa akhirnya memilih Islam dengan pertimbangan pragmatis. Walau demikian, kekalahan tersebut tidak menghilangkan budaya Hindu-Budha tapi merasuk ke dalam budaya baru (sinkretisme). Kesadaran ini dipahami oleh penguasa Islam yang kemudian menjadi cikal bakal Islam Politik di Indonesia (Vlekke, 2008 ).
Masa Kolonial
Di masa kekuasaan kolonial Belanda, kerajaan Islam walau tidak dengan mudah, berhasil ditaklukkan. Nilai-nilai Islam sudah terpatri secara fanatis membuat perlawanan terhadap Belanda menjadi sengit. Hingga datangnya seorang Snouck Hurgronje yang mampu memetakannya dengan cermat kekuatan dan kelemahannya. Hurgronje memainkan peran penting dalam penaklukan pengaruh Islam dan menjadi pola dari penguasa-penguasa berikutnya hingga Indonesia merdeka.
Kesalahan persepsi penguasa Kolonial Belanda terhadap entitas Islam, yang dianggapnya memiliki hirarki sama dengan imperium Katolik, diperbaiki oleh Hurgronje dengan menentukan strategi dan tindakan yang tepat menghadapinya. Pengalaman pahit Belanda dalam perang Jawa (Diponegoro) yang singkat, tidak berulang di Sumatera Barat dan Aceh.
Politik etis, juga mempengaruhi dinamisasi pergerakan di Hindia Belanda. Pasca terbitnya novel Max Havelaar (1860) yang menghebohkan, tuntutan untuk memperhatikan nasib kaum pribumi menguat justru dari kalangan sosialis di Belanda. Dari sana banyak pemuda pribumi yang bersekolah ke Belanda, serta marak munculnya organisasi-organisasi termasuk juga organisasi Islam.
Pertumbuhan organisasi di Hindia Belanda saat itu, selain menggelorakan gerakan juga menimbulkan persaingan-persaingan diantara gerakan tersebut. Terlihat cikal bakal politik aliran, yang terkelompokkan dalam paham nasionalis, Islam dan komunis. Pemerintah kolonial lebih dekat dengan kelompok nasionalis yang dianggapnya lebih memahaminya makna liberalisme ketimbang kelompok Islam dan Komunis yang dianggapnya berorientasi memberontak.
Pada September 1937, Nachdatul Ulama dan Muhammadyah mendirikan MIAI, Madjlisul Islamil A’laa Indonesia atau Majelis Agung Islam Indonesia. Di organisasi itu, pengaruh Partai Sarekat Islam Indonesia kemudian cukup dominan. Hal ini yang tidak diinginkan karena pemikiran awal Hurgronje adalah memisahkan antara Islam dan Politik.
Pendudukan Jepang
Di awal abad 20, Jepang tampil sebagai salah satu kekuatan dunia, dengan prestasinya memenangkan peperangan melawan Rusia. Kemenangan Jepang ini mampu membuat kagum tokoh-tokoh pergerakan di Hindia Belanda. Sebelum pendudukkannya di Indonesia, Jepang sudah mulai bergerilya mempengaruhi sentimen anti Belanda di kalangan kelompok Islam. Simpati tersebut diperoleh dengan cara Jepang menggunakan intelektualnya yang beragama Islam untuk mengkampanye kesamaan Shinto dan Islam.
Jepang kemudian memulai ekspansinya ke wilayah Asia dengan semboyan sebagai 3A, “Nippon Pemimpin Asia”, “Nippon Pelindung Asia” dan “Nippon Cahaya Asia”. Jepang berhasil memikat kaum pergerakan yang telah jengah dengan kekuasaan kolonial.
Namun saat Jepang mulai berkuasa, banyak tokoh-tokoh pergerakan dibuat kaget dengan sejatinya perilaku Jepang. Jepang hadir sebagai penguasa militer yang fasis dan berlaku lebih kejam dari penguasa terdahulu. Tetapi Jepang dengan cepat melihat pengaruh Islam yang cukup kuat, hingga tensi kekejamannya cendrung rendah terhadap elit-elit kelompok Islam saat itu. Ada 3 alasannya; fanatisme Islam yang kuat, kedekatan elit Islam terhadap ummat dan sentimen anti Belanda (Benda, 1980).
Jepang membentuk Shumubu (Kantor Urusan Agama), yang dikepalai oleh seorang militer muslim yang bernama Horie. Shumubu bekerja memecahkan pengaruh hirarki kekuatan Islam. Pengaruh MIAI yang semakin meluas, membuat Jepang mulai memainkan politik adu domba ala Belanda. Caranya lebih cerdik lagi dengan memberi penghormatan simbolis pada banyak kyai-kyai dan tokoh-tokoh Islam. Untuk mengkanalkan pengaruh politik organisasi Islam, Jepang memfasilitasi terbentuk Majelis Syuro Indonesia (Masyumi) yang kelak di awal-awal pasca kemerdekaan menjadi partai yang berpengaruh (Benda, 1980).
Jepang juga merebut hati kaum nasionalis, dengan menfasilitasi terbentuknya Putera (Pusat Tenaga Rakyat) yang dipimpin oleh empat serangkai: Sukarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan Kyai Mas Mansyur. Namun perkembangan Putera juga diamputasi oleh Jepang dengan mendirikan Djawa Hokokai yang punya struktur di tingkat basis yakni Tonari Gumi atau Rukun Tetangga.
Peretasan Elit Islam Politik
Cara penjajah sejak masa kolonial Belanda dan penduduk Jepang dalam mengendalikan kekuatan gerakan Islam dilakukan dengan melakukan peretasan pada elit-elit gerakannya. Caranya dengan pelembagaan yang difasilitasi dan memainkan emosi berdasarkan sentimen kelompok dan agama.
Di masa pendudukan Jepang, dibentuk PETA (Pembela Tanah Air) yang tujuannya membantu Jepang menghadapi Sekutu. Doktrin yang ditanamkan, perang akan dihadapi sepadan dengan jihad Perang Sabil. Lambang PETA berupa Bulan Sabit di tengah Matahari menunjukan posisi Islam dalam kekuasaan Jepang. Cara-cara penjajah ini menginspirasi kekuasaan-kekuasaan setelahnya, di masa Indonesia merdeka. Terutama di Orde Baru, Soeharto menggunakan cara tersebut dan efektif membuatnya berkuasa 32 tahun.
Dari perjalanan kekuasaan dan gerakan Islam politik, intelektual memiliki pengaruh dalam memberi arah pada kekuasaan demikian sebaliknya reaksi gerakan terhadap kekuasaan itu sendiri. Dan ini yang memperjelas, bahwa selama ini rakyat hanyalah sebagai objek dari kekuasaan.
Kemerdekaan dan kesepakatan atas nilai-nilai demokrasi pada dasarnya hendak mengubah hal tersebut, namun kenyataannya jauh panggang dari api. Fakta rakyat sebagai korban dari berbagai peristiwa politik dianggap tidak menarik untuk menjadi fokus kajian dan keberpihakan para intelektual.